Sie sind auf Seite 1von 100

PERSENTASI TUTORIAL

B6
Tutor : dr. Yoan Carolina Panggabean

Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Medan
PEMICU
Seorang anak laki-laki, usia 15 tahun dibawa ke UGD karena
jatuh dari bak truk yang sedang berjalan, 3 jam yang lalu. Pada
pemeriksaan ada jejas berupa vulnus laceratum di frontal,
pasien dapat membuka mata apabila dicubit dan menjawab
pertanyaan dokter dengan suara yang tidak jelas, tetapi ia
tidak dapat menggerakkan keempat ekstrimitasnya.
Pada pemeriksaan awal di UGD dijumpai tekanan darah
100/70 mmHg; nadi 126 kali permenit; pernafasan 16x
permenit; suhu 37.5 C

Apa yang terjadi pada anak laki-laki tersebut dan sebagai


dokter layanan primer apa yang harus anda lakukan?
More info
Dari hasil pemeriksaan fisik diagnostik dijumpai kebas
dimulai dari lengan atas dan dada atas ke bawah (caudal).
Hasil pemeriksaan penunjang:
1. X-ray thorak : normal
2. X-ray cervical : fraktur dislokasi C4-C5
3. Cervical MRI : fraktur dislokasi C4-C5 disertai memar
medulla spinalis segmen C4 dan C5
4. Head CT-scan : bercak-bercak pendarahan dilobus
frontalis
5. AGDA : normal
Learning Issues
1. Dermatome
2. Trauma kapitis
3. Trauma servikal
4. Indikasi merujuk
DERMATOME
DERMATOME
- the skin over the entire body is supplied by
somatic sensory neurons that carry nerve
impulses from the skin into the spinal cord
and brain.
- the area of the skin that provides sensory
input to the CNS via one pair of spinal nerves
or the trigeminal nerves is called a
dermatome.
- the nerve supply in adjacent dermatomes
overlaps somewhat.
TRAUMA KAPITIS
Definisi
- Adalah suatu trauma pada kepala yang dapat
menimbulkan gangguan struktural kepala dan
atau fungsional jaringan otak.
- Cedera kepala dapat terjadi akibat adanya
tekanan langsung maupun tekanan tidak
langsung terhadap otak
• Langsung (kontak injury) : adanya objek yang
menekan atau menembus kepala secara lansung
• Tidak langsung : proses akselerasi, deselerasi, dan
rotasi pada otak
Etiologi
• Motor vehicle accident
• Assault
• Sports related injury
• Falls
• Penetrating trauma
Risiko trauma kepala meningkat pada:
• Konsumsi alkohol
• Konsumsi antikoagulan dan antiplatelet
berkepanjangan
• Genetik -> terdapat alel APOE4
Pola-pola trauma kapitis

1. Luka dan avulsi kulit kepala


2. Fraktur Tulang Tengkorak
3. Perdarahan Intracranial
4. Gangguan Fungsi Jaringan Otak
1. LUKA DAN AVULSI KULIT KEPALA
• Luka dan avulsi (kehilangan sebagian) kulit
kepala dapat menyebabkan perdarahan yang
berat sehingga menyebabkan shock. Luka pada
kulit dapat menunjukkan lokasi (area) dimana
terjadi trauma. Bila dibawah luka terdapat fraktur
yang menekan jaringan otak maka luka tersebut
dapat merupakan jalan masuk kuman-kuman
untuk terjadinya infeksi intracranial.

Avulsi kulit kepala


2. FRAKTUR TULANG TENGKORAK
• Fraktur Kalvarium

Os
temporalis

• Contoh fraktur kalvarium a. Meningea media

• Fraktur Linier
merupakan sebuah garis (celah).
Fraktur linier yang berbahaya ialah fraktur yang melintas os
temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia
Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan
terjadi perdarahan hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura
mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.
• Fraktur liniair lain yang berbahaya adalah
fraktur yang melintas di atas Sinus Venosus ,
misalnya (1).Sinus Sagittalis Superior di garis
tengah tengkorak, (2).Sinus Confluens dan
(3).Sinus Rectus di bagian postrior tulang
tengkorak. Fraktur ditempat ini mungkin akan
merobek sinus venosus tersebut.
• Fraktur Impresi / Depresi

