Sie sind auf Seite 1von 87

ISTRI-ISTRI RASULULLAH Khadijah bintu Khuwailid (Wafat 3 H) Khadijah binti Khuwaild adalah sebaik-baik wanita ahli surga.

Ini sebagaimana sabda Rasulullah, Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid. Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., menjadi wanita pertama yang menjadi Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase awal jihad pcnyebaran agarna Allah kepada seluruh umat manusia. Khadijah adalah wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat pada lima belas tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisv yang ingin mempersuntingnya. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi orang terkaya di kalangan suku Quraisy. Wanita Suci Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan ?khlak dan sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan berupa penghormatan yang tinggi kepadanya. Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin jika sernua dilakukan tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam berniaga dan bepergian membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan kemampuan intelektual dan kecemer1angan pikiran yang didukung oleh pengetahuan dasar tentang bisnis dan bekerja sama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang yang dapat diajak berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadilah menuju kesuksesan yang gemilang. Pemuda yang Jujur Khadijah memiliki seorang pegawai yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring dan menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan. Sebenarnya itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah sia-sia. Pemuda Pemegang Amanah Kaum Quraisy tidak mengenal pemuda mana pun yang wara, takwa, dan jujur selain Muhammad bin Abdullah, yang sejak usia lima belas tahun telah diajak oleh Maisarah untuk menyertainya berdagang. Seperti biasanya, Maisarah menyertai Muhammad ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah, karena memang keduanya telah sepakat untuk bekerja sama.

Perniagaan mereka ketika itu memberikan keuntungan yang sangat banyak sehingga Maisarah kembali membawa keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa keuntungan yang mereka peroleh itu berkat Muhammad yang berniaga dengan penuh kejujuran. Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke Syam dengan Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari. Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh orang Arab sebgaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil. Cerita-cerita tentang Muhammad itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah pun telah merasakan adanya kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa menerangi wajah Muhammad. Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan terhadap Muhammad di dalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya tentang orang- orang terdahulu. Waraqah mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang dinantinantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah terhadap Muhammad semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara perempuan Yala bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad, sehingga akhirnya Muhammad diminta menikahi dirinya. Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan keluarga terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya. Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan salah seorang pamannya, Muhammad pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk meminang Khadijah. Istri Pertama Rasulullah Allah menghendaki pernikahan hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia Muhammad baru menginjak dua puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh tahun. Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak sepadan, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah Subhanahu wa taala telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka. Khadijah adalah istri Nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum dia rneninggal. Allah menganugerahi Nabi Shallallahu alaihi wassalam. melalui rahirn Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya keturunan. Dia telah mernberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasuluflah Shallallahu alaihi wassalam. pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan kekejaman datang dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. mernperoleh per1akuan yang baik serta rumah tangga yang tenteram damai, dan penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan pahitnya menjadi anak yatirn piatu dan miskin. Putra-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam Khadijah melahirkan dua orang anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fathimah. Seluruh putra dan putrinya lahir sebelum masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah, Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang balk) dan ath-Thahir (yang suci). Zainab banyak rnenyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak bibinya, Abul Ash ibnur Rabi. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa pertama Rasulullah rnenikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu

Atabah dan Utaibah. Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam. diutus menjadi Rasul, Fathimah az-Zahra, putri bungsu beliau rnasih kecil. Selain mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tet?p tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama Rasulullah, schingga dan sinilah kita dapat mengetahuisifat mulia Zaid. Agar pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan Zaid bin Haritsah menuju halaman Kabah untuk mengummkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini : jika kamu mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah merela sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (QS. At-Taubah : 5) Pada Masa Kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. Muhammad bin Abdullah hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tenterarn di bawah naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menjadi tempat mengadu orang-orang Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Hal itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di hadapan mereka pada masa prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira, menghambakan din kepada Allah yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim. Khadijah sangat ik.hlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi Muhammad berusia empat puluh tahun. Suatu ketika, seperti biasanya beliau menyendiri di Gua Hira waktu itu bulan Ramadhan. Beliau sangat gemetar ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya menjawab, Aku tidak dapat membaca. Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau ke dadanya, seraya berkata, Bacalah, wahai Muhammad! Ketika itu Muhammad sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, Aku tidak dapat membaca. Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya, dan berkata, Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum mereka ketahui. Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan tersebut. Keringat deras mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang seperti itu, kemudian memapahnya ke rumah, serta berusaha menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi dadanya. Berilah aku selimut, Khadijah! Beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti tubuhnya. Khadijah memberikan ketenteraman kepada Rasulullah

dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa tenteram dan aman. Beliau ridak langsung menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka. Pribadi yang Agung Setelah rasa takut beliau hilang, Khadilah berupaya agar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita suaminya dengan penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti itu. Sejak semula Khadijah telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan babak baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan meyakini ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, Aku rnengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku. Di sinilah tampak kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah. Khadijah telah mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum pernah dicapai oleh wanita mana pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanrnu Engkau selalu menghubungkan silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, menolong orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu meringankan derita dan musibah orang lain. Setelah Rasulullah merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah. Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai Rasulullah, Waraqah berseru, Maha MuliaMaha Mulia. Demi yang jiwa Waraqah dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam Taurat dan Injil. Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya (Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan menyampaikan apa yang dikatakan oleh Waraqah. Awal Masa Jihad di Jalan Allah Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut agarna yang dibawanya sebelum diumumkan kepada rnasyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah. Beberapa waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. untuk membawa wahyu kedua dari Allah : Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleb (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah (QS. Al-Muddatstir : 1-7) Ayat di atas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada kalangan kerabat dekat dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatap kan beriman pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid bin Haritsah, hamba

sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid bin Muhammad. Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, azZubair ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran kota Mekah. Masa Berdakwah Terang-terangan Setelah berdakwah secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke tengah-tengah umat seraya berseru lantang, Allahu Akbar, Allahu Akbar Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan. Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah Muhammad memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang mernenuhi pelataran Kabah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan duri. Khadijah tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalab tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan penawar hati. Orang yang paling keras menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan pertunangan dengan kedua putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah telah menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya : Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dan sabut. (QS. Al-Lahab : 1-5) Khadijah adalah tempat berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah, menjadi benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy. Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis deklarasi yang kemudian digantung di pintu Kabah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua

dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan kaum muslimin. Dia sangat yakin bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain, sekali-kali dan secara sembunyisembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. pun kembali menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau. Wafatnya Khadijah Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali mi merupakan akhir dan hidupnva. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Muhammad agar menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh dunia. Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku kehilangan engkau? Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. semakin sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah : Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid. Khadijah meninggal setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang mernpercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah senantiasa lekat dalam hati Rasulullah sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh. Zainab binti Khuzaimah (Wafat 1 H) Nasab dan Masa Pertumbuhannya

Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Shashaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah. Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Shashaah alHilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Muminin pun di terangkan bahwa Rasulullah. menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah. Keislaman dan Pernikahannya Zainab binti Khuzaimah. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliah. Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut. Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah- lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang miskin. Meskipun Nabi. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak mengingkari julukan ummul-masakin yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah. Menjadi Ummul-Mukminin

Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi., apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah. menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu Alam. Hidupnya bersama RasuluLlah, hanya singkat. Antara 4 sampai 8 bulan. Zainab terkenal dengan julukan Ummul Masaakiin, karena kedermawanannya terhadap kaum miskin. Zainab meninggal, ketika Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendiri menshalati jenazahnya. Zainablah yang pertama kali dimakamkan di Baqi. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh.

Aisyah Binti Abu Bakar (Wafat 57 H) Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah. Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah : Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat. Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik. Nasab dan Masa KeciI Aisyab Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Kaab bin Saad bin Tamim bin Marrah bin Kaab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra Miraj, saat orang-orang tidak mempercayainya. Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Waid binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam. Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahw Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya. Pernikahan yang Penuh Berkah Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah. Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, Ini adalah istrimu. Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana. Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang,

terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah. Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa, Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah. Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiapsiap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam. Dengan izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah: Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau. (HR. Muslim) Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah. Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah. Selain itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata : Orang-orang berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku (istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-orang berbondong-bondong mernberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah. Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, Rasulullah berpaling dariiku. Ketika beliau mendatangi aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya, beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda, Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku dalam satu selimut bersama Aisyah. (HR. Muslim)

Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, Demi Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar). Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin Aash, Siapakah manusia yang paling engkau cintai? Beliau menjawab, Aisyah! Amru bertanya lagi, Dan dari kalangan laki-laki? Beliau menjawab, Ayahnya! (Hadits muttafaqirn alaihi) Di antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zumah sangat memahami keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah. Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah. Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah, Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. Aisyab menjawab, Ya! Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi zafaran dan disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. Aisyab berkata, Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya. Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di pangkuanku. Fitnah Terhadapnya Aisyah pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q uran yang menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab. Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali. Ternyata, kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Muthil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.

Ketika tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata. Ali juga berpendapat, Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia. Dari perkataan Ali, ada pihak yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri Nabi. Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda: Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu. Aisyah menjawab, Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, Maka bersabar itu lebih baik. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan. Aisyah sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, Hai Aisyah, Allah telah menyucikanmu dengan firman-Nya : Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (QS. An-Nuur : 11) Demikianlah kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rasulullah. Perjalanan Hidup yang Mulia Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam hal ini dia pernah berkata, Aku tidak pernah melihat pembuat makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah. Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah itu. Rasulullab menjawab, Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti dengan makanan. (HR. Bukhari) Aisyah pernah berkata : Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, Ya Allah, inilah Halah binti Khuwailid. Aku berkata, Apa yang engkau sebut itu adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta ditelan masa.

Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang lebih baik daripada dia. Mendengar itu Rasulullah menjawab, Allah tidak akan memberikan pengganti yang lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku. Dia telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku ketika orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak. (HR. Ahmad dan Muslim) Terdapat beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik khusus yang berkaitan dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu akan kembali menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu berkata kepada istrinya, Demi Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku tidak akan memberimu nafkah selamanya. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu kembali. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah terdiarn hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga turunlah ayat : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (al-Baqarah : 229) Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan Tuhannya. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah) Aisyah pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka. Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui UmmulMukminin Aisyah. Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal. Hadist yang Diriwayatkan Aisyah Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Quran, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asyaari berkata, Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah. Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah.

Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka dia dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau meneruskan puasanya. Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, Dia lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut. Kamar Aisyah lebih banyak berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Quran dan Sunnah. Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini : Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau. (HR. Bukhari) Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana ungkapannya ini : Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut. (QS. Al-Muminun: 60). Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas adalah para peminum khamar dan pencuri? Beliau menjawab, Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan, tetapi mendahului (menentukan sendiri) kebaikan tersebut. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi). Aisyah berkata lagi: Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah: Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, Manusia berada di atas shirath. (HR. Muslim) Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat pemerintah hingga wafat. Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Quran dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Quran turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah. Suatu ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, Aku ingin bertanya tentang bagaimana pendapatmu jika aku tetap membujang selarnanya. Aisyah menjawab, Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda tentang firman Allah: Telah kami utus rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan. Oleh karena itu, janganlah kamu membujang. Urwah bin Zubeir, salah seorang murid Aisyah, sangat

mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata, Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu. Aisyah berkata, Apa yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu? Dia menjawab, Engkau adalah istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab. Dia berkata lagi, Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling pandai dariipada seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu? Aisyah menjawab, Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit, sehingga dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari merekalah aku belajar. Tentang penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah selain Rasulullah sendiri. Al-Ahnaf bin Qais berkata, Aku telah mendengar khutbah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga saat ini aku belum pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah. Salah satu contoh kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu Bakar : Allah telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan kesabaran dan menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah. Dari Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti : Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia mengabdikan putri kemuliaannya. Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di Kamarnya Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat : Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, Bolehkah aku haluskan siwak untukmu? beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ya. Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan mengusapkannya ke wajah seraya berkata, Laa ilaaha illahu setiap kematian mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya) pada Allah Yang Maha Tinggi. Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab. (HR. Muttafaq Alaih) Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal.

Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia di muka bumi. Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar berkata, Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu. Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah. Setelah Rasulullah Wafat Setelah Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah. Allah Subhanahu wa taala berfirman : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orangorang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya. (QS. Al-Ahzab:33) Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifh Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, Bukankah Rasulullah telah berkata, Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah. Semasa kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan kaum muslimin, karena dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya, dan ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi, kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi. Ilmu Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan- permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, Umar bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian dikirimkan kepada istriistrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena kedudukannya sangat terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga Aisyah pernah berkata, Nabi Shallallahu alaihi wassalam. sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya, beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya. Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau menjawab, Aku merasa malu kepada seseorang yang kepadanya malaikat sangat malu. Di dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman agar jangan turun dari kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna. Beliau bersabda, Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar engkau meninggalkan baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah engkau melepaskannya. Beliau mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika Utsman

meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas atas kematiannya. Berkaitan dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri yang menetralkan isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu tidak akan melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah menjawab, Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama Rasulullah. Setelah Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits dan tafsir ayat AlQuran. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang Muawiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun Muawiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat, Muawiyah mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya, Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak! Aisyah menjawab, Salam sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, Barang siapa yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah, niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah tersebut kepada manusia. Salam sejahtera untukmu. Wafatnya Aisyah Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi. Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, Aisyah berkata, Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk. Aisyah memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata, Sabar-sabarlah kau menunggunya. Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnadnya, Ahmad berkata, Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, Berbukalah. Aisyah menjawab, Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya. Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda, Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Di dalam riwayat lain dikatakan, Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan bersabda, Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi penghalang baginya dari api neraka. (HR. Muttafaq Alaihi).

Ada juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, Muawiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan sernuanya. Budaknya berkata, Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham. Aisyah menjawab, Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh.

