Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Sedangkan menurut istilah, para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat tentang Ahlul
Bait bahwa mereka adalah keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
diharamkan memakan shadaqah [4]. Mereka terdiri dari : keluarga Ali, keluarga
Ja’far, keluarga Aqil, keluarga Abbas [5], keluarga bani Harist bin Abdul Muthalib,
serta para istri beliau dan anak anak mereka.[6]
KEUTAMAAN AHLI BAIT
Nasab ahlul bait merupakan nasab yang paling mulia, karena dari keturunan
orang-orang pilihan. Cermatilah hadits berikut.
“Artinya : Dari Watsilah bin Asyqo Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah memilih
Kinanah dari keturunan Isma’il dan Allah memilih Quraisy dari keturunan
Kinanah. Allah memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan Allah memilih aku dari
keturunan Bani Hasyim” [HR Muslim : 2276]
[3]. Berhak Mendapat Seperlima Harta Ghonimah Dan Harta Fa’i
Allah berfirman.
“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah,
rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil”
[Al-Anfal : 41]
Firman Allah tentang harta fa’i.
“Artinya : Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada rasul-
Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
rosul, kerabat rosul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-
orang yang dalam perjalanan…[Al-Hasyr : 7]
[4]. Tidak Halal Meneriman Shadaqah
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas bagi keluarga Muhammad, hanyalah shadaqah itu untuk
orang-orang yang kotor”[4] [HR Muslim : 1072]
[5]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Berwasiat Kepada Mereka
dari Zaid Zaid berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah
di hadapan kami pada suatu hari, beliau memuji Allah, menasehati, dan setelah itu
beliau bersabda : “Ketahuilah wahai sekalian manusia, aku hanyalah manusia biasa,
hampir datang seorang utusan Rabbku dan aku akan memenuhinya, aku tinggalkan
kalian dua pedoman, yang pertama Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan
cahaya, maka ambilah Kitabullah itu, berpegang teguhlah. Lalu beliau melanjutkan :
“Dan terhadap ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku”,
beliau mengulang ucapannya sampai tiga kali”. Husain berkata : “Siapa ahli bait Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahai Zaid? Bukankah istri-istrinya termasuk ahli
baitnya?” Zaid Radhiyallahu ‘anhu menjawab : “Ya, istri-istri beliau termasuk ahli bait
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ahli baitnya adalah orang-orang yang
haram menerima shadaqah setelahnya” [HR Muslim : 2408]
[6]. Nasab Mereka Tidak Terputus Hingga Hari Kiamat
Berdasarkan hadits.
“Artinya : Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari Kiamat
kecuali sebabku dan nasabku” [HR Thobari dalam Mu’jam Kabir 3/129/1,
Harowi dalam Dzammul Kalam 2/108. Syaikh Al-Albani berkata dalam
Ash-Shohihah 5/64 : Kesimpulannya, hadits ini dengan keseluruhan
jalan-jalannya adalah shahih] [5]
Kebenaran hanya milik Allah. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an?
jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Al Qur’an sesuai
pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-
sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.
Kemudian siapakah sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta
sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya, merekalah para
sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.
Pengertian Sahabat Nabi
Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in.
Tentang jumlah orang yang tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi
menjelaskan:
“Empat puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah.
Pada masa sebelumnya 70.000 orang sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam
perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat
Nabi”
Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan
sahabat Nabi:
“Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena
Allah Ta’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian yang
diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan mereka. Juga
dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah
mereka”
Berbeda dengan kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari
kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka
yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka.
Imam Abu Hanifah berkata:
“Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar,
lalu Utsman lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh menyebut mereka kecuali dengan sebutan-
sebutan yang indah”
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung
Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu
genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya”
Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran
seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:
“Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu
agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling
baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka.
Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)”
Beliau juga berkata:
Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi dari
perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan
mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan.
Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”
Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”
Bukti keimanan seseorang adalah adanya amal nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh
karena iman bukan sekadar pengakuan kosong belaka, tanpa mampu memberikan
pengaruh dalam kehidupan seorang Mukmin. Selain merespon seluruh amal islami dan
menyerapnya ke dalam ruang kehidupannya. Seorang Mukmin juga harus selalu loyal
dan memberikan wala’-nya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia harus mencintai dan
mengikuti apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi seluruh perbuatan yang dilarang.
Perhatikan firman Allah berikut ini.
Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya,’ jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 31-32)
Di sisi lain, seorang Mukmin harus berlepas diri (Bara,) dan tidak cinta (menolong loyal )
terhadap musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah
mengingatkan orang-orang beriman tentang hal ini.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maa`idah: 51)
Oleh karena itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep aqidah al-
wala’ wal Bara, dalam perspektif Islam.