• Pada fraktur impresi/depresi ,fragmen-fragmen fraktur


melekuk kedalam dan menekan jaringan otak.
Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan
jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan
prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan
duramater dan celah fraktur) dan terjadi perdarahan.
• Bila fraktur calvarium masih tertutup oleh kulit kepala
yang utuh maka fraktur tersebut disebut Fraktur
Tertutup (Closed Fracture).
• Bila kulit kepala diatas fraktur calvarium luka sehingga
tampak fraktur, disebut Fraktur Terbuka atau Fraktur
Komplikata (Opened Fracture).
Fraktur impresi/fraktur
depresi di daerah tulang
parietal

• FRAKTUR DASAR TENGKORAK

f. 1.Apex os petrosum
anterior 2.Allae os sphenoid
2 * Sella Tursica
F.
*
media 1

f.
posteroir
Fraktur Basis Tengkorak
Fraktur Fossa Anterior
1.Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek duramater dan arachnoid
sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS) bersama darah
keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita
Fraktur atap orbita
Atap Orbita

Lamina Cribrosa
2. Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur merobek dura mater dan arachnoid
sehingga LCS bercampur darah akan keluar
dari rongga hidung.
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut
serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius)
Fraktur fossa Media

1. Fraktur os petrosum
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk
kedalam rongga telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani
2. Fraktur Sella Tursica
Di atas sella tursica terdapat kelenjar
Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars
anterior dan pars posterior (Neuro
Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg
biasa terganggu adalah pars posterior
Neurohypophyse
3. Sinus cavernosum sindrom

akibat fraktur dasar tengkorak di fossa media


yang memecahkan Arteri Carotis Interna yang
berada di dalam Sinus Cavernosus (rongga berisi
darah vena) sehingga terjadi hubungan langsung
arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari
Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus 
Carotid – Cavernous Fistula).
Fraktur Fossa Posterior.

1. Fraktur melintas os petrosum


Garis fraktur biasanya melintas bagian
posterior apex os petrossum sampai os
mastoid.

Os Petrosum
2. Fraktur melintas Foramen Magnum
di Foramen Magnum terdapat Medula
Oblongata, sehingga getaran fraktur akan
merusak Medula Oblongata , menyebabkan
kematian seketika.

Foramen Magnum Medula Oblongata


PERDARAHAN INTRAKRANIAL.

1. Perdarahan Epidural
Disebabkan pada umumnya karena fraktur di daerah
Temporal yang memutuskan Arteri Meningea Media yang
berjalan didalan suatu alur di tulang temporal. Darah dengan
segera akan terkumpul di rongga di antara dura mater dan
tulang tengkorak.
2. Perdarahan Subdural.
Perdarahan ini terletak diantara permukaan jaringan
otak dan di bawah duramater
a. Perdarahan subdural akut
Terjadi ruptur dari arteri permukaan otak
b. Perdarahan subdural kronik
Terjadi karena putusnya bridging veins dalam jumlah
sedikit,sehingga baru memberikan gejala neurologik
setelah 2-3 minggu trauma capitis
3.Perdarahan intracerebral
Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah
di dalam jaringan otak.
Perdarahan juga dapat terjadi di dalan sistem ventrikel ,
disebut Perdarahan Intraventrikular ( Intraventricular
Hemorrhage – IVH ). Darah akan menyumbat sistim
ventrikel sehingga liquor cerebrospinal tidak dapat
mengalir dan terkumpul di dalam sistem ventrikel.
4.Perdarahan subarachnoid
Perdarahan terletak dibawah lapisan
subarachnoid dan diatas piameter.
Berdasarkan Morfologi (Lesi Intrakranial)

Fokal
• Epidural
• Subdural
• Intraserebra
Difus
• Konkusi/Gegar otak
• Konkusi multipel
• Hipoksia/iskemik
• Difusse axonal injury
Klasifikasi cedera Kranioserebral
Klasifikasi berdasarkan APT
Amnesia Post Traumatik (APT)
• – Ringan APT < 1 jam
• – Sedang APT 1 - 24 jam
• – Berat APT 1 - 7 hari
• – Sangat berat APT > 7 hari
Patofisiologi trauma kapitis
Pa t o ph ysi o l o g y TRAU MA
The functional changes that accompany a particular
syndrome or disease Acceleration, Deceleration,
and Rotation Mechanism