Maimunah Binti Harits al-Hilaliyah (Wafat 50 H) Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau dengan tulus selama mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya wanita yang dengan ikhlas menyerahkan dirnya kepada kepada Rasulullah ketika keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliah. Allah telah menurunkan ayat yang berhubungan dengan dirinya : .. dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin (QS. Al-Ahzab:50) Ayat di atas merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana rnungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela menyerahkan dirinya. Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keirnanan Maimunah. Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya, Ummul-Fadhal, adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita yang pertarna kali merneluk Islam setelah Khadijah. Saudara perempuan seibunya adalah Zainab binti Khuzaimah (istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam.), Asma binti Urnais (istri Jafar bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri Hamzah bin Abdul-Muththalib). Nasab, Masa Pertumbuhan, dan Pernikahan Nama lengkap Mairmnah adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Shashaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamathah bin Jarsy. Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah, Al-Muminah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma. Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saatsaat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung. Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab). Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun. Kekokohan Iman Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam A1-Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi az-Zuhri. Tentang penyerahan Maimunah kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. ini telah dinyatakan dalam AlQuran surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhi menyampaikan berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya kepada Rasulullah. Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang Maimunah. Betapa gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi dirinya.

Mimpi yang Menjadi Kenyataan Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama riga hari, namun orang-orang Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum muslimin untuk berdiam di sana lebih dari tiga hari. Kesempatan itu digunakan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Untuk melangsungkan pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum muslimin meninggalkan Mekah. Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata. Tentang Maimunah, Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami. Dia dikenal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Riwayatriwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang luas. Saat Wafatnya Pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh. Hafshah Binti Umar (Wafat 45 H) Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah. dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah. Jika kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Quran dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung. Nasab dan Masa Pertumbuhannya

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Nafal bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madhun bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madhun. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah. memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Kabah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Kabah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul. Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Urnar bin Khaththab. Dalarn soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sarna dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dirniliki Hafshah adalah kepandaiannva dalarn rnernbaca dan menulis, padahal ketika itu kernampuan tersebut belum lazirn dirniliki oleh kaurn perempuan. Memeluk Islam Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Urnar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mcngetahui keislarnan saudara perernpuannya, Fathimah dan suarninya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Quran yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kernudian diarnbilnyalah Al Quran yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi. yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab. Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun. Menikah dan Hijrah ke Madinah Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini mernotivasi para muhajirin yang berada di

Habasyah untuk kembali ke tanah asal rnereka setelah sekian larna ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk rnenyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan. Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah. menernukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib. Cobaan dan Ganjaran Setelah kaum muslirnin berada di Madinah dan Rasulullah. berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba. Peperangan pertarna antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi harnba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya. Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan merninta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Uman sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah. bersabda, Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah. Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya. Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegernbiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah rnenyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah. Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum,

dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah. dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Berada di Rumah Rasulullah Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zumah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zumah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat. Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun rnengetahui bahwa orang yang rnenyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mcncintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah rnenjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, mcmang sangat manusiawi jika di antara mereka rnasih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullab. mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri-istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalarn rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir karnar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah rnengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah rnerahasiakan kejadian tersebut. Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah r.a.. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah. menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah. Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah. pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah

dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu? Nabi menjawab, Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan. (Qs. At-Tahrim:1-5) Cobaan Besar Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai rnasalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah. senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik. Rasulullah. pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman, Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab) Rasulullah. menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar. Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah. telah menceraikan istri-jstri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Urnar bin Khaththab, sehingga dia segera rnenemui putrinya yang sedang menangis. Urnar berkata, Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu. Dengan terisak Hafshah menjawab, Aku tidak tahu. Umar berkata, Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya. Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah. tidak akan menceraikan istriistri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah. tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum

muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau. Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau rnengurnumkan penyesalan mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Urnar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat. Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Luluah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslirnin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembaiatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah. Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan baiat. Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain. Pemilik Mushaf yang Pertama Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya A1-Quran di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istrii Nabi. yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, A1-Quran terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus. Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Quran banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan rnelawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Quran yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Quran dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Quran, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Quran itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh. Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (Wafat 56 H) Telah kita ketahui bahwa setiap istri Nabi. itu memiliki suatu kelebihan. Demikian juga halnya dengan Juwairiyah yang telah membawa berkah besar bagi kaumnya, Banil-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah dia memeluk Islam, Banil-Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Nabi. Hal ini pernah

diungkapkan Aisyah, Aku tidak mengetahui jika ada seorang wanita yang lebih banyak berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah. Juwairiyah adalah putri seorang pemimpin Banil-Musthaliq yang bernama al-Harits bin Abi Dhiraar yang sangat memusuhi Islam. Rasulullah memerangi mereka sehingga banyak kalangan mereka yang terbunuh dan wanita-wanitanya menjadi tawanan perang. Di antara tawanan tersebut terdapat Juwairiyah yang kemudian memeluk Islam, dan keislamannya itu merupakan awal kebaikan bagi kaumnya. Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya Juwairiyah dilahirkan empat belas tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Semula namanya adalah Burrah, yang kemudian diganti menjadi Juwairiyah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya, alHarits, adalah pemimpin kaumnya yang masih musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilrnunya dan paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi bin Shafwan. Berada dalam Tawanan Rasulullah Di bawah komando al-Harits bin Abi Dhiraar, orang-orang munaflk berniat menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits sudah mengetahui kekalahan orang-orang Quraisy yang berturut-turut oleh kaum muslimin. Al-Harits beranggapan, jika pasukannya berhasil mengalahkan kaum muslimin, mereka dapat menjadi penguasa suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa Quraisy. Al-Harits menghasut pengikutnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, kabar tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar oleh Rasulullah, sehingga beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang mereka. Dalam penyerangan tersebut, Aisyah r.a. turut bersama Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan pertemuan Rasulullah dengan Juwairiyah setelah dia menjadi tawanan. Perang antara pasukan kaum muslimin dengan Banil-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin. mereka, al-Harist, melarikan diri, dan putriinya, Juwainiyah, tertawan di tangan Tsabit bin Qais al-Anshari. Juwairiyah mendatangi Rasulullah dan mengadukan kehinaan dan kemalangan yang menimpanya, terutama tentang suaminya yang terbunuh dalam peperangan. Tentang Juwairiyah, Aisyah mengemukan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqatnya, Rasulullah menawan wanita-wanita Bani Musthaliq, kemudian beliau menyisihkan seperlima dari antara mereka dan membagikannya kepada kaum muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain mendapat satu bagian. Juwainiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas al-Anshari. Sebelumnya, Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu Musafi bin Shafwan bin Malik bin Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran melawan kaum muslimin. Ketika Rasulullah tengah berkumpul denganku, Juwainiyah datang menanyakan tentang penjanjian pembebasannya. Aku sangat membencinya ketika dia menemui beliau. Kemudian dia benkata, Ya Rasulullah, aku Juwainiyah binti al-Harits, pemimpin kaumnya. Sekarang ini aku tengah berada dalam kekuasaan Tsabit bin Qais. Dia membebaniku dengan sembilan keping emas, padahal aku sangat menginginkan kebebasanku. Beliau bertanya, Apakah engkau menginginkan sesuatu yang lebih dari itu? Dia balik bertanya, Apakah gerangan itu? Beliau menjawab, Aku penuhi permintaanmu dalam membayar sembilan keping emas dan aku akan menikahimu. Dia menjawab, Baiklah, ya Rasulullah! Beliau bersabda, Aku akan melaksanakannya. Lalu tersebarlah kabar itu, dan para sahabat Rasulullah. berkata, Ipar-ipar Rasulullah tidak layak menjadi budak-budak. Mereka membebaskan tawanan BanilMusthaliq yang jumlahnya hingga seratus keluarga karena perkawinan Juwairiyah dengan Rasulullah.

Aku tidak pernah menemukan seorang wanita yang lebih banyak memiliki berkah daripada Juwairiyah. Selain itu, Aisyah sangat memperhatikan kecantikan Juwairiyah, dan itulah di antaranya yang menyebabkan Rasulullah menawarkan untuk menikahinya. Aisyah sangat cemburu dengan keadaan seperti itu. Padahal Rasulullah. berbuat baik kepada Juwairiyah bukan semata karena wajahnya yang cantik, melainkan karena rasa belas kasih beliau kepadanya. Juwairiyah adalah wanita yang ditinggal mati suaminya dan saat itu dia telah menjadi tawanan rampasan perang kaum muslimin. Mendengar putrinya berada dalam tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abi Dhiraar mengumpulkan puluhan unta dan dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya. Sebelum sampai di Madinah dia berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya, namun dia hanya membawa dua ekor unta yang terbaik, yang kemudian dibawa ke al-Haqiq di bawah pengawasan para pengawalnya. Lalu dia pergi ke Madinah dan menemui Rasulullah di masjid. Terdapat dua riwayat yang menerangkan pertemuan alHarits dengan Rasulullah. Dalam riwayat pertama, seperti yang diungkapkan Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, dikatakan bahwa Rasulullah menyerahkan keputusan kepada Juwairiyah. Juwairiyah berkata, Aku telah memilih Rasulullah.. Ayahnya berkata, Demi Allah, kau telah menghinakan kami. Dalam riwayat kedua seperti yang disebutkan Ibnu Hisyam bahwa al-Harits menemui Rasulullah dan berkata, Ya Muhammad, engkau telah menawan putriku. Ini adalah tebusan untuk kebebasannya. Rasulullah menjawab, Di manakah kedua unta yang engkau sembunyikan di alHaqiq? Di tempat anu dan anu? Al-Harits menjawab, Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusanNya. Tiada yang mengetahui hal itu selain Allah. Al-Harits memeluk Islam dan diikuti sebagian kaumnya. Rasulullah meminang Juwairiyah dengan mas kawin 400 dirham. Berada di Rumah Rasulullah Ketika Juwairiyah menikah dengan Rasulullah, beliau mengubah namanya, yang asalnya Burrah menjadi Juwairiyah, sebagaimana disebutkan dalam Thabaqat-nya Ibnu Saad, Nama Juwainiyah binti al-Harits merupakan perubahan dan Burrah. Rasulullah. menggantinya menjadi Juwairiyah, karena khawatir disebut bahwa beliau keluar dan rumah burrah. Juwairiyah telah memeluk Islam dan keimanan di hatinya telah kuat. Semata-mata dia mengikhlaskan diri untuk Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas banyak meriwayatkan shalat dan ibadahnya, di antaranya, Ketika itu Rasulullah hendak melakukan shalat fajar dan keluar dan tempatnya. Setelah shalat fajar dan duduk hingga matahani meninggi, beliau pulang, sementara Juwairiyah tetap dalam shalatnya. Juwairiah berkata, Aku tetap giat shalat setelahmu, ya Rasulullah. Nabi bersabda, Aku akan mengatakan sebuah kalimat setelahmu. Jika engkau kenjakan, niscaya akan lebih berat dalarn timbangan, Maha Suci Allah, sebanyak yang Dia ciptakan. Maha Suci Allah Penghias Arasy-Nya. Maha Suci Allah, unsur seluruh kalimat-Nya. Setelah Rasulullah. meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang diterimanya dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun. Saat Wafatnya Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan, pada usianya yang keenam puluh. Dia dikuburkan di Baqi, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri Rasulullah.

Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh. Mariyah al-Qibtiyah (Wafat 16 H) Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar. Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah. Dari Mesir ke Yastrib Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syamaun dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis. Rasulullah mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut. Rasulullah tel?h menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Numan yang terletak di sebelah rnasjid. Ibrahim bin Muhammad Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah r.a. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia. Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun.

Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira. Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah. dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah rnengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya : Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. AtTahriim:1) Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Numan al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni. Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun. Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja. Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi. bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim. Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda, Wahai Ibrahim, seandainya mi bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah. Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah. mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi. Saat Wafatnya

Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh.

Saudah binti Zam`ah (Wafat 54 H) Walaupun Saudah binti Zumah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. menikahinya bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullab adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah Seorang Janda Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. tengah mengalami rnasa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada tahuntahun ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah. Dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra Miraj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Kabah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan mengolokolok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zumah yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah. Terdapat beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zumah. Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madhum. Dia yang dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai tersendiri bagi Rasulullah. Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin Madhum kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya. Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan rnengurus rumah tangga beliau. Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam

menyebarkan agama Allah. Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, Siapakah yang kau pilih untukku? Dia menjawab, Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti Zumah. Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zumah, yang sejak keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat. Jika kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zumah, kita akan menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup. Nasab dan Keislamannya Saudah binti Zumah yang bernama lengkap Saudah binti Zumah bin Abdi Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah. Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin. Setelah berbaiat di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya, Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah. Hijrah ke Habbasyah Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zumah). Rasulullah menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad. Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk demi menegakkan agama yang diyakininya. Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka

menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan menuju Mekah. Betapa sedih perasaan Saudah binti Zumah ketika mendengar suaminya meninggal dunia. Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah. Rahmat Allah Saudah binti Zumah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan tetapi, temyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahnya, Zumah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang. Akan tetapi, Zumah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati putrinya. Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang. Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, Apa gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya. Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya. Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia menyetujui permintaan itu dan meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zumah bin Qais mengetahui siapa yang akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju, lamaran itu langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad datang ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan perkawinan itu terlaksana dengan baik. Berada di Rumah Rasulullah Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia merasakan kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik. Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya

yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi. Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah. Lantas, sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi. Hijrahnya ke Madinah Pertama kali Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zumah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbaiat setia kepada Rasulullah. Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya, Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul? Ketika itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah. Sikap Hidupnya Sejarah banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat melekat erat di dasar hati. Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui pengabdian yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa. Aisyah berkata, Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul bersamanya selain Sudah binti Zumah, karena dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiiki wanita lain. Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita yang pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah berkata, Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa

diinginkan kaum wanita. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. pun mengurungkan niatnya. Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah tidak bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah. Saudah mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya bersih dari sifat iri dan cemburu. Saudah menunaikan haji wada bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah haji wada, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. sakit keras. Beliau meminta persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Dia tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena dia tahu bahwa Saudah sangat mencintai putrinya. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun ke-54 hijrah. Yang lebih mendekari kebenaran adalah pendapat pertama, karena pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua. Sifat dan Keutamaannya Hal istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri. Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman. Sifat mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah. Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam hatinya tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah lainnya.