Ta’rif (Definisi)
Secara etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘mencintai’, ‘menolong’,
‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’. Ibnu al-A’rabi berkata, “Ada dua orang yang
bertengkar, kemudian pihak ketiga datang untuk meng-ishlah (memberbaiki hubungan).
Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada salah satu di antara
keduanya.”
Adapun maula memiliki banyak makna, sebagaimana berikut ini.
“Ar-Rabb, Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang Memerdekakan,
Yang Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau sekutu, Yang
Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua arti ini menunjukkan
arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu Mandzur, 3/985-986)
Selanjutnya, kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah ‘permusuhan’ dan kata al-
wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’.
Aqidah al-wala’ dan al-bara’ merupakan salah satu konsekuensi dari tauhid. Seseorang yang
mentauhidkan Allah Ta’ala dan taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tidak boleh baginya mencintai dan loyal kepada orang-orang yang memusuhi Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya, meskipun mereka adalah saudaranya yang paling dekat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa pada asalnya, kata al-wala’
berarti cinta dan dekat, sedangkan kata al-bara’ berarti benci dan jauh. Sehingga yang
dimaksud dengan al-wala’ adalah menolong, mencintai, memuliakan, dan menghormati,
serta selalu merasa bersama dengan orang yang dicintainya baik secara lahir maupun batin.
Adapun yang dimaksud dengan al-bara’ adalah menjauh, berlepas diri, membenci, dan
memberikan permusuhan.
Kedudukan Aqidah Al-Wala’ dan Al-Bara’ dalam Islam
Di antara pokok aqidah Islam adalah wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan al-wala’ dan al-
bara’ ini. Sehingga dia mencintai sesama muslim lainnya dan membenci musuh-musuhnya. Dia mencintai
orang-orang yang bertauhid dan loyal kepada mereka, serta membenci dan memusuhi pelaku syirik.
Allah Ta’ala telah mengharamkan orang-orang beriman untuk mencintai dan loyal kepada orang-orang
kafir, meskipun mereka adalah kerabat dan saudaranya sendiri.
Al-wala’ dan al-bara’ merupakan konsekuensi dari rasa cinta kita kepada Allah Ta’ala. Orang yang
mencintai Allah, maka dia dituntut untuk membuktikan cintanya kepada Allah, yaitu dengan mencintai yang
Allah cintai dan membenci apa yang Allah benci. Di antara yang dicintai Allah Ta’ala adalah ketaatan dan
orang-orang yang bertakwa, sedangkan di antara yang Allah Ta’ala benci adalah kemaksiatan,
kekafiran, kemusyrikan, serta syi’ar-syi’arnya.
Allah Ta’ala berfirman,
َم أَ أو
ََه أُ م أَ أَو أَ أبنَاء ُ ه وَلَ أَو َكا ُنوا آَبَاء
ََه أ َُ َسول ََ َّ َن حَا ََّد
ُ َللا َو َر ُّ خ َر ُيو
ََ َاد
َون م أ ِ ِ َ اْل
م أ اّلل و أ
َِ َاليَ أو َِ َّ ِون ب
ََ د َق أو ًما ُي أؤ ِم ُن ََ
َُ ِل تَج
َشي َرتَ ُه أ
م ِ م أَ أَو َع إِ أ
َخوَانَ ُه أ
”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga
meraka” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22).
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir
secara umum. Kemudian Allah tegaskan lagi di ayat yang lain adanya larangan untuk
memberikan loyalitas kepada Yahudi dan Nasrani secara khusus.
Allah Ta’ala berfirman,
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak akan pernah terjadi adanya orang-orang
mukmin yang mencintai dan memberikan loyalitas kepada orang kafir, baik orang kafir secara umum,
ataupun orang Yahudi dan Nasrani secara khusus. Jika ada orang mukmin yang mencintai orang kafir,
maka ketahuilah bahwa dia bukan orang mukmin, meskipun dia mengklaim dirinya sebagai seorang
mukmin. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kecintaan kepada orang kafir meniadakan iman kepada
Allah dan hari akhir, baik menghilangkan iman secara total atau hanya sebagian saja. Jika kecintaan
kepada orang kafir itu menyebabkan seseorang mendukung dan membela kekafiran mereka, maka
perbuatan ini mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Namun jika hanya semata-mata rasa cinta yang
tidak sampai membela dan mendukung kekafiran mereka, maka hal ini dapat mengurangi dan
melemahkan iman.
Kepada Siapakah Kita Bersikap Wala’ atau Bara’?
Dilihat dari sisi wala’dan bara’, terdapat tiga jenis golongan manusia.
