Sie sind auf Seite 1von 30

Pengertian Aqidah

Kata "‘Aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth


(ikatan), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), Di
antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan)

"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian,


pelepasan).

Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah


berkaitan dengan keyakinan. Yaitu ikatan kita dengan Alloh SWT (
iman ) dan dengan para Rasul.
Makna lain dari aqidah
adalah urusan-urusan yang harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan
rasa puas serta terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat
digoncangkan oleh badai subhat (keragu-raguan). Dalam definisi yang lain
disebutkan bahwa aqidah adalah sesuatu yang mengharapkan hati
membenarkannya, yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan yang
menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah


adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim
yang bersumber dari ajaran Islam yang wajib dipegangi oleh setiap muslim
sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Ahlul Bait
Nasab ahli bait/ahlul bait merupakan nasab yang mulia, karena mereka terlahir
dari keturunan orang-orang pilihan, manusia terbaik yang ada di muka bumi.
Namun kemuliaan nasab ini janganlah membuat kita lupa daratan kepada
mereka, semisal terlalu berlebihan alias ghuluw atau menganggap mereka
ma’shum dari dosa, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya bagaimana loyalitas yang
benar terhadap ahli bait, cermati pembahasan berikut ini. Allahul Muwaffiq.

SIAPAKAH AHLI BAIT?


Telah terjadi silang pendapat di kalangan ulama tentang siapakah ahli bait Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat yang shahih, ahli bait Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah yang diharamkan bagi mereka shodaqoh. Mereka adalah
istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya, serta seluruh kaum
muslimin dan muslimah dari keturunan Abdul Muthalib dan keturunan Bani
Hasyim bin Abd Manaf, Allahu a’lam
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Telah terlahir Syaibah untuk Hasyim bin
Abd Manaf dan dia adalah Abdul Muthalib, pada dirinyalah patokan kemuliaan.
Tidak tersisa keturunan dari Bani Hasyim kecuali dari Abdul Mutholib saja”
[Jamharoh Ansab Al-Arob hal. 14] [1]

Sedangkan menurut istilah, para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat tentang Ahlul
Bait bahwa mereka adalah keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
diharamkan memakan shadaqah [4]. Mereka terdiri dari : keluarga Ali, keluarga
Ja’far, keluarga Aqil, keluarga Abbas [5], keluarga bani Harist bin Abdul Muthalib,
serta para istri beliau dan anak anak mereka.[6]
KEUTAMAAN AHLI BAIT

[1]. Allah Telah Menyucikan Mereka


Imam Muslim telah meriwayatkan dari jalan Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar, kemudian datang
Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma dan memasukkannya bersamanya,
kemudian datang Husain dan beliau memasukkanya pula, kemudian
datang Fathimah Radhiyallahu ‘anhuma dan beliau memasukkan
bersamanya, kemudian datang Ali Radiyallahu ‘anhuma dan beliau
memasukkannya pula, kemudian beliau membaca ayat.
“Artinya : … Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa
dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”
[Al-Ahzab : 33]
[2]. Pilihan Allah

Nasab ahlul bait merupakan nasab yang paling mulia, karena dari keturunan
orang-orang pilihan. Cermatilah hadits berikut.
“Artinya : Dari Watsilah bin Asyqo Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah memilih
Kinanah dari keturunan Isma’il dan Allah memilih Quraisy dari keturunan
Kinanah. Allah memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan Allah memilih aku dari
keturunan Bani Hasyim” [HR Muslim : 2276]
[3]. Berhak Mendapat Seperlima Harta Ghonimah Dan Harta Fa’i

Allah berfirman.
“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah,
rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil”
[Al-Anfal : 41]
Firman Allah tentang harta fa’i.
“Artinya : Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada rasul-
Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
rosul, kerabat rosul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-
orang yang dalam perjalanan…[Al-Hasyr : 7]
[4]. Tidak Halal Meneriman Shadaqah
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas bagi keluarga Muhammad, hanyalah shadaqah itu untuk
orang-orang yang kotor”[4] [HR Muslim : 1072]
[5]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Berwasiat Kepada Mereka