Saudah pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, baik ketika Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Pembawaan yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri hingga saat ini. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zumah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Tambahan kisah lainnya Dia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu Alaihi wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah. Sebelum menikah dengan Rasulullloh Shallallahu Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain. Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan menikahlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan. Saudah adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakhai bahwasannya saudah berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku punggungmu menyentuh hidungmu dengan keras, maka aku pegang hidungku karena aku takut keluar darah, Maka tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54). Ketika Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berniat hendak mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari seorang istrinya sampai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Al-Quran, yang artinya: Dan jika seorang wanita kuatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.. (QS. An-Nisa:128). (Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 7/720). Aisyah berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54). Aisyah berkata: Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zamah, ketika dia tua dia berikan gilirannya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. (Shahih Muslim 2/1085).

Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah. Ketika haji wada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140). Aisyah berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat itu umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu Rasulullah sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah seraya berkata kepadanya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu, maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan Muslim). Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya (Thabaqah kubra 8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 7/721). Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasai. Saudah meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh.

Sofiah binti Huyai bin Akhtab (Wafat 50 H) Nama dan Nasabnya Nama lengkapnya adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sayah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn dari keturunan Harun bin Imran. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.. Ayahnya adalah seorang pemimpin Bani Nadhir. Sejak kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis di dalarn kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin. Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak rnengkhianati kaurn muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk rnenghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka lebih baik daripada tuhan Muhammad. Masa Pernikahannya Sayyidah Shauiyyah bin Huyay r.a. telah dua kali menikah sebelurn dengan Rasulullah. Suami pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani Quraizhah yang diusir Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar. Penaklukan Khaibar dan Penawanannya Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin. Setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.

Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Nabi Shallallahu alaihi wassalam.. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian beliau bersabda kepada Bilal, Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka? Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. rnemilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam kepadanya dan kemudian diterirnanya. Seperti telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wassalam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas r a. berkata, Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku? Dia menjawab, Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah merneluk Islam. Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Rasulullah dan rindunya terhadap Islam. Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalarn tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, Apa ini? Dia menjawab, Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah? Kemudian dia menampar wajahku. Menjadi Ummul-Mukminin Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika beliau memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap istriistri yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dan untamu? Zainab menjawab, Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi? Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku. Aisyah mengatakan lagi, Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mcngungkit-ungkit asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku,

suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa. Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, Perempuan Yahudi! dia menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya dan berkata, Mengapa cngkau menangis? Dia menjawab, Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu? Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. kemudian berkata kepada Hafshah, Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah! Salah satu bukti cinta Hafshah kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat. Shafiyyah berkata, Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku. Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, Berkumurlah! Dengan terkejut mereka bertanya, Dari apa? Beliau menjawab, Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar. Setelah Rasulullah wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsrnan bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang dan mulia di sisiNya. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh.

Ummu Habibah binti Abu Sufyan (Wafat 44 H) Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat? Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman. Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan. Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik. Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s. Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya. Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah. Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan

jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah. Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah. Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, Demi Allah, keadaannya telah berubah. Pagi harinya Ubaidillah berkata, Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani. Aku berkata, Sungguhkah hal itu baik bagimu? Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya. Demikianlah, Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah. Menjadi Ummul-Mukminin Rasulullah Shalalahu Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya. Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku. Dia melanjutkan, Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, Raja berkata kepadamu, Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau. Aku menjawab, Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan. Dia berkata lagi, Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya. Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.

Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Hidup bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam Rasululullah Shalalahu Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah. Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu. Posisi yang Sulit Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya. Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah. Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku? Ummu Habibah menjawab, Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya. Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di

dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan. Allah mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata, Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung. Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat. Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya. Akhir sebuah Perjalanan Setelah Rasulullah Shalalahu Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Muawiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: Aku mendengar Rasulullah bersabda, Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga. Ummu Habibah berkata, Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu Alaihi Wassalam. (HR. Muslim) Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh.

Ummu Salamah (Wafat 59 H) Ummu Salamah adalah seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dia mendaparkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.. Di dalam sirah Ummahatul Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah. Nama sebenarnya Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan narna Ummu Salamah. Beliau dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzurn. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah bernama Atikah binti Amir bin Rabiah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah al-Kananiyah yang berasal dari Bani Faras. Demikianlah, Hindun dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani. Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya telah tertanam sejak kecil. Pernikahan dan Perjuangannya Banyak pemuda Mekah yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya adalah Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, seorang penunggang kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani. Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan kesejahteraan. Tidak lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam dan menjadi orang-oramg pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan Hindun, dia tergolong orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama suaminya memulai perjuangan dalam hidup mereka. Orang-orang Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengizinkan mereka untuk hijrah ke Habasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka menetap di Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah. Setelah beberapa lama, mereka berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar keislaman dua tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul-Muththalib. Akan tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung, bahkan bertambah dahsyat. Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu Salamah meminta perlindungan dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya, yaitu Bani Makhzum, dan Abu Thalib menyatakan perlindungannya. Cobaan Datang

Karena orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke sana, baik secara kelompok maupun perseorangan. Abu Salamah, istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian merampas serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut campur tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan karena harus berpisah dengan istri dan anaknya. Keadaan demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di Madinah. Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepadanya. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat keimanan dan keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di Madinah. Pesan Abu Salamah untuk Istrinya Dalam membela Islam, peran Abu Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam berperang. Rasulullah menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah di Madinah ketika beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada tahun kedua hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Ketika dalam perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris meninggal, namun beberapa saat kemudian dia sembuh. Setelah Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mencrima berita bahwa Bani Asad hendak menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam misi ini, beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah seratus lima puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Amir bin Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke Bukit Quthn, tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan Abu Salamah, dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan perang. Di Madinah, luka-luka Abu Salamah karnbuh sehingga dia harus beristirahat beberapa waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan mendoakannya. Ummu Salamah selalu mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga dia merawat dan menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat, kemudian Ummu Salamah berkata kepada suaminya, Aku mendapat benita bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi, dan Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang meninggal, dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu. Abu Salamah berkata, Maukah engkau menaati perintahku? Dia menjawab, Adapun saya bermusyawarah hanya untuk taat. Abu Salamah berkata, Seandainya aku mati, maka menikahlah. Lalu dia berdoa kepada Allah Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya.

Pada detik-detik akhir hidupnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. selalu berada di samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang menjemput. Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan bertakbir sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, Ya Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa? Beliau menjawab, Aku sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas takbir itu. Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda, Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang telah dperintahkan oleh Allah, Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepadaNyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan melaksanakannya untuknya. Setelah itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berdoa: Ya Allah, berilah ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah pengganti yang lebih baik untuknya. Abu Salamah wafat setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salarnah diliputi rasa sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim. Setelah wafatnya Abu Salarnah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk. melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya. Pada saat dirundung kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum mendapatkan orang yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa yang dialaminya. Rasulullah berkata kepadanya, Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik. Ummu Salamah bertanya, Siapa yang lebih baik dan Abu Salamah, wahai Rasulullah? Di Rumah Rasulullah Rasulullah mulai memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar. Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian. Dalam keadaan seperti itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Baltaah menemui Ummu Salarnah dengan maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan semua orang di dunia. Dengan perkawinan tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin, dan oleh Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang digelari Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal dunia. Hal itu diceritakan oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, Aku dipersunting oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah Zainab (ummul- masakiin). Beberapa keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan yang agung di sisi

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., seperti interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang diliputi rasa kasih sayang dan kelemahlembutan. Kedudukannya yang Agung Di antara perkara yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh di Mekah pada hari penyembelihan (qurban) padahal saat itu merupakan hari (giliran)nya. Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas kesetujuannya. Begitu juga hadits Ummi Kulsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Saad dalam (kitab) Thabaqatnya. Ummi Kultsum berkata, Tatkala Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Salamah, belau berkata kepadanya, Sesungguhnya aku menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal dunia, kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena dikembalikan kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikk. Sebagaimana yang dikatakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., Raja Najasyi meninggal dunia, dan hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada setiap istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi (sisa) keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah. Setelah Ummu Salamah menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. memasukkannya dalam kalangan ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah bahwasanya pernah pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan anak perempuan Ummu Salamah ada di sana. Rasulullah kemudian didatangi anak perempuannya, Fathimah azZahra, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain r.a., lalu Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Lalu menangislah Ummu Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menanyakan tentang penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, Wahai Rasulullah, engkau mengistimewakan mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau tinggalkan. Beliau bersabda, Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk keluargaku. Anak perempuan Ummu Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada masanya. Sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mempersunting Ummu Salamah, wahyu pernah turun kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu Salamah. Beberapa Sikap Cemerlang pada Masa Hidup Ummu Salamah Di antara sikap agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. pada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu ia menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dalam perjalanannya menuju Mekah dengan tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah mereka untuk memasuki Mekah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak.

Akan tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa orang-orang musyrik menyianyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara mayonitas yang menaruh dendam itu adalah Umar bin al-Khaththab, yang berkata kepada Rasulullah dalam percakapannya dengan beliau, Atas perkara apa kita serahkan nyawa di dalam agama kita? Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menjawab, Saya adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyianyiakanku. Akan tetapi, tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban kemudian bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau mengulang seruannya tiga kali tanpa ada sambutan. Beliau menemui istrinya, Ummu Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum muslimin. Ummu Salamah berkata, Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perintah Allah ini dilaksanakan oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian janganlah mengajak bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau menyembelih qurbanmu serta memanggil tukang cukur yang mencukurmu. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan sebagaimana yang diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang mendahului mereka. Ummu Salamah telah menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. di banyak peperangan, yaitu peperangan Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Thaif, peperangan Hawazin, Tsaqif kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada. Kita tidak melupakan sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Urnar datang kepadanya dan mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta kekasaran mereka terhadap Rasulullah. Maka ia berkata, Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab. Engkau telah ikut campur di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. beserta istri-istrinya? Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. meninggal dunia ia senantiasa mengenang beliau dan sangat berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak melakukan puasa dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits yang berasal dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Telah diriwayatkannya sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan suaminya, Abu Salamah, serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang meriwayatkan darinya banyak sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan para pemuka dan sahabat serta ahli hadits. Di antara beberapa sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah. Waktu itu Nabi keluar dari Madinah bersarna bala tentaranya dengan kehebatan dan jumlah yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang musyrik Quraisy merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan rnaksud menemui Rasulullah untuk bertobat dan menyatakan keislaman mereka. Termasuk dari mereka, Abu Sufyan bin al-Harts bin Abdul-Muththalib (anak paman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah (anak bibi [dari ayah] Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak). Ketika mereka berdua meminta izin masuk menemui

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., beliau enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan mereka yang keras terhadap kaurn muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah. Maka berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap keluarganya sendiri dan juga keluarga Rasulullah, Wahai Rasulullah, mereka berdua adalah anak parnanmu dan anak bibirnu (dan ayah) serta iparmu. Rasulullah menjawab, Tidak ada keperluan bagiku dengan mereka berdua. Adapun anak parnanku, aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku (dari ayah) serta iparku telah berkata di Mekah dengan apa yang ia katakan. Pernyataan itu telah sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata, Demi Allah, ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua tanganku -pada saat itu ia bersama anaknya, Jafar- kemudian karni harus berkelana di dunia sehingga mati kehausan dan kelaparan. Lalu Ummu Salamah memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya hati beliau menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah keduanya dan menyatakan keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah. Sikapnya terhadap Fitnah Ummu Salamah selalu berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Taala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah) Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab.. Pada masa khilafah Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan kaum muslimin di seputar khalifah. Bahaya fitnah sernakin memuncak di langit kaum muslirnin. Maka ia pergi menernui Utsman dan menasihatinya supaya tetap berpegang teguh pada petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta petunjuk Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk tersebut selama-lamanya. Apa yang dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya Utsman yang saat itu tengah membaca Al-Quran dan angin fitnah tengah bertiup kencang terhadap kaurn muslimin. Pada saat itu Aisyah telah membulatkan tekad untuk keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin al-Awwam dengan tujuan mernobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib. Maka Ummu Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah. Dari Ummu Salamah, Istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., untuk Aisyah Ummul-Mu minin. Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia. Amma badu. Engkau sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya. Sungguh Al-Quran telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau niengeluarkannya Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya. Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring,

dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya. Ummu Salamah berada di pihak Ali bin Abi Thalib karena beliau menggikuti kesepakatan kaum muslimin atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu Salamah mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalan barisan Ali. Saat Wafatnya Pada tahun ke-59 hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah di pertambahan umurnya. Allah taala mengangkat rohnya yang suci naik ke atas menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah Subhanahu Wa Taala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah r.a. dan dikuburkan di al-Baqi di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh.

Zainab binti Jahsy (Wafat 59 H) Pernikahan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan pada perintah Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dan bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab. Nasab dan Masa Pertumbuhannya Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Riab bin Yamar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelurn kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Riab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik. Zainab termasuk wanita pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah. Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah Terdapat beberapa ayat A1-Quran yang mernerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan. Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid r.a., lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, Aku tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman. Setelah itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia rneninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang Zaid, Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad) Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau. Masih banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam..

Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka : Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. Al-Ahzab: 36) Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab. Mendengar itu, beliau bersabda, Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah. Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Beberapa saat kemudian turunlah ayat, Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah. Zaid berusaha menenangkan din dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah. Prinsip dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Quran telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman, Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab : 5) Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali lagi dalam ayat : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah

mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anakanak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al-Ahzab:37) Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat. Menjadi Ummul-Mukminin Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah. Zainab mulai memasuki rurnah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya. Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi, Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. (Qs. Al-Ahzab: 40) Zainab berkata kepada Nabi, Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dan langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku. Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah itu. Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah. Wafatnya Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, Aku telah rnenyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain. Sernasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah. Tentang Zainab, Aisyah berkata, Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.

Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin. Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Saabu, Riyadh.

PUTRA-PUTRI RASULULLAH Al-Qosim bin Muhammad Ia merupakan putra pertama Rasulullah dan beliau dijuluki dengan Abul Qosim, ia hidup hingga mampu berjalan kemudian meninggal dunia dalam usia 2 tahun. Tidak boleh orang berkunyah Abul Qosim berdasarkan Hadits Rasulullah shollahualaihiwasallam, Hendaklah kalian bernama dengan nama-namaku tetapi jangan berkunyah dengan kunyahku (Abul Qosim). (HR. Bukhori no. 3537 dll). Ibnul Qoyyim mengatakan, Pendapat yang benar bernama dengan nama Nabi itu diperbolehkan. Sedangkan berkunyah dengan kunyah Nabi itu terlarang. Berkunyah dengan kunyah Nabi saat beliau masih hidup itu terlarang lagi. Terkumpulnya nama dan kunyah Nabi pada diri seseorang juga terlarang. (Zaadul Maad, 2/317, Muassasah Ar-Risalah). Beliau juga mengatakan, Kunyah adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap orang yang diberi kunyah diantara petunjuk Nabi adalah memberi kepada orang yang sudah punya ataupun yang tidak punya anak. Tidak terdapat Hadits yang melarang berkunyah dengan nama tertentu, kecuali berkunyah dengan nama Abul Qasim. (Zaadul Maad, 2/314). Imam Ibnu Muflih berkata, Diperbolehkan berkunyah meskipun belum memiliki anak. (Al-Adab AsySyariyyah karya Ibnu Muflih 3/152, Muassasah Ar-Risalah).

Zainab binti Muhammad (Wafat 8 H) Zainab adalah putri tertua Rasulullah.. Rasulullah. telah menikahkannya dengan sepupu beliau, yaitu Abul Ash bin Rabi sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, atau ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah mereka. lbu Abul Ash adalah Halah binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak ibu. Dari pernikahannya dengan Abul Ash mereka mempunyai dua orang anak: Ali dan Umamah. Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib. setelah wafatnya Fatimah. Setelah berumah tangga, Zainab tinggal bersama Abul Ash bin Rabi suaminya. Hingga pada suatu ketika, pada saat suaminya pergi bekerja, Zainab mengunjungi ibunya. Dan ia dapatkan keluarganya telah mendapatkan suatu karunia dengan diangkatnya, ayahnya, Muhammad. menjadi Nabi akhir jaman. Zainab mendengarkan keterangan tentang Islam dari ibunya, Khadijah.. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan menerima hidayah Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul Ash. Sedangkan Abul Ash bin Rabi adalah termasuk orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai peniaga. Ia sering meninggalkan Zainab untuk keperluan dagangnya. la sudah mendengar tentang pengakuan Muhammad sebagai Nabi.. Namun, ia tidak mengetahui bahwa istrinya, Zainab sudah memeluk Islam. Pada tahun ke-6 setelah hijrah Nabi. ke Madinah. Abul Ash bin Rabi pergi ke Syria beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk berdagang. Ketika Rasulullah. mendengar bahwa ada kafilah Quraisy yang sedang kembali dari Syria, beliau mengirim Zaid bin Haritsah ra. bersama 313 pasukan muslimin untuk menyerang kafilah Quraisy ini. Mereka menghadang kafilah ini di dekat Al-is di Badar pada bulan jumadil Awal. Mereka menangkap kafilah itu dan barangbarang yang dibawanya serta menahan beberapa orang dari kafilah itu, termasuk Abul Ash bin Rabi. Ketika penduduk Mekkah datang unluk menebus para tawanan, maka saudara laki-laki Abul Ash, yaitu Amar bin Rabi, telah datang untuk menebus dirinya. Ketika itu, Zainab istri Abul Ash masih tinggal di Mekkah. la pun telah mendengar berita serangan kaum muslimin atas kafilah-kafilah Quraisy termasuk berita tertawannya Abul Ash. Berita ini sangat meiiyedihkannya. Lalu ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari batu onyx Zafar hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwaylid ra.. Zafar adalah sebuah gunung di Yaman. Khadijah binti Khuwaylid telah memberikan kalung itu kepada Zainab ketika ia akan menikah dengan Abul Ash bin Rabi. Dan kali ini, Zainab mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas suaminya, Abul Ash. Kalung itu sampai di tangan Rasulullah. Ketika beliau. melihat kalung itu, beliau segera mengenalinya. Dan kalung itu mengingatkan beliau kepada istrinya yang sangat ia sayangi, Khadijah. Beliau berkata, Seorang Mukmin adatah penolong bagi orang Mukmin lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita lindungi orang yang dilindungi oleh Zainab. jika kalian bisa mencari jalan untuk niembebaskan Abul Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu kepadanya, maka lakukaniah. Mereka menjawab, Baik, ya Rasulullah Maka mereka segera membebaskan Abul Ash dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab. Kemudian Rasulullah. menyuruh Abul Ash agar berjanji untuk membiarkan Zainab bergabung bersama Rasulullah. Dia pun berjanji dan memenuhi janjinya itu. Ketika Rasulullah. pulang ke rumahnya, Zainab datang menemuinya dan meminta untuk mengembalikan kepada Abul Ash apa yang pernah diambil darinya. Beliau mengabulkannya. Pada kesempatan itu, Beliau pun telah melarang Zainab agar tidak mendatangi Abul Ash, karena dia tidak halal bagi Zainab selama dia masih kafir.

Llalu Abul Ash kembali ke Mekkah dan menyelesaikan semua kewajibannya. Kemudian dia masuk Islam dan kembali kepada Rasulutiah sebagai seorang Muslim. Dia berhijrah pada bulan Muharram, 7 Hijriyah. Maka Rasulullah. pun mengembalikan Zainab kepadanya, berdasarkan pernikahannya yang pertama Zainab wafat pada tahun 8 Hijriyah. Orang-orang yang memandikan jenazahnya ketika itu, antara lain ialah; Ummu Aiman, Saudah binti Zamah, Ummu Athiyah dan Ummu Salamah.. Rasulullah. berpesan kepada mereka yang akan memandikan jenazahnya ketika itu, Basuhiah dia dalarn jumlah yang ganjil, 3 atau 5 kali atau iebih jika kalian merasa lebih baik begitu. Mulailah dari sisi kanan dan anggota-anggota wudhu. Mandikan dia dengan air dan bunga. Bubuhi sedikit kapur barus pada air siraman yang terakhir. Jika kalian sudah selesai beritahukaniah kepadaku. Ketika itu, rambut jenazah dikepang meniadi tiga kepangan, di samping dan di depan lalu dikebelakangkan. Setelah selesai dari memandikan jenazah, Ummu Athiyah memberitahukan kepada Nabi. Lalu Nabi memberikan selimutnya dan berkata, Kafanilah dia dengan kain ini. Cerita cinta Cinta tak cukup untuk menyatukan dua manusia. Tatkala jalan telah berbeda, tak kan mungkin mereka saling bersama. Namun cahaya keimanan akan mempertemukan kembali yang telah terpisahkan sekian lama. Tersebutlah kisah tentang putri pemimpin para nabi. Terlahir dari rahim ibundanya, seorang wanita bangan Quraisy, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyyah radhiallahu anhu, saat ayahnya memasuki usia tiga puluh tahun. Dia bernama Zainab radhiallahu anha bintu Muhammad bin Abdillah Shallallahu alaihi wa sallam. Semasa hidup ibunya, sang putri yang menawan ini disunting oleh seorang pemuda, Abul Ash bin ArRabi bin Abdil Uzza bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Dia putra Halah bintu Khuwailid, saudari perempuan Khadijah. Ketika itu, Khadijah radhiallahu anha menghadiahkan seuntai kalung untuk pengantin putrinya. Dari pernikahan itu, lahir Umamah dan Ali, dua putra-putri Abul Ash. Tatkala cahaya Islam merebak, Allah Subhanahu wa Taala membuka hati Zainab radhiallahu anha untuk menyambutnya. Namun, Abul Ash bin Ar-Rabi masih berada di atas agama nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan yang berbeda Orang-orang musyrik pun mendesak Abul Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul Ash dengan tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainab radhiallahu anha masih pula tertahan untuk bertolak ke bumi hijrah. Ramadhan tahun kedua setelah hijrah, terukir peristiwa Badr. Dalam pertempuran itu, terbunuh tujuh puluh orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang dari mereka. Di antara tawanan itu ada Abul Ash bin Ar-Rabi. Penduduk Makkah pun mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan. Terselip di antara harta tebusan itu seuntai kalung milik Zainab radhiallahu anha untuk kebebasan suaminya. Ketika melihat kalung itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terkenang pada Khadijah radhiallahu anha yang telah tiada. Betapa terharu hati beliau mengingat putri yang dicintainya. Lalu beliau berkata pada para shahabat, Apabila kalian bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab dan mengembalikan harta tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu. Para shahabat pun menjawab, Baiklah, wahai

Rasulullah! Kemudian mereka lepaskan Abul Ash bin Ar-Rabi dan mengembalikan seuntai kalung Zainab yang dijadikan harta tebusan itu. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminta Abul Ash untuk berjanji agar membiarkan Zainab pergi meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah. Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah radhiallahu anhu bersama salah seorang Anshar sembari berkata, Pergilah kalian ke perkampungan Yajuj sampai bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia kemari. Berpisahlah Zainab bintu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di atas jalan Islam, meninggalkan suaminya yang masih berkubang dalam kesyirikan. Menjelang peristiwa Fathu Makkah, Abul Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus tujuhpuluh orang pasukan Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk menghadang rombongan dagang itu. Pasukan muslimin pun berhasil menawan mereka dan mengambil harta yang dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul Ash berhasil meloloskan diri. Ketika gelap malam merambah, Abul Ash dengan diam-diam menemui istrinya, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, untuk meminta perlindungan. Subuh tiba. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat berdiri menunaikan Shalat Shubuh. Saat itu, Zainab radhiallahu anha berseru dengan suara lantang, Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul Ash bin Ar-Rabi! Usai shalat, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghadap pada para shahabat sembari bertanya, Kalian mendengar apa yang aku dengar? Ya, wahai Rasulullah. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berkata lagi, Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian dengar. Kemudian beliau Shallallahu alaihi wa sallam menemui putrinya dan berpesan, Wahai putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena dirimu tidak halal baginya. Zainab radhiallahu anha menjawab, Sesungguhnya dia datang semata untuk mencari hartanya. Setelah itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengumpulkan pasukan Zaid bin Haritsah radhiallahu anhu dan berkata pada mereka, Sesungguhnya Abul Ash termasuk keluarga kami sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil hartanya sebagai fai yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku ingin kalian berbuat kebaikan dan mengembalikan harta itu kepadanya. Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian lebih berhak atas harta itu. Para shahabat menjawab, Wahai Rasulullah, kami akan kembalikan harta itu padanya. Seluruh harta yang dibawa Abul Ash kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit pun. Segera dia membawa harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap harta titipan penduduk Makkah pada pemiliknya. Lalu dia bertanya, Apakah masih ada di antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya? Mereka menjawab, Semoga Allah memberikan balasan yang baik padamu. Engkau benarbenar seorang yang mulia dan memenuhi janji. Abul Ash pun kemudian menegaskan, Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak ada yang menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah Allah Subhanahu wa Taala tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku masuk Islam. Abul

Ash bergegas meninggalkan Makkah, hingga bertemu dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan Islam. Enam tahun bukanlah rentang waktu yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama pun menjelang. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengembalikan putri tercintanya, Zainab radhiallahu anhu kepada suaminya, Abul Ash bin Ar- Rabi radhiallahu anhu, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali maharnya. Dua insan kini bersama meniti jalan mereka. Namun, Allah Subhanahu wa Taala telah menetapkan taqdir-Nya. Tak lama setelah pertemuan itu, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kembali ke hadapan Rabb-nya, pada tahun kedelapan setelah hijrah, meninggalkan kekasihnya untuk selamanya. Di antara para shahabiyyah yang memandikan jenazahnya, ada Ummu Athiyyah Al-Anshariyah radhiallahu anha. Darinya terpapar kisah dimandikannya jenazah Zainab radhiallahu anha, sesuai perintah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dengan guyuran air bercampur daun bidara. Seusai itu, rambut Zainab radhiallahu anha dijalin menjadi tiga jalinan. Jenazahnya dibungkus dengan kain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Putri pemimpin para nabi itu telah pergi Sumber : - Al-Istiab, karya Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1701-1704,1853-1854) - Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sad (8/30-35) - Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (hal. 110-117) - Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibrahim Al-Ali (hal. 192) - Siyar Alamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah.