Pertama, adalah orang-orang yang wajib kita cintai secara mutlak, tidak boleh kita benci
sama sekali. Mereka adalah orang-orang beriman dari kalangan para Nabi, para
shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama, dan orang-orang shalih secara umum.
Yang paling utama di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kecintaan kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haruslah lebih besar
daripada kecintaan kita kepada anak atau orang tua kita, bahkan diri kita sendiri.
Kedua, adalah orang-orang yang harus kita benci secara mutlak, tidak boleh kita cintai
sama sekali. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang
munafik. Allah Ta’ala berfirman,
َ م َوفِي أال َع َذا
ِب َُ َّ َط
ََللا َعلَ أي ِه أ َخ َم أَ أ
َ ن
ِ س ُ م َأَ أن ُف
َس ُه أ َن ال َّ ِذينََ َك َف ُروا لَبِ أئسََ مَا َق َّدم أ
ََت لَ ُه أ ََ م يَ َتوَل َّ أو
َتَ َرى َكثِيرًا ِم أن ُه أ
ََ خالِ ُد
ون ُ
َه أ
َ م
”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang
kafir (musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka
sendiri, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam
siksaan” (QS. Al-Maidah [5]: 80).
Ketiga, adalah orang-orang yang kita cintai dari satu sisi, namun juga kita benci dari sisi
yang lain. Mereka adalah orang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan. Sehingga
terkumpul dalam diri kita rasa cinta sekaligus rasa benci kepada mereka. Kita tidak boleh
membenci mereka saja dan tidak mencintainya sama sekali, bahkan berlepas diri dari
mereka. Namun, kita mencintai mereka karena keimanan mereka, dan kita juga
membenci mereka karena maksiat yang mereka kerjakan. Hal ini dengan catatan bahwa
maksiat yang mereka lakukan adalah maksiat yang tingkatannya di bawah kesyirikan
dan kekafiran. Kecintaan kepada mereka menuntut kita untuk menasihati dan tidak
tinggal diam atas maksiat yang mereka kerjakan, bahkan kita wajib mengingkarinya,
memerintahkan mereka untuk berbuat yang ma’ruf, dan mencegah mereka dari
perbuatan munkar. Apabila memiliki kewenangan, kita juga dapat menghukum mereka,
sehingga mereka berhenti melakukan maksiat tersebut dan bertaubat dari
kesalahannya.
Ketidaktahuan Kebanyakan Umat Islam terhadap Aqidah Al-Wala’ wal Bara’ yang
Agung Ini
Seiring dengan ketidakpedulian umat Islam pada zaman ini terhadap ajaran agamanya,
maka kita jumpai banyak di antara kaum muslimin yang meremehkan aqidah yang
agung ini. Orang yang seharusnya dibenci dan dimusuhi justru dicintai dan diagung-
agungkan, sedangkan yang seharusnya dicintai justru dibenci dan dimusuhi. Kita jumpai
saudara-saudara kita yang menyebut orang-orang Nasrani sebagai “saudara-saudara
kita” atau ungkapan berbahaya semacam itu.
Kita jumpai pula saudara-saudara kita yang lebih menghormati, mencintai, dan
menjadikan orang-orang kafir sebagai idola dalam hidupnya. Berapa banyak
penggila bola yang sampai hafal para pemain bola dari luar negeri yang
mayoritas orang-orang kafir? Merek “ngefans” berat kepada mereka, sampai-
sampai memajang foto-foto mereka di kamar tidurnya. Mereka pun sampai rela
bangun tengah malam untuk menonton aksi sang idola tercinta, dan
meninggalkan shalat malam yang lebih utama. Lalu, berapa banyak pula
saudara-saudara kita yang tergila-gila dengan artis barat, mereka rajin untuk
mengikuti berita atau gosip terbaru tentang kehidupan mereka, mencontoh gaya
hidup mereka, dan rela antri mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit
untuk menonton setiap aksi mereka ketika film terbaru mereka keluar di pasaran.
Akan tetapi sebaliknya, marilah kita melihat betapa banyak saudara-saudara kita yang memandang sinis
ketika melihat saudaranya melaksanakan ajaran agamanya dengan (misalnya) memanjangkan jenggotnya
dan tidak memotongnya serta memakai celana sampai di atas mata kakinya. Berapa banyak yang
memandang mereka sebagai orang-orang kampungan, orang-orang kolot, dan julukan-julukan yang lebih
ngeri dari itu semua seperti “manusia sok suci”, “kambing”, “orang kebanjiran”, atau “teroris”? Bahkan kita
jumpai kebencian dan sikap antipati yang sangat ketika melihat seorang muslim dengan penampilan
seperti itu. Padahal, mereka itulah saudaranya yang sebenarnya, bukan orang-orang kafir itu.