Sie sind auf Seite 1von 32

Oktaviano Satria Perdana

1610221096

Penguji :
dr. Hernawan, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK RSMS FK UPN


Veteran Jakarta
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang
disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan
spasme otot yang periodik dan berat.
Biasanya tidak disertai dengan penurunan
kesadaran.
Clostridium
tetani
Gram positif, batang,
ramping, berukuran 2 5
X 0,4 0,5 millimikron,
berspora, anaerob
obligat
Spora dewasa bulat di
ujung (drum stick)
Spora tahan terhadap
sinar matahari,
disinfektan, pendidihan
20 menit
Spora dapat dieliminasi
dengan autoclav P 1 atm,
120C selama 15 menit
Virulence &
Pathogenicity
Not pathogenic to
humans and animals
by invasive infection
but by the production
of a potent protein
toxin
tetanus toxin or
tetanospasmin
The second
exotoxin produced
is tetanolysin
function not known.
Tetanus toxin
Produced when spores germinate and vegetative
cells grow after gaining access to wounds. The
organism multiplies locally and symptoms appear
remote from the infection site.

One of the three most poisonous substances


known on a weight basis, the other two being the
toxins of botulism and diphtheria.
Tetanus toxin is produced in vitro in amounts up
to 5 to 10% of the bacterial weight.
Estimated lethal human dose of Tetanospamin
= 2.5 nanograms/kg body

Because the toxin has a specific affinity for


nervous tissue, it is referred to as a neurotoxin.
The toxin has no known useful function to C.
tetani.
Initially binds to peripheral nerve
terminals

Transported within the axon and


across synaptic junctions until it
reaches the central nervous
system.

Becomes rapidly fixed to


gangliosides at the presynaptic
inhibitory motor nerve endings,
then taken up into the axon by
endocytosis.

Blocks the release of inhibitory neurotransmitters (glycine and


gamma-amino butyric acid) across the synaptic cleft, which is
required to check the nervous impulse.
If nervous impulses cannot be checked by normal inhibitory
mechanisms, it leads to unopposed muscular contraction and
spasms that are characteristic of tetanus.
Methods of
transmission
C. tetani can live for years as spores in
animal feces and soil. As soon as it
enters the human body through a major
or minor wound and the conditions are
anaerobic, the spores germinate and
release the toxins.
Tetanus may follow burns, deep
puncture wounds, ear or dental
infections, animal bites, abortion.
Only the growing bacteria can produce
the toxin.
It is the only vaccine-preventable
disease that is infectious but not
contagious from person to person.
1. Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir
selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas penuh dan kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan
vaksinasi ulangan
2. CDC 1998-2000 melaporkan insidensi tetanus di
Amerika 0,16 kasus/1000000 populasi, 43 kasus
tiap tahun 15% kasus terjadi pada pengguna
obat suntik. Angka kematian 18%
3. Nigeria melaporkan 14% gangguan neurologis
disebabkan oleh tetanus
4. WHO 1992 memperkirakan 1000000 kematian terjadi
akibat tetanus di seluruh dunia 580000
tetanus neonatorum, 210000 di Asia Tenggara,
152000 di Afrika
5. Di Jakarta, tahun 1998, dilaporkan kejadian
tetanus pada anak-anak yang tidak divaksin
sebanyak 17 dari 22 kasus yang terjadi dan 5
Inkubasi 3-21 hari tetapi bisa lebih
pendek (rata-rata 8 hari), letak luka
yang jauh dari CNS masa inkubasi lebih
panjang.
Kejang bertambah berat selama 3 hari
pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang
frekwensinya
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Biasanya didahului dengan ketegangaan
otot terutama pada rahang dari leher.
Trismus (lockjaw)
Opistotonus, nuchal rigidity
Risus sardonicus
Trismus and
Sardonic Smile

Opistotonus
KLASIFIKASI
Ada 4 bentuk tetanus yang dikenal secara klinis :
Generalized tetanus (Tetanus umum)
peningkatan tonus otot dan spasme
menyeluruh.
Peningkatan tonus otot masseter (trismus),
disfagia (spasme otot faring), kekakuan/nyeri
leher, bahu, otot punggung (opistotonus), reflek
spasme, perut mengeras, kekakuan otot
meluas dari dagu dan otot fasial (risus
sardonicus) lengan kaku
Continue
Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
jarang terjadi, restriksi otot atau kontraksi yang menetap
di dekat luka , kontraksi biasa sembuh sendiri, prognosis
baik
Cephalic Tetanus
Jarang terjadi, menyertai trauma atau luka kepala atau
infeksi telinga, ditandai dengan trismus dan disfungsi
saraf krainalis ( saraf VII) tetanus general
Neonatal tetanus
Tidak mampu menghisap pada 3-10 hari setelah lahir,
iritabel, menangis keras, grimace, kekakuan,
opistotonus. Biasa ibu tidak mendapat imunisasi yang
adekuat
Cephalic Localized
Tetanus Tetanus

Generalized Neonatal
tetanus tetanus
Phillips Score

Tetanus ringan (angka < 9)