dari Zaid Zaid berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah
di hadapan kami pada suatu hari, beliau memuji Allah, menasehati, dan setelah itu
beliau bersabda : “Ketahuilah wahai sekalian manusia, aku hanyalah manusia biasa,
hampir datang seorang utusan Rabbku dan aku akan memenuhinya, aku tinggalkan
kalian dua pedoman, yang pertama Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan
cahaya, maka ambilah Kitabullah itu, berpegang teguhlah. Lalu beliau melanjutkan :
“Dan terhadap ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku”,
beliau mengulang ucapannya sampai tiga kali”. Husain berkata : “Siapa ahli bait Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahai Zaid? Bukankah istri-istrinya termasuk ahli
baitnya?” Zaid Radhiyallahu ‘anhu menjawab : “Ya, istri-istri beliau termasuk ahli bait
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ahli baitnya adalah orang-orang yang
haram menerima shadaqah setelahnya” [HR Muslim : 2408]
[6]. Nasab Mereka Tidak Terputus Hingga Hari Kiamat

Berdasarkan hadits.
“Artinya : Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari Kiamat
kecuali sebabku dan nasabku” [HR Thobari dalam Mu’jam Kabir 3/129/1,
Harowi dalam Dzammul Kalam 2/108. Syaikh Al-Albani berkata dalam
Ash-Shohihah 5/64 : Kesimpulannya, hadits ini dengan keseluruhan
jalan-jalannya adalah shahih] [5]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Tidak perlu diragukan wasiat


untuk berbuat baik kepada ahli bait dan pengagungan kepada mereka,
karena mereka dari keturunan yang suci, terlahir dari rumah yang paling
mulia di muka bumi ini secara kebanggaan dan nasab. Lebih-lebih
apabila mereka mengikuti sunnah nabawiyyah yang shahih, yang jelas,
sebagaimana yang tercermin pada pendahulu mereka seperti Al-Abbas
dan keturunannya, Ali dan keluarga serta keturunannya, semoga Allah
meridhoi mereka semua” [Tafsir Ibnu Katsir 4/113]
Sahabat Rosul SAW
Di tengah maraknya pemikiran dan pemahaman dalam agama Islam, Setiap
kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan diri sebagai yang lebih benar
pemahamannya terhadap Islam, menurut keyakinannya.

Kebenaran hanya milik Allah. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an?
jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Al Qur’an sesuai
pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-
sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.

Kemudian siapakah sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta
sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya, merekalah para
sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.
Pengertian Sahabat Nabi

Yang dimaksud dengan istilah ‘sahabat Nabi’ adalah :


“Orang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan
Islam, yang meriwayatkan sabda Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak
dalam tempo yang lama, atau Rasulullah belum pernah melihat ia sama sekali”

Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in.
Tentang jumlah orang yang tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi
menjelaskan:

“Empat puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah.
Pada masa sebelumnya 70.000 orang sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam
perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat
Nabi”
Keutamaan Sahabat

Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan
sahabat Nabi:

“Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena
Allah Ta’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian yang
diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan mereka. Juga
dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:


َ‫ج َّنات‬
َ ‫م‬ َ‫د لَ ُه أ‬ ََّ ‫ه وَأَ َع‬ َُ ‫ضوا َع أن‬
ُ ‫م َو َر‬ َّ ‫ي‬
َ‫َللاَُ َع أن ُه أ‬ ََ ‫ض‬ ِ ‫سانَ َر‬ َ ‫ح‬ ‫م بِإِ أ‬
َ‫وه أ‬ُ ‫َار وَالَّ ِذينََ اتَّبَ ُع‬
َِ ‫َاْلَ أنص‬
‫ج ِرينََ و أ‬
ِ ‫مهَا‬ ََ ُ‫ون أاْلَ َّول‬
ُ ‫ون ِمنََ أال‬ ََ ‫َالسابِ ُق‬
َّ ‫و‬
ِ ‫ك أال َف أو َُز أال َع‬
َُ ‫ظ‬
‫يم‬ ََ ِ‫خالِ ِدينََ فِيهَا أَبَ ًدا َۚ َٰ َذل‬ َ ‫ح َتهَا أاْلَ أنهَا َُر‬
‫ج ِري تَ أ‬ ‫تَ أ‬
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar” (QS. At Taubah: 100)
:Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda

“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah
mereka”

Berbeda dengan kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari
kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka
yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka.
Imam Abu Hanifah berkata:

“Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar,
lalu Utsman lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh menyebut mereka kecuali dengan sebutan-
sebutan yang indah”
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung
Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu
genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya”
Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran
seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:

“Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu
agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling
baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka.
Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)”
Beliau juga berkata:

“Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia memilih Muhammad Shallallahu’alaihi


Wasallam dan mengutusnya dengan risalah. Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati manusia, lalu Ia
memilih para sahabat Nabi, kemudian menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya dan
pembela agama-Nya. Maka segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Mu’minin -yaitu
Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu yang
dipandang buruk oleh kaum Mu’minin, itulah yang buruk di sisi Allah”
“Asas Ahlussunnah Wal adalah berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani mereka… dst.”

Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi dari
perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan
mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:

“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan.
Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”
Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”

Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya:


“Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah. Lalu mendengar dan taat kepada pemimpin,
walaupun ia dari kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup sepeninggalku akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnnahku dan sunnah
khulafa ar raasyidin yang mereka telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan
gigi geraham. Serta jauhilah perkara yang diada-adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah
itu sesat” (HR. Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban no.5)
Jika Sahabat Berselisih Pendapat

Jika dalam sebuah permasalahan, terdapat beberapa pendapat diantara para


sahabat, maka kebenaran ada di salah satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu
yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:


“Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam Syafi’i, aku dengar engkau mengatakan
bahwa setelah Al Qur’an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu
bagaimana dengan perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat?
Imam Asy Syafi’i berkata: Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di
antara para sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan
Al Qu’an atau Sunnah atau Ijma’ atau Qiyas yang paling shahih”
Al Wala’ Wal Bara’

Bukti keimanan seseorang adalah adanya amal nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh
karena iman bukan sekadar pengakuan kosong belaka, tanpa mampu memberikan
pengaruh dalam kehidupan seorang Mukmin. Selain merespon seluruh amal islami dan
menyerapnya ke dalam ruang kehidupannya. Seorang Mukmin juga harus selalu loyal
dan memberikan wala’-nya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia harus mencintai dan
mengikuti apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi seluruh perbuatan yang dilarang.
Perhatikan firman Allah berikut ini.

Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya,’ jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 31-32)

Di sisi lain, seorang Mukmin harus berlepas diri (Bara,) dan tidak cinta (menolong loyal )
terhadap musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah
mengingatkan orang-orang beriman tentang hal ini.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maa`idah: 51)

Oleh karena itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep aqidah al-
wala’ wal Bara, dalam perspektif Islam.
Ta’rif (Definisi)
Secara etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘mencintai’, ‘menolong’,
‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’. Ibnu al-A’rabi berkata, “Ada dua orang yang
bertengkar, kemudian pihak ketiga datang untuk meng-ishlah (memberbaiki hubungan).
Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada salah satu di antara
keduanya.”
Adapun maula memiliki banyak makna, sebagaimana berikut ini.
“Ar-Rabb, Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang Memerdekakan,
Yang Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau sekutu, Yang
Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua arti ini menunjukkan
arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu Mandzur, 3/985-986)
Selanjutnya, kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah ‘permusuhan’ dan kata al-
wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’.
Aqidah al-wala’ dan al-bara’ merupakan salah satu konsekuensi dari tauhid. Seseorang yang
mentauhidkan Allah Ta’ala dan taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tidak boleh baginya mencintai dan loyal kepada orang-orang yang memusuhi Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya, meskipun mereka adalah saudaranya yang paling dekat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa pada asalnya, kata al-wala’
berarti cinta dan dekat, sedangkan kata al-bara’ berarti benci dan jauh. Sehingga yang
dimaksud dengan al-wala’ adalah menolong, mencintai, memuliakan, dan menghormati,
serta selalu merasa bersama dengan orang yang dicintainya baik secara lahir maupun batin.
Adapun yang dimaksud dengan al-bara’ adalah menjauh, berlepas diri, membenci, dan
memberikan permusuhan.
Kedudukan Aqidah Al-Wala’ dan Al-Bara’ dalam Islam
Di antara pokok aqidah Islam adalah wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan al-wala’ dan al-
bara’ ini. Sehingga dia mencintai sesama muslim lainnya dan membenci musuh-musuhnya. Dia mencintai
orang-orang yang bertauhid dan loyal kepada mereka, serta membenci dan memusuhi pelaku syirik.
Allah Ta’ala telah mengharamkan orang-orang beriman untuk mencintai dan loyal kepada orang-orang
kafir, meskipun mereka adalah kerabat dan saudaranya sendiri.