Head Trauma Neck Trauma

Scalp Lacerations Acute Brain Injury Skull Fractures

Secondary phase (Excitotoxicity, Oxidative


Bleeding Primary (acute) phase Stress, Inflammation, Apoptosis)

↓ Venous return Primary Cell Death


ATP depletion Local release of cytokin
↓ GCS Flexion, Extension,
↓ Arterial Wall Permanent
Sc o re Rotational and Vertebral
Tension Brain Damage Anaerobic
Sodium influx metabolism Calcium influx Compression injury
Activated
Baroreceptors Cellular Edema Cellular Acidosis ↑ Glutamate release
Soft Tissue
Bony Injury
Adrenergic Reflex Injury

Hormonal Neural (Sympathetic Fracture and Ruptured or


fibers) Dislocation buckled
Hypothalamic Kidney Pancreas ligament, disc
from Stellate from Regional
Pituitary Axis Spinal Cord Injury extrusion, or
Glucagon Ganglion Ganglion
Renin vascular
Peripheral compromise
Heart Stimulation Sensory Motoric
Adrenal Cortex Adrenal Medulla Vasoconstriction disruption disruption
Mineralocorticoid Epinephrine and
↑ He a rt r a te
and Glucocorticoid Norepinephrine Te tr a pl e g i a

↑Water retention, ↑Glucose production,


↓Inflammation effects, Vasoconstriction
DIAGNOSIS HEAD INJURY
• Permukaan kepala
• Fraktur atap orbita Monocle Hematome / Racoon
eyes
• Fraktur melintas lamina cibrosa
Rinorrhoea dan hyposmia / anosmia
• Fraktur Os. Petrosum Otorrhoea
• Carotid Interna Artety rupture
Sinus cavernosus syndrome
• Fraktur Os. Petrosum sampai mastoid Battle sign
GLASGOW COMA SCALE
Eye Opening
Score
4 Spontaneously
3 To verbal command
2 To pain
1 No response
Best Motor Response
Score
6 Obeys command
5 Localizes pain
4 Flexion withdrawal
3 Flexion abnormal (decorticate)
2 Extension (decerebrate)
1 No response
Best Verbal Response
Score