Tetanus sedang (angka 9-16)
Tetanus berat (angka > 16)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat
imunisasi:
Anamnesis
Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk),
pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak
steril, riwayat menderita otitis media supurativa
kronik (OMSK), atau gangren gigi.
Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap
imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak
bisa menetek
Pemeriksaan fisik
Adanya kekakuan lokal atau trismus.
Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus,
perut papan.
Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan,
extensi kaki dan adanya penyulit (3).
Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang
minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium(8):
Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan
dapat meningkat
Enzim otot serum mungkin meningkat
EKG dan EEG biasanya normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis
nanah yang diambil dari luka dapat membantu,
tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan
batang gram positif berbentuk tongkat penabuh
drum seringnya tidak ditemukan.
Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena
aktivitas kejang (>3U/ml)
Tes spatula dengan oropharynx swab gag reflex
(pasien berusaha menggigit spatula)
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi
kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme
otot dan memberikan bantuan
pemafasan sampai pulih
Tetanus ringan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan
tetanus sedang dapat sembuh dengan
pengobatan baku
sedangkan tetanus berat memerlukan
perawatan khusus yang intensif.
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka
irigasi luka
Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik)
membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202,
dalam hal ini penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan
1-2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka
disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus,
makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Netralisasi toksin yang bebas
Human TIG 3000-6000 unit Intramuscular
Menurunkan mortalitas menetralkan toksin
yang ada di sirkulasi dan toksin pada luka
yang belum terikat
Menyingkirkan sumber infeksi
Debridemen luka dan pemberian antibiotik
(mengeradikasi sel sel vegetatif sebagai
sumber toksin) mencegah multiplikasi
C.tetani .
Penicillin G 10-12 juta Unit/hari dalam
dosis terbagi selama 10-14 hari
antagonis GABA dan berkaitan dg konvulsi
Metronidazole 500mg tiap 6 jam atau 1 gr
tiap 12 jam selama 7-10 hari aman
Doksisiklin 100mg/12 jam
Klindamisin 150-300mg/6jam intravena
Eritromisin/tetrasiklin 1 gram/hari
intravena
Pengendalian rigiditas dan spasme
- Diazepam dosis awal 10-30 mg intravena
spasme ringan : 5-10 mg PO/4-6jam (prn)
spasme sedang : 5-10 mg IV (prn)
spasme berat : 50-10 mg dalam D5% (40mg/h)
- Meprobamate 300-400mg/4 jam intramuscular
- Klorpromasin 25-75 mg/4 jam
- Fenobarbital 50-100mg/4 jam
digunakan untuk terapi kejang otot pada tetanus,
rasa nyeri, gangguan ventilasi karena spasme laring
dan otot pernapasan
Penghambat neuromuskuler
bila pemberian sedative tidak adekuat
- atracurium
- pancuronium
- vecuronium
Penatalaksanaan respirasi
Intubasi atau trakeostomi pada kasus hipoventilasi yang
berkaitan dengan sedasi berlebihan/ laringospasme, atau
menghindari aspirasi
Pengendalian disfungsi otonomik
- morfin sulfat 0,5 mg-1 mg/kgBB/jam infus kontinu
sering digunakan untuk mengontrol disfungsi otonom
- magnesium sulfat dapat mencegah hiperaktivitas saraf
simpatik
Terapi tambahan
- fisioterapi cegah kontraktur
- heparin/ antikoagulan cegah emboli paru
Vaksinasi
setelah sembuh dari tetanus dilakukan vaksin
karena imunitas tidak diinduksi oleh toksin yang
menyebabkan tetanus
Imunisasi aktif
Program utama orang dewasa: 3 dosis Td ( tetanus-
diphteria-toxoid adsorbed)
dosis pertama dan kedua diberikan dalam 4-8
minggu,
dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis
kedua.
Dosis booster diberikan setiap 10 tahun
Perawatan luka
Merawat luka secara adekuat, pemberian tetanus toxoid/
ATS dalam beberapa jam setelah luka. ATS 1500U
intramuscular
Pemberian Toksoid dan
TIG

* : Kecuali luka > 24 jam


** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)
1.laringospasm,
2.kekakuan otot-otot
pernafasan atau terjadinya
akumulasi sekresi berupa
pneumonia dan atelektase
3.kompressi fraktur vertebra
4.dan laserasi lidah akibat
kejang
Faktor yang mempengaruhi
mortalitas pasien tetanus adalah
1. masa inkubasi
2. periode awal pengobatan
3. Imunisasi
4. lokasi fokus infeksi
5. Penyakit lain yang menyertai,
6. Beratnya penyakit, dan
penyulit yang timbul.
Daftar Pustaka

CDC Tetanus, 2006.


www.cdc.gov/nip/publications/pink/tetanus.pdf
Fauci, Braunwald et al. Harrions Principles
of Internal Medicine 17th Edition. McGraw Hill:
United State, 2008
Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2.EGC: Jakarta. 2005
Kiking R. Tetanus. Medan: USU Digital Library,
2004
Sudoyo, Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Jilid III. Pusat Penerbit Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta, 2006
Terima
kasih

Das könnte Ihnen auch gefallen