Allah Ta’ala berfirman,


ُ ‫َ أ َ َ َّ ُ أ أ ُ أ‬
‫م‬ ُ ‫ك‬
َُ ‫ه‬ ََ ِ‫م َفأولَئ‬
َ ‫م ِمنك‬
َ ‫َن يتوَله‬
َ ‫ن وم‬
َِ ‫اْليمَا‬ َ‫اس َتحَبُّوا أال ُك أ‬
ِ ‫ف ََر َعلَى أ‬ ‫ن أ‬َِ ِ‫م أَ أولِيَا ََء إ‬
َ‫خوَانَ ُك أ‬ َ‫خ ُذوا آَبَاء َُك أ‬
‫م وَإِ أ‬ ََ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينََ آَ َم ُنوا‬
ِ ‫ل تَ َّت‬
ََ ‫م‬
‫ون‬ ُ ِ‫الظَّال‬
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu
menjadi wali (kekasih) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di
antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. At-
Taubah [9]: 23).

Al-wala’ dan al-bara’ merupakan konsekuensi dari rasa cinta kita kepada Allah Ta’ala. Orang yang
mencintai Allah, maka dia dituntut untuk membuktikan cintanya kepada Allah, yaitu dengan mencintai yang
Allah cintai dan membenci apa yang Allah benci. Di antara yang dicintai Allah Ta’ala adalah ketaatan dan
orang-orang yang bertakwa, sedangkan di antara yang Allah Ta’ala benci adalah kemaksiatan,
kekafiran, kemusyrikan, serta syi’ar-syi’arnya.
Allah Ta’ala berfirman,

َ‫م أَ أو‬
َ‫َه أ‬ُ ‫م أَ أَو أَ أبنَاء‬ ُ ‫ه وَلَ أَو َكا ُنوا آَبَاء‬
َ‫َه أ‬ َُ َ‫سول‬ ََ َّ ‫َن حَا ََّد‬
ُ ‫َللا َو َر‬ ُّ ‫خ َر ُيو‬
ََ ‫َاد‬
َ‫ون م أ‬ ِ ِ َ ‫اْل‬
‫م أ‬ ‫اّلل و أ‬
َِ ‫َاليَ أو‬ َِ َّ ِ‫ون ب‬
ََ ‫د َق أو ًما ُي أؤ ِم ُن‬ ََ
َُ ِ‫ل تَج‬
َ‫شي َرتَ ُه أ‬
‫م‬ ِ ‫م أَ أَو َع‬ ‫إِ أ‬
َ‫خوَانَ ُه أ‬
”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga
meraka” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22).

Allah Ta’ala berfirman,


‫م أَ أولِيَا ََء‬
َ‫خ ُذوا َع ُد ِوي َو َع ُد َّو ُك أ‬ ََ ‫يَا أَيُّهَا ال َّ ِذينََ آ َم ُنوا‬
ِ ‫ل تَ َّت‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu
menjadi teman-teman setia“ (QS. Al-Mumtahanah [60]: 1).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir
secara umum. Kemudian Allah tegaskan lagi di ayat yang lain adanya larangan untuk
memberikan loyalitas kepada Yahudi dan Nasrani secara khusus.
Allah Ta’ala berfirman,