5 Oriented and converses


4 Disoriented and converses
3 Inappropriate words; cries
2 Incomprehensible sounds
1 No response
LAB
• Biasanya mengalami hiponatremia akibat
SIADH atau cerebral wasting salt
• Magnesium biasanya banyak terbuang
• Bisa terjadi gangguan pembekuan darah
• Kadar alkohol
CT Scan
• Dengan CT scan dapat dilihat adanya
pembengkakan atau trauma di tempat
benturan
• Garis fraktur terlihat dengan jelas
• Digunakan untuk melihat adanya perdarahan
intrakranial
• MRI : Lebih sensitif di bandingkan dengan CT-
Scan untuk jaringan lunak. Eg : diffuse axonal
injury
• Diffuse Tensor Imaging : Untuk melihat
patologis aksonal yang tidak dapat dilihat
menggunakan MRI konvensional. eg : gangguan
traktus white matter
• EEG : untuk mendukung diagnosis
nonconvulsive status epilepticus
HISTOLOGI
• Berkisar 35 menit setelah trauma beta-amyloid akan
berkumpul di tempat trauma
• Apoptosis akan terinisiasi saat terjadinya head injury
dan dapat terjadi setelah 2 jam-12 hari setelah
trauma
• Trauma kepala berulang dapat menyebabkan
tauopathy (demensia pungilistica) dimana tau
reactive neurofibrilary tangles dan astrocytic tangles
akan berkumpul pada korteks frontal dan temporal
Penatalaksanaan Trauma Kapitis
Penatalaksanaan CKR : SKG 14 – 15
Penatalaksanaan CKS : SKG 9-13
Penatalaksanaan CKB : SKG 3-8
Komplikasi dan prognosis
trauma kapitis
Komplikasi
• Komplikasi dari trauma kapitis dapat dibagi 2 :
komplikasi sistemik dan komplikasi neurologi.
• Komplikasi neurologi seperti defisit neurologi
fokal, defisit neurologi global, kejang, CSF
fistula, hidrosefalus,vascular injury, infeksi dan
brain death.
Defisit neurologi fokal
• Sering terjadi
• Saraf kranial yang sering terkena adalah nervus I, IV, VII, dan VIII
• N I  anosmia terjadi 2-36 % dari pasien trauma kapitis. Lebih
sering pada trauma fraktur frontal dan pada postraumatik
rinorrhea. Postraumatik rinorrhea sembuh perlahan – lahan dan
1/3 dari seluruh pasien tidak menunjukkan perbaikan penciuman.
• N IV  sering terjadi karena merupakan saraf penglihatan yang
paling panjang. Menyebabkan terjadinya diplopia saat melihat ke
bwh  kompensasi dengan memiringkan kepala menjauhi lesi.
Kerusakan saraf ini dapat sembuh sempurna , 2/3 dari pasien
yang mengalami kerusakan unilateral dan ¼ dari pasien yang
mengalami kerusakan bilateral.
• N VII  biasanya terjadi pada trauma kapitis yang
mengenai tulang temporal.10 – 30 % dari orang
dengan fraktur longitudinal tulang temporal dan
30 – 50 % dari transversal mengalami kerusakan
nervus fasialis baik akut maupun delayed. Ada
dua jenis luka  immediate dan delayed.
Immediate  langsung terhadap saraf, delayed
 akibat odem wajah menekan saraf.
• N VIII  sering terjadi terutama pada fraktur
tulang temporal. Dengan gejala  vertigo,
tinnitus, dizziness yang sangat sering dijumpai
pada pasien trauma kapitis.
Hidrosefalus
• Komplikasi akhir yang sering terjadi pada trauma
kapitis.
• Ada 2 jenis
1. Ventrikulomegali + meningkatnya ICP  gejala
yang dijumpai adalah sakit kepala, gangguan
visual, mual/muntah, gangguan kesadaran.
2. Hidrosefalus tekanan normal  gejalanya
adalah gangguan memori, gait ataxia, dan
inkontinensia urin
kejang
• Kejang pasca trauma • Early seizures occur
sering terjadi dan dapat within 24 hours of the
dibagi menjadi 3 initial injury
kategori. • intermediate seizures
• Sering terjadi pada occur 1-7 days following
penetrating cerebral injury
injury dan late seizure • late seizures occur
terjadi ½ pada pasien more than 7 days after
ini. the initial injury.
CSF fistula
• Dapat dalam bentuk rinorea ataupun otorea. Yang
dapat terjadi 5 – 10 % pada pasien dengan trauma
kapitis. Lebih sering terkena pada fraktur basis kranii.
• 80 % dari CSF rinorea akan sembuh spontan dalam 1
minggu. Resiko menjadi meningitis 17 %.
• 95 % dari CSF otorea akan sembuh spontan dalam 1
minggu. Resiko menjadi meningitis lebih dari 4 %.
• Delayed CSF fistula dapat terjadi dari 1 minggu setelah
trauma sampai bertahun tahun kmdn. Tipe ini lebih
sulit ditangani dan sering membutuhkan operasi.
Vascular injury
• Jarang terjadi
• Arterial injury dapat tjd berupa tromboemboli,
aneurisma pasca trauma, dissection, carotid-
cavernous fistula (CCF).
• aneurisma pasca trauma dapat dibedakan
dengan aneurisma kongenital yaitu pada
kongenital terletak di proksimal sedangkan
pasca trauma terletak di distal.
infeksi
• Sering terjadi pada fraktur terbuka.
• Jika dijumpai fraktur basis kranii + CSF fistula  resiko
infeksi
• Penyebab infeksi tergantung dari lamanya luka.
• 72 jam pertama  pneumococcus yang paling sering .
• Setelah itu bakteri gram negatif dan Staphillococcus
aureus. Pasien harus diberikan vancomisin ( 1 gram IV)
dan generasi ketiga sefalosporin spt ceftazidime 1 g IV
sampai didapatkan hasil kultur.
Concussion dan postconcussive syndrome
Concussion is defined as any alteration of cerebral function caused by
a force to the head resulting in one or more of the following: a brief
loss of consciousness; light-headedness; vertigo; headache; nausea;
vomiting; photophobia; cognitive and memory dysfunction; tinnitus;
blurred vision; difficulty concentrating; amnesia; fatigue; personality
change; or a balance disturbance.
In 30 to 80 percent of patients with TBI, symptoms will remain 3 months
postinjury; in 15 percent of patients, symptoms will remain at 1 year.20
Persistence of these signs or symptoms has been termed "postconcussion
syndrome" (PCS)
Postconcussive syndrome patients continue to have complaints such
as headaches, dizziness, inability to concentrate, and memory changes.
After 1 year, 85 to 90 percent of these patients recover.
prognosis
TRAUMA SERVIKAL
Definisi  cedera tulang belakang yang
menyebabkan penekanan pada medulla
spinalis sehingga menimbulkan myelopati dan
merupakan keadaan darurat neurologi yang
perlu tindakan cepat, tepat, dan cermat utk
mengurangi kecacatan.
Etiologi
• Kecelakaan lalu lintas
• Penetrating trauma
• Menyelam
• Jatuh dari ketinggian dsb.
Klasifikasi Trauma Servikal
Klasifikasi Trauma Servikal
A. Klasifikasi berdasarkan mekanisme trauma