Ruqayyah Binti Rasulullah (Wafat 2 H) Ruqayyah telah menikah dengan Utbah bin Abu lahab sebelum masa kenabian. Sebenarnya hat itu sangat tidak disukai oleh Khadijah.. Karena ia telah mengenal perilaku ibu Utbah, yaitu Umrnu jamil binti Harb, yang terkenal berperangai buruk dan jahat. ta khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya tersebut. Dan ketika Rasulullah. telah diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahablah, orang yang paling memusuhi Rasulullah. dan Islam. Abu Lahab telah banyak menghasut orang-orang Mekkah agar memusuhi Nabi. dan para sahabat. Begitu pufa istrinya, Ummu Jamil yang senantiasa berusaha mencelakakan Rasulullah. dan memfitnahnya. Atas perilaku Abu lahab dan permusuhannya yang keras terhadap Rasulullah., maka Allah telah menurunkan wahyu-Nya, Maka celakalah kedua tangan Abu lahab, (Al lahab: 1) Setelah ayat ini turun, maka Abu lahab berkata kepada kedua orang putranya, Utbah dan Utaibah, Kepalaku tidak haial bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan Putri Muhammad. Atas perintah bapaknya itu, maka Utbah mericeraikan istrinya tanpa alasan. Setelah bercerai dengan Utbah, kemudian Ruqayyah dinikahkan oleh Rasulullah. dengan Utsman bin Affan. Hati Ruqayyah pun berseri-seri dengan pernikahannya ini. Karena Utsman adalah seorang Muslim yang beriman teguh, berbudi luhur, tampan, kaya raya, dan dari golongan bangan Quraisy. Setelah pernikahan itu, penderitaan kaum muslimin bertambah berat, dengan tekanan dan penindasan dari kafirin Quraisy. Ketika semakin hari penderitaan kaum muslimin, termasuk keluarga Rasulutlah. bertambah berat, maka dengan berat hati Nabi. mengijinkan Utsman beserta keluarganya dan beberapa muslim lainnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Ketika itu Rasulullah. bersabda, Pergilah ke negeri Habasyah, karena di sana ada seorang raja yang terkenal baik budinya, tidak suka menganiaya siapapun, Di sana adalah bumi yang melindungi kebenaran. Pergilah kalian ke sana. Sehingga Allah akan membebaskan kalian dari penderitaan ini. Maka berangkatlah satu kafilah untuk berhijrah dengan diketuai oleh Utsman bin Affan. Rasulullah. bersabda tentang mereka, Mereka adalah orang yang pertama kali hijrah karena Allah setelah Nabi Luth as. Setibanya di Habasyah mereka memperoleh perlakuan yang sangat baik dari Raja Habasyah. Mereka hidup tenang dan tenteram, hingga datanglah berita bahwa keadaan kaum muslimin di Mekkah telah aman. Mendengar berita tersebut, disertai kerinduan kepada kampung halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah muslimin yang dipimpimnya itu akan kembali lagi ke kampung halamannya di Mekkah. Mereka pun kembali. Namun apa yang dijumpai adalah berbeda dengan apa yang mereka dengar ketika di Habasyah. Pada masa itu, mereka mendapati keadaan kaum muslimin yang mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan penyiksaan atas kaum muslimin semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak berani memasuki Mekkah pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota Mekkah, barulah mereka mengunjungi rumah masingmasing yang dirasa aman. Ruqayyah pun masuk ke rumahnya, melepas rindu terhadap orang tua dan saudara-saudaranya. Namun ketika matanya beredar ke sekeliling rumah, ia tidak menjumpai satu sosok manusia yang sangat ia rindukan. la bertanya, Mana ibu?.. mana ibu?. Saudara-saudaranya terdiam tidak menjawab. Maka Ruqayyah pun sadar, orang yang sangat berarti dalam hidupnya itu telah tiada. Ruqayyah menangis. Hatinya sangat bergetar, bumi pun rasanya berputar atas kepergiannya. Penderitaan hatinya, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Tidak lama berselang, anak lelaki satu-satunya, yaitu Abdullah yang lahir ketika hijrah pertama, telah meninggal dunia pula. Padahal nama Abdullah adalah kunyah bagi Utsman ra., yaitu Abu Abdullah. Abdullah masih berusia dua tahun, ketika seekor ayam jantan mematuk mukanya sehingga mukanya

bengkak, maka Allah mencabut nyawanya. Ruqayyah tidak mempunyai anak lagi setelah itu. Dia hijrah ke Madinah setelah Rasulullah j. hijrah. Ketika Rasulullah. bersiap-siap untuk perang Badar, Ruqayyah jatuh sakit, sehingga Rasulullah. menyuruh Utsman bin Affan agar tetap tinggal di Madinah untuk merawatnya. Namun maut telah menjemput Ruqayyah ketika Rasulullah. masih berada di medan Badar pada bulan Ramadhan. Kemudian berita wafatnya ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah ke Badar. Dan kemenangan kaum muslimin yang dibawa oleh Rasulullah. beserta pasukannya dari Badar, ketika masuk ke kota Madinah, telah disambut dengan berita penguburan Ruqayyah. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah. berkata, Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Mazun. Para wanita menangisi kepergian Ruqayyah. Sehingga Umar bin Khattab. datang kepada para wanita itu dan memukuli mereka dengan cambuknya agar mereka tidak keterlaluan dalam menangisi jenazah Ruqayyah. Akan tetapi Rasulullah. menahan tangan Umar. dan berkata, Biarkaniah mereka menangis, ya Umar. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan syaitan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari syaitan. Ruqoyyah dan Ummu Kultsum Lahir dua orang putri dari rahim ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza radhiallahu anha. Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu anhuma, di bawah ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththalib Shallallahu alaihi wa sallam. Sebelum datang masa sang ayah diangkat sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama Utbah, putra Abu Lahab bin Abdul Muththalib, sementara Ummu Kultsum menikah dengan saudara Utbah, Utaibah bin Abi Lahab. Namun, pernikahan itu tak berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat AlLahab yang berisi cercaan terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, menjadi berang. Dia berkata kepada dua putranya, Utbah dan Utaibah yang menyunting putri-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad! Kembalilah dua putri yang mulia ini dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya. Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan saudari-saudarinya. Allah Subhanahu wa Taala memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha disunting oleh seorang sahabat mulia, Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Sebagaimana kaum muslimin yang lain, mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang sedemikian dahsyat melalui tangan kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Taala bukakan jalan untuk hijrah ke bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja yang tidak pernah menzalimi siapa pun yang ada bersamanya. Utsman bin Affan radhiallahu anhu membawa istrinya di atas keledai, meninggalkan Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat yang lainnya, berjalan kaki menuju pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu seharga setengah dinar. Di bumi Habasyah, Ruqayyah radhiallahu anha melahirkan seorang putra yang bernama Abdullah. Akan tetapi, putra Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika, ada seekor ayam jantan yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan sebab musibah ini, Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.

Perjalanan mereka belum berakhir. Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk hijrah ke Madinah, mereka berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun Ummu Kultsum radhiallahu anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Selang berapa lama mereka tinggal di Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat bersiap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha diserang sakit. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahkan Utsman bin Affan radhiallahu anhu untuk tetap tinggal menemani istrinya. Ternyata itulah pertemuan mereka yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha kembali ke hadapan Rabbnya karena sakit yang dideritanya. Utsman bin Affan radhiallahu anhu sendiri yang turun untuk meletakkan jasad istrinya di dalam kuburnya. Saat diratakan tanah pekuburan Ruqayyah radhiallahu anha, terdengar kabar gembira kegemilangan pasukan muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid bin Haritsah radhiallahu anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya kemenangan, saat Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu anha pergi untuk selama-lamanya pada tahun kedua setelah hijrah. Sepeninggal Ruqayyah radhiallahu anha, Umar bin Al Khaththab radhiallahu anhu menawarkan kepada Utsman bin Affan radhiallahu anhu untuk menikah dengan putrinya, Hafshah bintu Umar radhiallahu anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr. Namun saat itu Utsman dengan halus menolak. Datanglah Umar bin Al-Khaththab radhiallahu anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengadukan kekecewaannya. Ternyata Allah Subhanahu wa Taala memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminang Hafshah radhiallahu anha untuk dirinya, dan menikahkan Utsman bin Affan radhiallahu anhu dengan putrinya, Ummu Kultsum radhiallahu anha. Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabiul Awwal tahun ketiga setelah hijrah. Enam tahun berlalu. Ikatan kasih itu harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu anha kembali ke hadapan Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa meninggalkan seorang putra pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma bintu Umais dan Shafiyah bintu Abdil Muththalib radhiallahu anhuma. Tampak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah itu, beliau duduk di sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang air mata, beliau bertanya, Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam? Abu Thalhah menjawab, Saya. Kata beliau, Turunlah! Jasad Ummu Kultsum radhiallahu anha dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari radhiallahu anhu. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai keduanya. Wallahu taala alamu bish-shawab. Sumber : - Al-Istiab, karya Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1701-1704,1853-1854) - Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sad (8/30-35) - Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (hal. 110-117) - Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibrahim Al-Ali (hal. 192) - Siyar Alamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah

Ummu Kultsum Binti Muhammad (Wafat 9 H) Ummu Kultsum adalah adik Ruqayyah , putri Rasulullah. Ia telah menikah dengan Utaibah bin Abu Lahab, saudara Utbah yang telah menikahi Ruqayyah, sebelurn mereka mengenal Islam. Lalu ketika Rasulullah. telah diangkat menjadi Nabi, ia dan saudara-saudaranya memeluk Islam dengan lapang dada. Dan dakwah Nabi. Yang selalu ditentang oleh Abu lahab beserta keluarganya ini, menyebabkan Allah telah mewahyukan kepada Nabi. firman-Nya yang berbunyi, Maka celakalah kedua tangan Abu lahab(Al-lahab: 1) Setelah tutun ayat ini, Abu lahab berkata kepads Utaibah anaknya, Kepalaku tidak halal bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan putri Nabi. Maka dia pun menceraikan istrinya, Ummu Kultsum begitu saja. Utaibah mendatangi Nabi. dan mengatakan kata-kata yang menyakitkan hati Rasulullah. Atas periakuan itu, maka Rasulullah. telah berdoa kepada Allah, agar mengirimkan anjing-anjing-Nya untuk membinasakan Utaibah. Dan apa yang telah didoakan oleh Nabi. terhadap Utaibah itu benar-benar teriadi. Dalam suatu perjalanan, seekor singa yang ganas teiah memilih Utaibah di antara teman-temannya untuk diterkam kepalanya. Utaibah mati dalam keadaan yang sangat mengerikan. Setelah bercerai, maka Ummu Kultsum kembali tinggal bersama Rasulullah. di Mekkah. Dia ikut hijrah ke Madinah ketika Rasulullah. berhijrah, kemudian tinggal di sana bersama keluarga Rasulullah. Ruqayyah dan Ummu Kultsum adalah dua orang saudara yang perjalanan hidup mereka hampir sama. Mereka berdua teriahir dari bapak yang sama, ibu yang sama, suami mereka pun kakak beradik yang namanya mempunyai arti yang sama; Utbah dan Utaibah, mempunyai mertua yang sama, masuk Islam pada hari yang sama, bercerai pada hari yang sama, dan setelah perceraian itu, mereka mempunyai suami yang sama pula. Ketika Ruqayyah meninggal dunia, maka Utsman bin Affan. menikahi Ummu Kultsum yang masih perawan yang belum terjamah oleb Utaibah. Pada waktu itu adalah bulan Rabiul-Awwal, tahun ke-3 Hijriyah. Dan keduanya baru berkumpul pada bulan Jumadits-Tsani. Mereka hidup bersama sampai Ummu Kultsum meninggal dunia tanpa mendapatkan seorang anak pun. Ummu Kultsum meninggal dunia pada bulan Syaban tahun ke-9 Hijriyah. Rasulullah. berkata, Seandainya aku mempunyai sepuluh orang putri, maka aku akan tetap menikahkan mereka dengan Utsman. Ummu Kultsum adaiah seorang wanita yang cantik. la senang memakai jubah sutra yang bergaris. Pada hari wafatnya, jenazahnya telah dimandikan oleh Asma binti Umais dan Shafiah binti Abdul Muthalib. jenazahnya ditempatkan di atas sebuah keranda yang terbuat dari batang polgon palem yang baru dipotong. Dan pada saat penguburannya, Rasulullah. duduk di dekat kuburan Ummu Kultsum dengan berlinangan air mata. Beliau berkata, siapa di antara kalian yang tidak bercampur dengan istrinya tadi malam? Abu Thalhah ra. berkata, Aku, ya Rasulullah lalu Beliau menyuruhnya, Turunlah kamu. Maka Abu Thalhah turun dan menguburkan Ummu Kultsum. Ruqoyyah dan Ummu Kultsum Lahir dua orang putri dari rahim ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza radhiallahu anha. Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu anhuma, di bawah ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththalib Shallallahu alaihi wa sallam. Sebelum datang masa sang ayah diangkat sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama Utbah, putra Abu Lahab bin Abdul Muththalib, sementara Ummu Kultsum menikah dengan

saudara Utbah, Utaibah bin Abi Lahab. Namun, pernikahan itu tak berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat AlLahab yang berisi cercaan terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, menjadi berang. Dia berkata kepada dua putranya, Utbah dan Utaibah yang menyunting putri-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad! Kembalilah dua putri yang mulia ini dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya. Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan saudari-saudarinya. Allah Subhanahu wa Taala memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha disunting oleh seorang sahabat mulia, Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Sebagaimana kaum muslimin yang lain, mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang sedemikian dahsyat melalui tangan kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Taala bukakan jalan untuk hijrah ke bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja yang tidak pernah menzalimi siapa pun yang ada bersamanya. Utsman bin Affan radhiallahu anhu membawa istrinya di atas keledai, meninggalkan Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat yang lainnya, berjalan kaki menuju pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu seharga setengah dinar. Di bumi Habasyah, Ruqayyah radhiallahu anha melahirkan seorang putra yang bernama Abdullah. Akan tetapi, putra Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika, ada seekor ayam jantan yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan sebab musibah ini, Abdullah meninggal dalam usia enam tahun. Perjalanan mereka belum berakhir. Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk hijrah ke Madinah, mereka berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun Ummu Kultsum radhiallahu anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Selang berapa lama mereka tinggal di Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat bersiap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha diserang sakit. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahkan Utsman bin Affan radhiallahu anhu untuk tetap tinggal menemani istrinya. Ternyata itulah pertemuan mereka yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha kembali ke hadapan Rabbnya karena sakit yang dideritanya. Utsman bin Affan radhiallahu anhu sendiri yang turun untuk meletakkan jasad istrinya di dalam kuburnya. Saat diratakan tanah pekuburan Ruqayyah radhiallahu anha, terdengar kabar gembira kegemilangan pasukan muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid bin Haritsah radhiallahu anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya kemenangan, saat Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu anha pergi untuk selama-lamanya pada tahun kedua setelah hijrah. Sepeninggal Ruqayyah radhiallahu anha, Umar bin Al Khaththab radhiallahu anhu menawarkan kepada Utsman bin Affan radhiallahu anhu untuk menikah dengan putrinya, Hafshah bintu Umar radhiallahu anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr. Namun saat itu Utsman dengan halus menolak. Datanglah Umar bin Al-Khaththab radhiallahu anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengadukan kekecewaannya. Ternyata Allah Subhanahu wa Taala memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminang Hafshah radhiallahu anha untuk dirinya, dan menikahkan Utsman bin