َ‫م‬ َ ‫َللا ل ي أَه ِدي أال َق أو‬ ََّ ِ‫م إ‬


ََ َّ ‫ن‬ َُ َّ ‫م َف ِإن‬
َ‫ه ِم أن ُه أ‬ َ‫ن يَ َتوَلَّ ُه أ‬
َ‫م ِم أن ُك أ‬ ََ ‫م أَ أولِيا َُء ب أَعضَ َو‬
َ‫م أ‬ ُ ‫خ ُذوا أالي َُهو ََد وَال َّنصارى أَ أولِيا ََء ب أَع‬
َ‫ض ُه أ‬ ِ ‫يا أَيُّهَا الَّ ِذينََ آ َم ُنوا ل تَ َّت‬
ََ‫مين‬ ِ ِ‫الظَّال‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim” (QS. Al-Maidah [5]: 51).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak akan pernah terjadi adanya orang-orang
mukmin yang mencintai dan memberikan loyalitas kepada orang kafir, baik orang kafir secara umum,
ataupun orang Yahudi dan Nasrani secara khusus. Jika ada orang mukmin yang mencintai orang kafir,
maka ketahuilah bahwa dia bukan orang mukmin, meskipun dia mengklaim dirinya sebagai seorang
mukmin. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kecintaan kepada orang kafir meniadakan iman kepada
Allah dan hari akhir, baik menghilangkan iman secara total atau hanya sebagian saja. Jika kecintaan
kepada orang kafir itu menyebabkan seseorang mendukung dan membela kekafiran mereka, maka
perbuatan ini mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Namun jika hanya semata-mata rasa cinta yang
tidak sampai membela dan mendukung kekafiran mereka, maka hal ini dapat mengurangi dan
melemahkan iman.
Kepada Siapakah Kita Bersikap Wala’ atau Bara’?
Dilihat dari sisi wala’dan bara’, terdapat tiga jenis golongan manusia.
Pertama, adalah orang-orang yang wajib kita cintai secara mutlak, tidak boleh kita benci
sama sekali. Mereka adalah orang-orang beriman dari kalangan para Nabi, para
shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama, dan orang-orang shalih secara umum.
Yang paling utama di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kecintaan kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haruslah lebih besar
daripada kecintaan kita kepada anak atau orang tua kita, bahkan diri kita sendiri.

Kedua, adalah orang-orang yang harus kita benci secara mutlak, tidak boleh kita cintai
sama sekali. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang
munafik. Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫م َوفِي أال َع َذا‬
ِ‫ب‬ َُ َّ َ‫ط‬
َ‫َللا َعلَ أي ِه أ‬ َ‫خ‬ َ‫م أَ أ‬
َ ‫ن‬
ِ ‫س‬ ُ ‫م َأَ أن ُف‬
َ‫س ُه أ‬ َ‫ن ال َّ ِذينََ َك َف ُروا لَبِ أئسََ مَا َق َّدم أ‬
َ‫َت لَ ُه أ‬ ََ ‫م يَ َتوَل َّ أو‬
َ‫تَ َرى َكثِيرًا ِم أن ُه أ‬
ََ ‫خالِ ُد‬
‫ون‬ ُ
َ‫ه أ‬
َ ‫م‬
”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang
kafir (musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka
sendiri, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam
siksaan” (QS. Al-Maidah [5]: 80).
Ketiga, adalah orang-orang yang kita cintai dari satu sisi, namun juga kita benci dari sisi
yang lain. Mereka adalah orang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan. Sehingga
terkumpul dalam diri kita rasa cinta sekaligus rasa benci kepada mereka. Kita tidak boleh
membenci mereka saja dan tidak mencintainya sama sekali, bahkan berlepas diri dari
mereka. Namun, kita mencintai mereka karena keimanan mereka, dan kita juga
membenci mereka karena maksiat yang mereka kerjakan. Hal ini dengan catatan bahwa
maksiat yang mereka lakukan adalah maksiat yang tingkatannya di bawah kesyirikan
dan kekafiran. Kecintaan kepada mereka menuntut kita untuk menasihati dan tidak
tinggal diam atas maksiat yang mereka kerjakan, bahkan kita wajib mengingkarinya,
memerintahkan mereka untuk berbuat yang ma’ruf, dan mencegah mereka dari
perbuatan munkar. Apabila memiliki kewenangan, kita juga dapat menghukum mereka,
sehingga mereka berhenti melakukan maksiat tersebut dan bertaubat dari
kesalahannya.
Ketidaktahuan Kebanyakan Umat Islam terhadap Aqidah Al-Wala’ wal Bara’ yang
Agung Ini
Seiring dengan ketidakpedulian umat Islam pada zaman ini terhadap ajaran agamanya,
maka kita jumpai banyak di antara kaum muslimin yang meremehkan aqidah yang
agung ini. Orang yang seharusnya dibenci dan dimusuhi justru dicintai dan diagung-
agungkan, sedangkan yang seharusnya dicintai justru dibenci dan dimusuhi. Kita jumpai
saudara-saudara kita yang menyebut orang-orang Nasrani sebagai “saudara-saudara
kita” atau ungkapan berbahaya semacam itu.
Kita jumpai pula saudara-saudara kita yang lebih menghormati, mencintai, dan
menjadikan orang-orang kafir sebagai idola dalam hidupnya. Berapa banyak
penggila bola yang sampai hafal para pemain bola dari luar negeri yang
mayoritas orang-orang kafir? Merek “ngefans” berat kepada mereka, sampai-
sampai memajang foto-foto mereka di kamar tidurnya. Mereka pun sampai rela
bangun tengah malam untuk menonton aksi sang idola tercinta, dan
meninggalkan shalat malam yang lebih utama. Lalu, berapa banyak pula
saudara-saudara kita yang tergila-gila dengan artis barat, mereka rajin untuk
mengikuti berita atau gosip terbaru tentang kehidupan mereka, mencontoh gaya
hidup mereka, dan rela antri mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit
untuk menonton setiap aksi mereka ketika film terbaru mereka keluar di pasaran.
Akan tetapi sebaliknya, marilah kita melihat betapa banyak saudara-saudara kita yang memandang sinis
ketika melihat saudaranya melaksanakan ajaran agamanya dengan (misalnya) memanjangkan jenggotnya
dan tidak memotongnya serta memakai celana sampai di atas mata kakinya. Berapa banyak yang
memandang mereka sebagai orang-orang kampungan, orang-orang kolot, dan julukan-julukan yang lebih
ngeri dari itu semua seperti “manusia sok suci”, “kambing”, “orang kebanjiran”, atau “teroris”? Bahkan kita
jumpai kebencian dan sikap antipati yang sangat ketika melihat seorang muslim dengan penampilan
seperti itu. Padahal, mereka itulah saudaranya yang sebenarnya, bukan orang-orang kafir itu.