a. Hiperfleksi
b. Fleksi-rotasi
c. Hiperekstensi
d. Ekstensi-rotasi
e. Kompresi vertical

Trauma Hiperfleksi
1. Subluksasi anterior: terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior
tulang leher ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda
penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasi ke posterior (kifosis)
local pada tempat kerusakan ligament. Tanda-tanda lainnya:
• Jarak yang melebar antara prosesus spinosus
• Subluksasi sendi apofiseal
2. Bilateral interfacetal dislocation
Terjadi robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulan ligamen di
posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak dislokasi anterior korpus
vertebra. Dislokasi total sendi apofiseal.
3. Flexion tear drop fracture dislocation
Tenaga fleksi murni ditambah komponen kompresi menyebabkan robekan
pada ligament longitudinal anterior dan kumpulan ligament posterior disertai
fraktur avulsi pada bagian antero-inferior korpus vertebra. Lesi tidak stabil.
Tampak tulang servikal dalam fleksi:
• Fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian antero-inferior korpus
vertebra
• Pembengkakan jaringan lunak pravertebral
4. Wedge fracture
Vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal anterior dan
kumpulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil.
5. Clay shoveler’s fracture
Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligamen posterior tulang leher
mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus; biasanya pada
CVI-CVII atau Th1.
 Trauma fleksi rotasi
Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun terjadi
kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang
bersangkutan.
Tampak dislokasi anterior korpus vertebra. Vertebra yang bersangkutan dan
vertebra proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan vertebra distalnya tetap
dalam posisi lateral.

Trauma hiperekstensi
1. Fraktur dislokasi hiperekstensi
Dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina, dan prosesus
spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian postero-inferior. Lesi tidak
stabil karena terdapat kerusakan pada elemen posterior tulang leher dan
ligament yang bersangkutan.
2. Hangman’s fracture
Terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior CII terhadap CIII.
Trauma ekstensi-rotasi
Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisi.

Fraktur kompresi vertical


Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui kepala,
kondilus oksipitalis, ke tulang leher.
1. Bursting fracture dari atlas (Jefferson’s fracture)
2. Bursting fracture vertebra servikal tengah dan bawah

B. Klasifikasi berdasarkan derajat kestabilan

a. Stabil
b. Tidak stabil
Stabilitas dalam hal trauma tulang servikal dimaksudkan tetap utuhnya
komponen ligament-skeletal pada saat terjadinya trauma sehingga
memungkinkan tidak terjadinya pergeseran satu segmen tulang leher
terhadap lainnya.
Patofisiologi
In secondary injury, release of biochemical mediators including:

• Calcium accumulation intracellularly.