Affan radhiallahu anhu dengan putrinya, Ummu Kultsum radhiallahu anha. Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabiul Awwal tahun ketiga setelah hijrah. Enam tahun berlalu. Ikatan kasih itu harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu anha kembali ke hadapan Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa meninggalkan seorang putra pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma bintu Umais dan Shafiyah bintu Abdil Muththalib radhiallahu anhuma. Tampak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah itu, beliau duduk di sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang air mata, beliau bertanya, Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam? Abu Thalhah menjawab, Saya. Kata beliau, Turunlah! Jasad Ummu Kultsum radhiallahu anha dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari radhiallahu anhu. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai keduanya. Wallahu taala alamu bish-shawab. Sumber : - Al-Istiab, karya Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1701-1704,1853-1854) - Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sad (8/30-35) - Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (hal. 110-117) - Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibrahim Al-Ali (hal. 192) - Siyar Alamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah.

Fatimah Az Zahra Binti Rasulullah (Wafat 11 H) Pemimpin wanita pada masanya ini adalah pui ke 4 dari anak anak Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Sesungguhnya allah Subhanahu wa taala menghendaki kelahiran Fathimah yang mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai menengah ketika terjadi perselisiha antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Kaabah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang hampir menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada di Makkah. Kelahiran Fahimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan nama Fathimah dan julakannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya). Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya.sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya. Pada saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fathima dan kakanya Ummu Kulsum tetap tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya.Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para sahabat berusaha meminag Fathimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang tapi nabi menolak dengan lemah lembut.Lalau Ali bin Abi Thalib dating kepada Rasulullah untuk melamar, lalu ketika nabi bertanya, Apakah engkau mempunyai sesuatu ?, Tidak ada ya Rasulullah, jawabku. Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu, Tanya beliau. Masih ada padaku wahai Rasulullah, jawabku. Berikan itu kepadanya (Fatihmah) sebagai mahar,.kata beliau. Lalu ali bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affat seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin. Kaum muslim merasa gembira atas perkawinan Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Al- Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Syaban tahun ke 4 H. pada tahun kelima H ia melahirkan anak perempuan bernama Zainab dan yang terakhir benama Ummu Kultsum. Rasullah sangat menyayangi Fathimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fathimah sebelum menemui istri istrinya. Aisyah berkata , Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fathimah, jika ia dating mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fathimah bila Rasulullah dating mengunjunginya.. Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya takala diatas mimbar: Sungguh Fathima bagian dariku , Siapa yang membuatnya marah bearti membuat aku marah. Dan dalam riwayat lain disebutkan, Fathimah bagian dariku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.. Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada dan ketika ia melihat Fathima, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata, Selamat dating wahai putriku. Lalu Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikan sesuatu, sehingga Fathimah menangis dengan tangisan yang

keras, tak kala Fathimah sedih lalu Beliau membisikan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fathimah tersenyum. Takala Aisyah bertanya tentang apa yang dibisiknnya lalu Fathimah menjawab, Saya tak ingin membuka rahasia. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fathimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dan tersenyum. Lalu Fathimah menjawab, Adapun yang Beliau kepada saya pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Quraan dengan hapalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau berkata Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah Aku.. Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Beliau membisikan yang kedua kali, Beliau berkata, Wahai Fathimah apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku. Kemudian saya tertawa. Takala 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Fathimah jatuh sakit, namaun ia merasa gembira karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian iapun beralih ke sisi Tuhannya pada malam selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun. Sumber : Sirah Shahabiyah karya Mahmud mahdi al Istambuli & Musthafa Abu an Nashr asy Syalabi, Penerbit Maktabah Salafy Press, Tahum 2006.

'Abdullah Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan pada masa keislaman. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa itu sebelum masa keislaman, lalu ia meninggal dunia dalam usia yang masih kecil. Ia merupakan putra terakhir Nabi dari Khadijah. Sumber : Kitab Raudhah Al Anwar fi Sirah An Nabiy Al Mukhtar karya Syaikh Shafiyur Rahman Al Mubarakfury.

Ibrahim Ia dilahirkan di Madinah dari budak perempuan milik Nabi yakni Mariyah Al Qibthiyyah pada bulan Jumadil Ula atau pada bulan Jumadil Akhir tahun ke 9 Hijriyyah. Dan ia meninggal dunia pada tanggal 29 Syawal di tahun ke 10 Hijriyyah, yakni pada hari terjadinya gerhana matahari di Madinah dalam usia menyusui, yakni dalam umur 16 atau 18 bulan. Lalu dikebumikan di Baqi'. Nabi pernah berkata, "Sungguh akan ada yang menyusuinya di surga untuk menyempurnakan masa susuannya." Sumber : Kitab Raudhah Al Anwar fi Sirah An Nabiy Al Mukhtar karya Syaikh Shafiyur Rahman Al Mubarakfury.

CUCU RASULULLAH Hasan bin Ali bin Abu Talib (3-50 H) Dia adalah putra sulung Ali bin Abu Talib dengan Fatimah Postur dan paras mukanya mirip dengan Rasulullah. Dia diangkat sebagai khalifah sepeninggal ayahnya. Dia lebih mengutamakan tidak berperang, menghindari pertumpahan darah sesama muslim, untuk itu dia menyerahkan kursi ke khalifahan kepada Muawiah sampai dia meninggal dunia di Madinah. Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya Oleh: Ustadz Muhammad Umar Sewed Beliau dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal. 464) Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membaiat beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnyajuz ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka berkata kepadanya: Tentukanlah penggantimu bagi kami. Maka beliau menjawab: Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Taliq kitab Al-Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Muawiyah untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam Al-Hasan AlBashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali telah menghadap Muawiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka berkatalah Amr bin Ash: Sungguh aku berpendapat bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding dengannya. Berkata kepadanya Muawiyah -dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-: Wahai Amr! Jika mereka saling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga wanita-wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai tanah mereka? Maka ia mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata: Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.) Maka keduanya mendatanginya, berbicara dengannya dan memohon padanya) kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata : Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704) Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: .Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak mau menerimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan datang. (lihat AlBidayah wan Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu anhu. Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jamaah. Yang mengherankan justru kaum Syiah Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-Hasan radhiyallahu

anhu sebagai pencoreng wajah-wajah kaum mukminin. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama- adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan keturunannya adalah maksum. Dan dari konsekwensi kemaksuman mereka, bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang bersumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu anhuma yang paling besar adalah pembaiatan terhadap amiril mukminin Muawiyah, maka mestinya mereka pun masuk dalam baiat ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim hal. 197-198). Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengkafirkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan : Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna Asyariyyah). Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga. Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian kakek Al-Hasan shallallahu alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan baiat beliau kepada Muawiyah radhiyallahu anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap AlHasan yang memutihkan wajah kaum mukminin. Demikianlah khilafah Muawiyah berlangsung dengan persatuan kaum muslimin karena Allah Subhanahu wa Ta ala dengan sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu anhu yang besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Muawiyah radhiyallahu anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Muawiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu Alam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu anhu meninggal karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa yang membunuhnya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Muawiyah sebagai pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Arabi dengan ucapannya: Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena dua hal: Pertama, bahwa dia (Muawiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada Muawiyah. Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu (Syi ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan. (Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214) Demikian pula dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syiah tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syari serta tidak pula ada persaksian yang dapat diterima dan tidak

ada pula penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225) Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan pahala amal dan jasajasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.

Husain bin Ali bin Abu Talib (4-61 H) Putra kedua dari perkawinan Ali bin Abu Talib dengan Fatimah. Dia tidak mau membaiat Yazid, sehingga dia terbunuh dalam perang Karbala tanggal 10 Muharam 61 H/680 M. Riwayat Hidup Al-Husein dan Peristiwa Pembunuhannya Oleh: Ustadz Muhammad Umar Sewed Beliau dilahirkan pada bulan Syaban tahun ke-empat Hijriyah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam men-tahnik (yakni mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan digosokkan ke langit-langitnya -pent.), mendoakan dan menamakannya Al-Husein. Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, juz VIII, hal. 152. Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya Al-Awashim minal Qawashim: Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli kufah kepada Al-Husein (setelah meninggalnya Muawiyah radhiyallahu anhu). Kemudian Al-Husein mengirim Muslim Ibnu Aqil, anak pamannya kepada mereka untuk membaiat mereka dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibnu Abbas radhiyallahu anhu memberitahu beliau (Al-Husein) bahwa mereka dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibnu Zubair mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah Al-Husein. Sebelum sampai beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil telah terbunuh dan diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. Cukup bagimu ini sebagai peringatan bagi yang mau mengambil peringatan (kelihatannya yang dimaksud adalah ucapan Ibnu Abbas kepada Al-Husein -pent.). Tetapi beliau radhiyallahu anhu tetap melanjutkan perjalanannya dengan marah karena dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak mendengarkan nasehat orang yang paling alim pada jamannya yaitu ibnu Abbas radhiyallahu anhu dan menyalahi pendapat syaikh para shahabat yaitu Ibnu Umar. Beliau mengharapkan permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam kebengkokan dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ketuaan. Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela-pembela yang memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya untuk membelanya. Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein, maka datang kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan jaman. (lihat Al-Awashim minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dengan tahqiq dan taliq Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib, hal. 229-232) Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya Kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Huseinadalah bahwa niat Al-Husein dengan sebagian kaum muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih merupakan tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi dengan darah Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhibbudin Al-Khatib dalam taliq-nya terhadap buku Al-Awashim Minal Qawashim. Ketika Al-Husein ditahan oleh tentara Yazid, Samardi Al-Jausyan mendorong Abdullah bin Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan Al-Husein meminta untuk dihadapkan kepada Yazid atau dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau kembali ke Mekah. Namun mereka tetap membunuh AlHusein dengan dhalim sehingga beliau meninggal dengan syahid radhiyallahu anhu. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Al-Husein terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain.

Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan riwayat tersebut. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat Ubaidilah bin Ziyad. Adapun Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husein) dan memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu. Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka. (Majmu Fatawa, juz IV, hal. 507-508) Adapun yang dirajihkanoleh para ulama tentang kepala Al-Husein bin Ali radhiyallahu anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az-Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling alim dan paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husein dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka. (Dalam sumber yang sama, juz IV, hal. 509) Demikianlah Al-Husain bin Ali radhiyallahu anhuma terbunuh pada hari Jumat, pada hari Asyura, yaitu pada bulan Muharram tahun 61 H dalam usia 54 tahun 6 bulan. Semoga Allah merahmati Al-Husein dan mengampuni seluruh dosadosanya serta menerimanya sebagai syahid. Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih. Amin. Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin Muawiyyah Untuk membahas masalah ini kita nukilkan saja di sini ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah secara lengkap dari Fatawa-nyasebagai berikut : Belum terjadi sebelumnya manusia membicarakan masalah Yazid bin Muawiyyah dan tidak pula membicarakannya termasuk masalah Dien. Hingga terjadilah setelah itu beberapa perkara, sehingga manusia melaknat terhadap Yazid bin Muawiyyah, bahkan bisa jadi mereka menginginkan dengan itu laknat kepada yang lainnya. Sedangkan kebanyakan Ahlus Sunnah tidak suka melaknat orang tertentu. Kemudian suatu kaum dari golongan yang ikut mendengar yang demikian meyakini bahwa Yazid termasuk orang-orang shalih yang besar dan Imam-imam yang mendapat petunjuk. Maka golongan yang melampaui batas terhadap Yazid menjadi dua sisi yang berlawanan : Sisi pertama, mereka yang mengucapkan bahwa dia kafir zindiq dan bahwasanya dia telah membunuh salah seorang anak perempuan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, membunuh shahabat-shahabat Anshar, dan anak-anak mereka pada kejadian Al-Hurrah (pembebasan Madinah) untuk menebus dendam keluarganya yang dibunuh dalam keadaan kafir seperti kakek ibunya Utbah bin Rabiah, pamannya AlWalid dan selain keduanya. Dan mereka menyebutkan pula bahwa dia terkenal dengan peminum khamr dan menampakkan maksiat-maksiatnya.

Pada sisi lain, ada yang meyakini bahwa dia (Yazid) adalah imam yang adil, mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk. Dan dia dari kalangan shahabat atau pembesar shahabat serta salah seorang dari waliwali Allah. Bahkan sebagian dari mereka meyakini bahwa dia dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan bahwa barangsiapa tidak berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan dia dalam neraka Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin Adi bahwa dia adalah wali yang seperti ini dan seperti itu. Barangsiapa yang berhenti (tidak mau mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam neraka karena ucapan mereka yang demikian terhadap Yazid. Setelah zaman Syaikh Hasan bertambahlah perkara-perkara batil dalam bentuk syair atau prosa. Mereka ghuluw kepada Syaikh Hasan dan Yazid dengan perkara-perkara yang menyelisihi apa yang ada di atasnya Syaikh Adi yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena jalan beliau sebelumnya adalah baik, belum terdapat bidah-bidah yang seperti itu, kemudian mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang memusuhi mereka dan kemudian membunuh Syaikh Hasan bin Adi sehingga terjadilah fitnah yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya. Dua sisi ekstrim terhadap Yazid tersebut menyelishi apa yang disepakati oleh para ulama dan Ahlul Iman. Karena sesungguhnya Yazid bin Muawiyyah dilahirkan pada masa khalifah Utsman bin Affan radliallahu anhu dan tidak pernah bertemu Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta tidak pula termasuk shahabat dengan kesepakatan para ulama. Dia tidak pula terkenal dalam masalah Dien dan keshalihan. Dia termasuk kalangan pemuda-pemuda muslim bukan kafir dan bukan pula zindiq. Dia memegang kekuasaan setelah ayahnya dengan tidak disukai oleh sebagian kaum muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain. Dia memiliki keberanian dan kedermawanan dan tidak pernah menampakkan kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana dikisahkan oleh musuh-musuhnya. Namun pada masa pemerintahannya telah terjadi perkara-perkara besar yaitu: 1. Terbunuhnya Al-Husein radhiyallahu anhu sedangkan Yazid tidak memerintahkan untuk membunuhnya dan tidak pula menampakkan kegembiraan dengan pembunuhan Husein serta tidak memukul gigi taringnya dengan besi. Dia juga tidak membawa kepala Husein ke Syam. Dia memerintahkan untuk melarang Husein dengan melepaskannya dari urusan walaupun dengan memeranginya. Tetapi para utusannya melebihi dari apa yang diperintahkannya tatkala Samardi AlJausyan mendorong Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya. Ibnu Ziyad pun menyakitinya dan ketika Al-Husein radhiyallahu anhu meminta agar dia dibawa menghadap Yazid, atau diajak ke front untuk berjihad (memerangi orang-orang kafir bersama tentara Yazid -pent), atau kembali ke Mekkah, mereka menolaknya dan tetap menawannya. Atas perintah Umar bin Sad, maka mereka membunuh beliau dan sekelompok Ahlul Bait radhiyallahu anhum dengan dhalim. Terbunuhnya beliau radhiyallahu anhu termasuk musibah besar, karena sesungguhnya terbunuhnya Al-Husein -dan Utsman bin Affan sebelumnya- adalah penyebab fitnah terbesar pada umat ini. Demikian juga pembunuh keduanya adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah. Ketika keluarga beliau radhiyallahu anhu mendatangi Yazid bin Muawiyah, Yazid memuliakan mereka dan mengantarkan mereka ke Madinah. Diriwayatkan bahwa Yazid melaknat Ibnu Ziyad atas pembunuhan Husein dan berkata : Aku sebenarnya meridlai ketaatan penduduk Irak tanpa pembunuhan Husein. Tetapi dia tidak menampakkan pengingkaran terhadap pembunuhnya, tidak membela serta tidak pula membalasnya, padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya Ahlul Haq mencelanya karena meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan perkara-perkara yang lain. Sedangkan musuhmusuh mereka menambahkan kedustaan-kedustaan atasnya. 2. Ahlil Madinah membatalkan baiatnya kepada Yazid dan mereka mengeluarkan utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun mengirimkan tentara kepada mereka, memerintahkan mereka untuk taat dan

jika mereka tidak mentaatinya setelah tiga hari mereka akan memasuki Madinah dengan pedang dan menghalalkan darah mereka. Setelah tiga hari, tentara Yazid memasuki Madinah an-Nabawiyah, membunuh mereka, merampas harta mereka, bahkan menodai kehormatan-kehormatan wanita yang suci, kemudian mengirimkan tentaranya ke Mekkah yang mulia dan mengepungnya. Yazid meninggal dunia pada saat pasukannya dalam keadaan mengepung Mekkah dan hal ini merupakan permusuhan dan kedzaliman yang dikerjakan atas perintahnya. Oleh karena itu, keyakinan Ahlus Sunnah dan para imam-imam umat ini adalah mereka tidak melaknat dan tidak mencintainya. Shalih bin Ahmad bin Hanbal berkata: Aku katakan kepada ayahku: Sesungguhnya suatu kaum mengatakan bahwa mereka cinta kepada Yazid. Maka beliau rahimahullah menjawab: Wahai anakku, apakah akan mencintai Yazid seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir? Aku bertanya: Wahai ayahku, mengapa engkau tidak melaknatnya? Beliau menjawab: Wahai anakku, kapan engkau melihat ayahmu melaknat seseorang? Diriwayatkan pula bahwa ditanyakan kepadanya : Apakah engkau menulis hadits dari Yazid bin Muawiyyah? Dia berkata: Tidak, dan tidak ada kemulyaan, bukankah dia yang telah melakukan terhadap ahlul Madinah apa yang dia lakukan? Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari raja-raja (Islam -pent). Mereka tidak mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan tidak pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang muslim secara khusus (ta yin), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu: Bahwa seseorang yang dipanggil dengan Hammar sering minum khamr. Acap kali dia didatangkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dicambuknya. Maka berkatalah seseorang: Semoga Allah melaknatnya. Betapa sering dia didatangkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jangan engkau melaknatnya, sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. (HR. Bukhari) Walaupun demikian di kalangan Ahlus Sunnah juga ada yang membolehkan laknat terhadapnya karena mereka meyakini bahwa Yazid telah melakukan kedhaliman yang menyebabkan laknat bagi pelakunya.\ Kelompok yang lain berpendapat untuk mencintainya karena dia seorang muslim yang memegang pemerintahan di zaman para shahabat dan dibaiat oleh mereka. Serta mereka berkata: Tidak benar apa yang dinukil tentangnya padahal dia memiliki kebaikan-kebaikan, atau dia melakukannya dengan ijtihad. Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam (Ahlus Sunnah), bahwa mereka tidak mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dari Ummu Harran binti Malhan radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari) Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin Muawiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu anhu bersamanya. Catatan :

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melanjutkan setelah itu dengan ucapannya : Kadang-kadang sering tertukar antara Yazid bin Mu awiyah dengan pamannya Yazid bin Abu Sufyan. Padahal sesungguhnya Yazid bin Abu Sufyan adalah dari kalangan Shahabat, bahkan orang-orang pilihan di antara mereka dan dialah keluarga Harb (ayah Abu Sufyan bin Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah salah seorang pemimpin Syam yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu ketika pembebasan negeri Syam. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berjalan bersamanya ketika mengantarkannya, sedangkan dia berada di atas kendaraan. Maka berkatalah Yazid bin Abu Sufyan: Wahai khalifah Rasulullah, naiklah! (ke atas kendaraan) atau aku yang akan turun. Maka berkatalah Abu Bakar: Aku tidak akan naik dan engkau jangan turun, sesungguhnya aku mengharapkan hisab dengan langkahlangkahku ini di jalan Allah. Ketika beliau wafat setelah pembukaan negeri Syam di zaman pemerintahan Umar radhiyallahu anhu, beliau mengangkat saudaranya yaitu Muawiyah untuk menggantikan kedudukannya. Kemudian Muawiyah mempunyai anak yang bernama Yazid di zaman pemerintahan Utsman ibnu Affan dan dia tetap di Syam sampai terjadi peristiwa yang terjadi. Yang wajib adalah untuk meringkas yang demikian dan berpaling dari membicarakan Yazid bin Muawiyah serta bencana yang menimpa kaum muslimin karenanya dan sesungguhnya yang demikian merupakan bidah yang menyelisihi ahlus sunnah wal jamaah. Karena dengan sebab itu sebagian orang bodoh meyakini bahwa Yazid bin Mu`awiyah termasuk kalangan shahabat dan bahwasanya dia termasuk kalangan tokoh-tokoh orang shalih yang besar atau imam-imam yang adil. Hal ini adalah kesalahan yang nyata. (Diambil dari Majmu Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, jilid 3, hal. 409-414) Bidah-bidah yang Berhubungan dengan Terbunuhnya Al-Husein Kemudian muncullah bidah-bidah yang banyak yang diadakan oleh kebanyakan orang-orang terakhir berkenaan dengan perisiwa terbunuhnya Al-Husein, tempatnya, waktunya dan lain-lain. Mulailah mereka mengada-adakan An-Niyaahah (ratapan) pada hari terbunuhnya Al-Husein yaitu pada hari Asyura (10 Muharram), penyiksaan diri, mendhalimi binatang-binatang ternak, mencaci maki para wali Allah (para shahabat) dan mengada-adakan kedustaan-kedustaan yang diatasnamakan ahlul bait serta kemungkarankemungkaran yang jelas dilarang dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam serta berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Al-Husein radhiyallahu anhu telah dimuliakan oleh Allah subhanahu wa taala dengan mati syahid pada hari Asyura dan Allah telah menghinakan pembunuhnya serta orang yang mendukungnya atau ridla dengan pembunuhannya. Dan dia mempunyai teladan pada orang sebelumnya dari para syuhada, karena sesungguhnya dia dan saudaranya adalah penghulu para pemuda ahlul jannah. Keduanya telah dibesarkan pada masa kejayaan Islam dan tidak mendapatkan hijrah, jihad, dan kesabaran atas gangguan-gangguan di jalan Allah sebagaimana apa yang telah didapati oleh ahlul bait sebelumnya. Maka Allah mulyakan keduanya dengan syahid untuk menyempurnakan kemulyaan dan mengangkat derajat keduanya. Pembunuhan beliau merupakan musibah besar dan Allah subhanahu wa taala telah mensyariatkan untuk mengucapkan istirja (Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun)ketika musibah dalam ucapannya : . Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orangyang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 155-157)

Sedangkan mereka yang mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam rangka meratapinya seperti memukul pipi, merobek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah, maka balasannya sangat keras sebagaimana diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu, berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam : Bukan dari golongan kami, siapa yang memukul-mukul pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah. (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadits lain, juga dalam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asyari radhiyallahu anhu, bahwa dia berkata: Aku berlepas diri dari orang-orang yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berlepas diri darinya, yaitu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berlepas diri dari al-haliqah, ashshaliqah dan asy-syaaqqah. (HR. Bukhari dan Muslim) Dan dalam Shahih Muslim dari Abi Malik Al-Asyari bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Empat perkara yang terdapat pada umatku dari perkara perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya: bangga dengan kedudukan, mencela nasab (keturunan), mengharapkan hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayit. (HR. Muslim) Dan juga beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya perempuan tukang ratap jika tidak bertaubat sebelum matinya dia akan dibangkitkan di hari kiamat sedangkan atasnya pakaian dari timah dan pakaian dada dari nyala api neraka. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim) Hadits-hadits tentang masalah ini bermacam-macam. Demikianlah keadaan orang yang meratapi mayit dengan memukul-mukul badannya, merobek-robek bajunya dan lain-lain. Maka bagaimana jika ditambah lagi bersama dengan itu kezaliman terhadap orangorang mukmin (para shahabat), melaknat mereka, mencela mereka, serta sebaliknya membantu ahlu syiqaq orang-orang munafiq dan ahlul bidah dalam kerusakan dien yang mereka tuju serta kemungkaran lain yang Allah lebih mengetahuinya. Sumber : - Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. - Majmu Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. - Al-Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dengan tahqiq dan taliq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib. - Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir. - Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani. - Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi. - Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Ali bin Al-Husein Zainal Abidin (Wafat 93 H) Nama sebenarnya adalah Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, neneknya adalah Fatimah az-zahra binti Rasulillah, terkadang ia disebut dengan Nama Abu Husein atau Abu Muhammad, sedangkan nama panggilannya adalah Zainal abidin dan As-Sajad, karena kebanyakan melakukan shalat dimalam hari dan di siang hari. Perjalanan Hidupnya Diriwayatkan bahwa Ia menerima beberapa orang tamu dari Irak, lalu membicarakan Abu Bakar, Umar dan Utsman tentang sesuatu yang buruk terhadapnya, dan ketika mereka selesai bicara, maka ia berkata,Apakah kalian termasuk kaum muhajirin yang didalam Alquran surat al-Hasyr: 8 yang menegaskan Mereka yang diusir dari kampung halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya? Mereka menjawab, Bukan! Apakah kalian termasuk kaum Anshar yang dinyatakan dalam Alquran surat al-Hasyr 97 : Mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan mereka tidak mempunyai pamrih apa pun dalam memberikan bantuan kepada kaum Muhajirin. Bahkan mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri, kendatipun mereka berada dalam kesusahan? Bukan! Kalau begitu berati kalian menolak untuk tidak termasuk ke dalam salah satu dari kedua golongan tersebut. Selanjutnya ia berkata Aku bersaksi bahwa kalian bukanlah orang yang dimaksud dalam firman allah, Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. (Qs. Al Hasyr:10). Maka keluarlah kalian dari rumahku, niscaya Allah murka kepada kalian. Ali bin al Husein Zainal Abidin dianggap sebagai ulama yang paling masyur di Madinah dan pemimpin ulama tabiin di sana. Hal ini keterangan yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dan yang diriwayatkan Ibnu Abbas. Kurang lebih 30 tahun Zainal Abidin bergiat mengajar berbagai cabang ilmu agama Islam di Masjid Nabawi di Madinah. Sikap tidak berpihak pada kelompok mana pun tersebut mengundang simpati dari semua kelompok yang bertikai. Zainal Abidin disegani oleh segenap kaum Muslimin baik kawan maupun lawan. Pada zamannya, Zainal Abidin diakui masyarakat Muslimin sebagai ulama puncak dan kharismatik. Ia sangat dihormati, disegani, dan diindahkan nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu tidak hanya karena kedalaman ilmu pengetahuan agamanya, tidak pula karena satu-satunya pria keturunan Rasulullah, tetapi juga karena kemuliaan akhlak dan ketinggian budi pekertinya. Salah seorang Putera Amar bin Yasir meriwayatkan bahwa: pada suatu hari Ali bin Husein kedatangan suatu kaum, lalu beliau menyuruh pembantunya untuk membuatkan daging panggang, Kemudian pembantu itu dengan terburu buru sehingga besi untuk membakar daging terjatuh mengenai kepala anak Alin bin usein yang masih kecil sehingga anak tersebut meninggal. Maka Ali berkata kepada pembantunya, kamu kepanasan, sehingga besi itu jatuh. Setelah itu beliau sendiri mempersiapkan untuk memakamkan anaknya.. Menunjukan kesabaran dan kepasrahan beliau, dimana seorang pembantu telah