• Potassium accumulation extracellularly.
• Phospholipase A2.
• Arachidonic acid metabolites.
• Free oxyradicals.
• Excitatory amino-acids (glutamate,aspartate).
• Eicosanoid production.
• Catecholamine accumulation.
Gejala klinis
• Injury to the corticospinal tract or dorsal columns,
respectively, results in ipsilateral paralysis or loss of
sensation of light touch, proprioception, and vibration.
• Injury to the lateral spinothalamic tract causes
contralateral loss of pain and temperature sensation.
• Injury of anterior spinothalamic tract may result in
complete loss of vibration sensation and proprioception
but only partial loss of light touch sensation.
• Anterior cord injury causes paralysis and incomplete
loss of light touch sensation.
Systemic effect
1. CARDIOVASCULAR:
INITIAL INJURY:
Sudden increase in BP. Bradycardia. Dysrhythmias.
MINUTES LATER:
Spinal shock. This results from loss of sympathetic activity below the level of the lesion.
• Vasodilation and a fall in SVR.
• Venodilation and reduced venous return.
• Cardiac output falls.
• Blood pressure falls.
• Bradycardia due to unopposed PSNS activity when lesions involve the cardioaccelerator nerves (T1-T5).
• Bradyarrhythmias and AV nodal block.
AUTONOMIC HYPERREFLEXIA:
Reflex activity may return below the level of the lesion over a period of days to weeks. Somatic or visceral
stimulation (eg. bladder or rectal distension) results in massive sympathetic stimulation below the level of the
lesion. The intense vasoconstriction increases SVR and BP. There is a compensatory vasodilatation above the
level of the lesion associated with flushing, headache, sweating, nasal congestion and pupillary dilation.
Ventricular arrhythmias and heart block may be seen.
VENOUS THROMBOSIS:
Decreased muscle pump activity, venodilation and pressure on the calves increase the incidence of DVT's and PE's.
2. RESPIRATORY SYSTEM:
Depends on the level of the lesion. Arise from C3, 4 and 5
nerve roots. Thus if a lesion is below C5 diaphragmatic
function is preserved. Injuries above C3 cause instant death
unless ventilation is secured immediately. Lesions below C6
cause variable intercostal and abdominal muscle weakness.
The overall effect is severe hypoventilation producing
hypercapnia and hypoxaemia. The inability to cough and
clear secretions leads to atelectasis and pneumonia. The
absence of SNS activity causes reflex bronchoconstriction.
3. GASTROINTESTINAL SYSTEM:
• Gastric distension.
• Paralytic ileus.
• High risk of aspiration.
• Vomiting can be protracted causing hypokalaemia and metabolic alkalosis.
4. GENITOURINARY SYSTEM:
• Acute distension of the urinary bladder.
• Pseudopriapism.
5. TEMPERATURE REGULATION:
ASCI patients are poikilothermic because of a lack of vasoconstrictors below
the level of the lesion. Temperature regulation becomes impaired and they
are thus susceptible to hypothermia.
Diagnosis
Tatalaksana
Cedera Medulla Spinalis
Primary Survey
• A (Airway) → nilai airway swkt memperthnkan posisi tlg leher &
membuat airway definitif jk diperlukan.

• B (Breathing) → nilai dan beri oksigenasi yg adekuat serta bantuan


ventilasi bila diperlukan.

• C (Circulation)
- Bila terdpt hipotensi, bedakan syok hipovolemik(↓ TD, ↑ DJ,
extremitas dingin) dan syok neurogenik (↓ TD, ↓ DJ, extremitas
hangat).
- Ganti cairan utk hipovolemia.
- Pemberian cairan → monitor CVP.

• D (Disability)
- Tentukan tgkt ksadaran dan nilai pupil.
- Tentukan AVPU / GCS.
- Kenali paresis.
Secondary Survey
• Anamnese AMPLE
- Anamnesis dan mekanisme trauma .
- Riwayat medis.
- Identifikasi dan mencatat obat yang diberikan kepada penderita
sewaktu datang dan selama pemeriksaan dan penatalaksanaan.

• Penilaian ulang Tingkat Kesadaran dan Pupil.


• Penilaian ulang Skor GCS.
• Penilaian Tulang Belakang.
• Evaluasi ulang apakah ada cedera penyerta/ cedera yg
tersembunyi.
Prinsip terapi pd pasien cedera medulla
spinalis
• Perlindungan thdp trauma lbh lanjut
- Pemasangan kolar servikal semi rigid dan long spine board.
- Melakukan modifikasi log roll → memperthnkan slrh tbh penderita dlm
kesegarisan.
- Spine board hanya digunakan untuk transfer penderita dan jangan dipakai
untuk waktu lama → utk cegah terjdny dekubitus pada daerah dengan
penonjolan tulang spt: oksiput, skapula, sakrum, tumit (dpt jg dgn diberi
bantalan).