menyebabkan kematian anaknya. sehingga ia membalas kejelekan dengan suatu kebaikan. Sebuah keterangan yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Abdul Malik ketika ia sedang menunaikan ibadah haji sebelum diangkat menjadi Khalifah, ia berusaha untuk mencium hajar aswad tetapi ia tidak mampu melakukannya, kemudian datang Ali bin Husein hendak mencium hajar aswad juga sehingga orang orang disekitarnya menyingkir dan berhenti lalu beliau menciumnya. Kemudian orang orang bertanya kepada Hisyam siapa orang itu?, dia menjawab aku tidak mengenalnya. Maka seseorang berkata Aku mengenalnya, dia adalah Ali bin al Husein. Para ulama sepakat bahwa Ali bin al Husein ini anak paling kecil dari Husein yang selamat, sedangkan kakak kakaknya dan kedua orang tuanya terbunuh sebagai syuhada. Zainal Abidin kecil selamat dari pembunuhan keluarga Rasulullah, ketika itu ia sedang terlentang diatas tempat tidur karena sakit, sehingga keadaanya luput dari pembunuhan, saat itu usianya 23 tahun. Allah melindungi dan menyelamatkannya. Ia wafat pada tahun 74 H di Madinah dalam usia 58 tahun dan dimakamkan di Baqi. Riwayat lain dikatakan ia wafat pada tahun 93 H dalam usia 57 tahun. Sumber : Biografi Ali bin Husein dalam kitab Al ilmu wa al Ulama Karya Abu Bakar al Jazairy. Penerbit Daar al Kutub as Salafiyyah. Cairo. ditulis tanggal 5 Rabul Awal di Madinah al Nabawiyah.

Ummi Kultsum binti Ali bin Abu Thalib (Wafat 75H) Namanya adalah Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan anak, memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang luhur di sisi Rasulullah. Beliau juga putri khalifah Rasyidin yang keempat. Kakeknya adalah penghulu anak Adam. Ibu beliau adalah ratu wanita ahli jannah, Fathimah binti Rasulullah, sedangkan kedua saudaranya adalah pemimpin pemuda ahli jannah dan penghibur hati Rasulullah. Dalam lingkungan yang mulia seperti inilah pada zaman Rasulullah Ummu Kultsum dilahirkan, tumbuh berkembang dan terdidik. Beliau adalah teladan bagi para gadis muslimah yang tumbuh di atas dien, keutamaan dan rasa malu. Amirul Mukminin Umar bin Khathab al-Faruq , Khalifah Rasyidin yang kedua mendatangi ayahnya untuk meminang beliau. Akan tetapi, mulanya Imam Ali bin Abi Thalib meminta ditunda, karena Ummu Kultsum masih kecil. Umar berkata: Nikahkanlah aku dengannya wahai Abu Hasan, karena aku telah memperhatikan kemuliannya, yang tidak aku dapatkan pada orang lain. Maka Ali meridhainya dan menikahkan Umar dengan putrinya pada bulan Dzulqadah tahun 17 Hijriyah, dan hidup bersama hingga terbunuhnya Umar. Dari pernikahannya mendapatkan dua anak, yaitu Zaid bin Umar al-Akbar dan Ruqayyah binti Umar. Yang mengesankan pada Ummu Kultsum, istri dari Amirul Mukminin, bahwa suatu ketika Umar keluar pada malam hari seperti biasanya untuk mengawasi rakyatnya (inilah keadaan setiap pemimpin yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya dalam naungan daulah Islamiyah ). Beliau melewati suatu desa di Madinah, tiba-tiba beliau mendengar suara rintihan wanita yang bersumber dari sebuah gubug, di depan pintu ada seorang laki-laki yang sedang duduk. Umar mengucapkan salam kepadanya dan bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi. Laki-laki tersebut berkata bahwa dia adalah seorang Badui yang ingin mendapatkan kemurahan hati Amirul Mukminin. Umar bertanya tentang wanita di dalam gubug yang beliau dengar rintihannya. Laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah Amirul Mukminin, maka dia menjawab, Pergilah anda dan semoga Allah merahmati anda sehingga mendapatkan yang anda cari, dan janganlah anda bertanya tentang sesuatu yang tak ada gunanya bagi anda. Umar kembali mengulang-ulang pertanyaannya agar dia dapat membantu kesulitannya jika mungkin. Laki-laki tersebut menjawab, Dia adalah istriku yang hendak melahirkan dan tak ada seorang pun yang dapat membantunya. Umar bertolak meninggalkan laki-laki tersebut dan kembali ke rumah dengan segera. Beliau masuk menemui istrinya, yakni Ummu Kaltsum dan berkata, Apakah kamu ingin mendapat pahala yang Allah akan limpahkan kepadamu? Beliau menjawab dengan keadan yang penuh antusias dan berbahagia dengan kabar gembira tersebut yang mana beliau merasa mendapatkan kehormatan karenanya, Apa wujud kebaikan dan pahala tersebut Wahai Umar? Maka Umar memberitahukan kejadian yang baru mereka temui, kemudian Ummu Kultsum segera bangkit dan dan mengambil peralatan untuk melahirkan dan kebutuhan bagi bayi, sedangkan Amirul Mukminin membawa kuali yang di dalamnya ada mentega dan makanan. Beliau berangkat bersama istrinya hingga sampai ke gubug tersebut. Ummu Kultsum masuk ke dalam gubug dan membantu ibu yang hendak melahirkan dan beliau bekerja dengan semangat seorang bidan. Sementara itu, Amirul Mukminin duduk-duduk bersama laki-laki tersebut di luar sambil memasak yang beliau bawa. Tatkala istri laki-laki tersebut melahirkan anaknya, Ummu Kultsum secara spontan berteriak dari dalam rumah, Beritakan kabar gembira kepada temanmu wahai Amirul Mukminin, bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya seorang anak laki-laki. Hal itu

membuat orang badui tersebut terperanjat. Karena ternyata orang di sampingnya yang sedang memasak dan meniup api adalah Amirul Mukminin. Begitu pula wanita yang melahirkan tersebut terperanjat, karena yang menjadi bidan baginya di gubug tersebut ternyata adalah istri dari Amirul Mukminin. Takjub pula orang-orang yang hadir menyaksikan realita yang berada dalam naungan Islam tersebut ketika seorang kepala negara dan istrinya membantu seorang laki-laki dan istrinya dari Badui. Setelah berselang beberapa waktu lamanya, tangan yang berdosa dan dengki dengan Islam membunuh Umar bin Khatthab, sehingga Ummu Kultsum menjadi seorang janda. Tatkala Ummu Kultsum wafat, Ibnu Umar menyalatkannya dan begitu pula putranya, Zaid, yang berdiri di sampingnya dan mereka berdua takbir empat kali. Sumber : Kitab Nisaa Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.

PAMAN RASULULLAH 'Abbas bin Abdul Muththalib (Wafat 32 H) Nama sebenarnya adalah Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim, ia adalah seorang paman Nabi Shallallahu alaihi wassalam, dengan nama panggilan Abu Fadhel, ia termasuk pemukan Quraisy baik semasa jahililliyah maupun setelah Islam, ia memeluk Islam sebelum Hijrah secara diam diam dan tetap berdiam di Makkah guna dapat mengirimkan berita tentang kaum Musryikin kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Dia sempat mengikuti perang Hunain bersama Rasulullah dan termasuk pertahanan yang paling kuat, ia ikut rombongan Anshar dalam Baiat Akabah. Ia adalah paman Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam dan salah seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku. Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat dengannya. Ia pemah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam baiat al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram. Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pemah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan, maka iapun menepati nazamya itu. Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bernama alFadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji wada-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Mabad, mati syahid di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah. Para ulama berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya, ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabamya, ia pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah menyatakan, engkau lebih baik tinggal di Mekah . Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi, pembantu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku menjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecahbelah, lalu ia menyembunyikan keislamannya.

Hamzah bin Abdul Muththalib (Wafat 3 H) Nama sebenarnya Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian, Ia Ikut Hijrah bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan ikut dalam perang Badar, dan meninggal pada saat perang Uhud, Rasulullah menjulukinya dengan Asadullah (Singa Allah) dan menamainya sebagai Sayidus Syuhada. Ibnu Atsir berkata dalam kitab Usud al Ghabah, Dalam perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy, sampai pada suatu saat beliau tergelincir sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya. lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya hati Hamzah tetapi tidak tertelan dan segera dimuntahkannya. Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya, Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS an Nahl 126) Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq didalam kitab, Sirah Ibnu Ishaq dari Abdurahman bin Auf bahwa Ummayyah bin Khalaf berkata kepadanya Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?, aku menjawab Dia adalah Hamzah bin Abdul Muththalib. Lalu Umayyah dberkata "Dialah yang membuat kekalahan kepada kami. Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang 2 bilah pedang. Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis. Ia wafat pada tahun 3 H, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dengan Sayidus Syuhada. Sumber : Riwayat Hamzah bin Abul Muthalib dalam Usud al Ghabah Ibn Atsir, Sirah Ibn Ishaq..

Abu Thalib bin Abdul Muthalib (Wafat 3 SH) Nama sebenarnya adalah Abdu Manaf bin Abdul Muthalib bin Hasyim, sedang Abu Thalib adalah nama Panggilan yang berasal dari putra pertamanya yaitu Thalib. Abu Thalib adalah paman dan ayah asuh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Ia adalah ayah dari Ali bin Abi Thalib. Abu Thalib telah menerima amanat dari ayahnya Abdul Mutthalib untuk mengasuh Nabi dan telah dilaksanakan amanat tersebut. Nabi adalah sebaik-baik asuhan dan Abu Thalib adalah sebaik-baik pengasuh. Abu Thalib membela Nabi dengan jiwa raganya dalam berdakwah. Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan pengikutnya di hadang di sebuah lembah. Lalu datanglah Abu Thalib dengan tegar berkata: Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku. Abu Thalib selalu setia mendampingi Nabi. Beliau adalah orang yang banyak membantu perjuangan dakwah Islam. Abu Thalib ketika mau meninggal dunia berwasiat kepada keluarganya untuk selalu berada di belakang Nabi dan membelanya untuk menenangkan dakwahnya. Abu Thalib adalah pahlawan Bani Hasyim terkemuka dan pemimpin mereka. Nabi mengajaknya masuk Islam tapi dia menolak. Hadist Bukhari dalam Shahihnya, kitab tafsir No. 4675 dan 4772, Muslim 24, Dari Al Musayyib bin Hazn berkata, Ketika Abu Thalib hampir mati, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mengunjunginya dan mendapati Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah di sisi Abu Thalib. Lalu Rasulullah berkata, Wahai paman, ucapkan Laa Ilaha Illallah suatu kalimat yang aku akan membelamu karena ucapan itu dihadapan Allah. Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, Apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib? Beliau terus menerus menawarkan kepada pamannya untuk mengucapkannya, tetapi kedua orang itu terus mengulang-ulang. Hingga akhir ucapan Abu Thalib adalah tetap berada pada agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Rasulullah bersabda, Aku benar-benar akan memintakan ampunan bagimu selama tidak dilarang. Lalu Allah menurunkan ayat, Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orangorang musyrik, Walaupun ornag-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik adalah penghuni neraka jahanam. (At Taubah : 113). Ayat ini diturunkan Allah berkenaan dengan Abu Tholib. Dan Allah berfirman kepada Rasullulah "Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki." (Al-Qoshosh : 56). Riwayat lain: Dari Abu Hurairah, berkata ; Rasulullah berkata pada pamannya, Ucapkan Laa Ilaaha Illallah, aku akan bersaksi untukmu pada hari kiamat , Abu Thalib menjawab, Seandainya orang Quraisy tidak mencelaku dengan mengatakan Abu Thalib mengucapkan itu karena hampir mati . Lalu Allah menurunkan ayat (At Taubah : 113) kepada

Rasulullah. Dari Al Abbas bin Abdul Muthalib, berkata, Wahai Rasullulah, apakah engkau bisa memberi manfaat kepada Abu Thalib, sebab dia dulu memeliharamu dan membelamu? Jawab beliau, Benar, dia berada di neraka yang paling dangkal, kalau bukan karenaku niscaya dia berada di neraka yang paling bawah. (HR. Bukhari no. 3883, 6208, 6572, Muslim 209) Dari Abu Sa`id Al Khudri, berkata, Disebutkan disisi Rasulullah pamannya Abu Thalib, maka beliau bersabda, Somoga syafaatku bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih. (HR.Bukhari 3885, 6564, Muslim 210) Masih banyak riwayat lainnya yang menyatakan kekufuran Abu Thalib pada saat menjelang kematian. Ia wafat pada tahun 3 SH. Sumber : Riwayat Abu Thalib dalam Ishabah 1/117, Thabaqat Ibn Saad 1/24 dan sumber lainnya. Sumber: http://ahlulhadits.wordpress.com http://atstsurayya.wordpress.com

Das könnte Ihnen auch gefallen