• Resusitasi Cairan dan Monitoring


1. Monitoring CVP → monitor pemasukan cairan secara hati-hati.
2. Kateter urin → monitor output urin & cegah distensi kandung kemih.
3. Kateter lambung → cegah distensi gaster dan aspirasi.
Long Spine Board
Prinsip terapi pd pasien cedera medulla
spinalis
• Penggunaan kortikosteroid
- Menurut NASCIS (The National Acute Spinal Cord Injury) II & III → high
dose metilprednisolon dpt mengurangi efek sekunder dari acute spinal
cord injury.
- Efektif utk penderita CMS yg bkn akibat luka tembus, < 8 jam pasca
trauma.
- Obat pilihan: metilprednisolon (30 mg/kgBB) bolus IV dlm 15 mnt
pertama; istirahat 45 mnt; dan maintenance (5,4 mg/kgBB/jam) selama
23 jam.
- Jika obat diberikan < 3 jam pasca trauma → lanjutkan selama 24 jam.
- Jika obat diberikan antara 3-8 jam → lanjutkan sampai 48 jam, kecuali
terdpt komplikasi.
Komplikasi trauma servikalis
• Defisit neurologis
• Aspirasi
• Hipotermia
• Komplikasi paru:
– Atelektasis
– Ventilasi-perfusi mismatch
– Refleks batuk menurun
RUJUKAN
RUJUKAN
• Kriteria : bila RS tidak mencukupi kebutuhan penderita
• SSP : trauma kapitis, luka tembak/fraktur impresi, luka terbuka
+/- kebocoran CSS, GCS <14/ penurunan GCS, tanda lateralisasi,
trauma medula spinalis/ fraktur vertebra yang berat
• GCS < 9 langsung dirujuk kefasilitas yang berkemampuan
pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan
fasilitas pengamat tekanan intrakranial (bila ada) serta
kemampuan menindak hipertensi intrakranial.
• Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera
intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk
kepusat bedah saraf.
PROTOKOL RUJUKAN
DOKTER YANG MERUJUK
• Identitas penderita
• Anamnesis singkat kejadian, data pra RS yang penting
• Penemuan awal pada pemeriksaan penderita serta respon terhadap
nyeri
INFORMASI UNTUK PETUGAS YANG AKAN MENDAMPINGI PETUGAS
PENDAMPING
• Pengelolaan jalan nafas penderita
• Cairan yang telah diberikan
• Prosedur khusus yang mungkin akan diperlukan
• Prosedur resusitasi dan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi
selama perjalanan
PROTOKOL RUJUKAN
DOKUMENTASI
• Masalah penderita
• Terapi yang telah diberikan
• Keadaan penderita saat dirujuk
• Kirim data dengan fax
SEBELUM MERUJUK
• Resusitasi penderita sampai sestabiol mungkin
• A:airwaypasang intubasi,suction,NGT
• B:Breathing tentukan RR(berikan oksigen), ventilasi mekanik,chest tube
• C:Circulation 2 jalur infus kristaloid, kontrol perdarahan luar, kateter uretra
(monitor keluaran urin)
• D:Disability penderita tidak sadar, berikan bantuan pernafasan,
manitol/diuretika, immob kepala, leher, thoraks,vertebra lumbalis
PROTOKOL RUJUKAN
• E:Exposure luka (kontrol perdarahan,
bersihkan dan perban luka), profilaksis tetanus,
AB (bila perlu)
• Pemeriksaan diagnostik : foto rontgen servikal,
toraks, pelvis, ekstremitas, pemeriksaan
lanjutan (CT Scan,aortagrafi), Hb, Ht, gol.darah,
crossmatch,AGDA, tes kehamilan (smua wanita
usia subur), EKG, Pulse oximetry.
• Fraktur bidai dan traksi
RUJUKAN
PENGELOLAAN SAAT TRANSPORT
• Monitoring tanda vital dan pulse oximetry
• Bantuan kardio-respirasi dimana diperlukan
• Pemberian darah bila diperlukan
• Pemberian obat sesuai instruksi dokter
• Menjaga komunikasi dengan dokter selama
transportasi
• Melakukan dokumentasi
THANK YOU !!!

Das könnte Ihnen auch gefallen