Allah Ta’ala berfirman,


‫ون إِ أ‬
َ‫خوَة‬ ُ ‫إِنَّمَا أال‬
ََ ‫م أؤ ِم ُن‬
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (QS. Al-Hujurat [49]: 10).
Bahkan semua orang beriman adalah saudara-saudara kita dalam aqidah, meskipun jauh kekerabatannya,
jauh tempat tinggalnya, atau jauh masa hidupnya dengan kita.

Allah Ta’ala berfirman,


‫ك‬ ًَ ‫غ‬
ََ َّ‫ّل لِل َّ ِذينََ آَ َم ُنوا َرَبَّنَا إِن‬ ِ ‫ل فِي ُقلُوبِنَا‬
َ‫ج َع أ‬ ََ ‫َان و‬
‫َل تَ أ‬ َِ ‫اْليم‬ َ ََ‫خوَانِنَا الَّ ِذين‬
ِ ‫سبَ ُقونَا َبِ أ‬ ِ ِ ‫اغ ِف أَر لَنَا و‬
‫َْل أ‬ ََ ُ‫م ي َُقول‬
‫ون َربَّنَا أ‬ َ‫وَالَّ ِذينََ جَا ُءوا ِم أ‬
ِ ‫ن ب أَع ِد‬
َ‫ه أ‬
َ‫حيم‬ ِ ‫َر ُءوفَ َر‬
”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa,’Ya Rabb
kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman terlebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan adanya kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hasyr
[59]: 10).
Sehingga merupakan kewajiban sebagai seorang muslim untuk membenci orang-orang musyrik, baik
mereka adalah orang dekat atupun jauh hubungan kekerabatannya dengan kita. Karena kedekatan
yang sebenarnya adalah kedekatan agama, bukan dekatnya garis keturunan. Oleh karena itu, seorang
muslim, meskipun berjauhan negeri tempat tinggalnya, maka mereka adalah saudara-saudara kita
dalam agama. Sebaliknya, orang-orang kafir, meskipun mereka adalah saudara kandung kita, mereka
adalah musuh kita dalam agama. Allah Ta’ala telah meniadakan keimanan dalam hati orang-orang
yang loyal dan mencintai orang kafir, sebagaimana dalam surat Al-Mujaadilah ayat ke-22 yang telah
kami kutip di bagian pertama tulisan ini. Sehingga tidaklah mungkin berkumpul dalam diri
seseorang, antara keimanan kepada Allah Ta’ala dengan mencintai musuh-musuh Allah Ta’ala.
Salah Satu Bentuk Wala’ kepada Orang Kafir adalah Menghadiri Perayaan Natal dan Mengucapkan
Selamat Natal kepada Mereka
Di antara bentuk nyata adanya wala’ atau loyalitas kepada orang kafir adalah menghadiri
perayaan hari besar keagamaan mereka, atau turut serta membantu penyelenggaraan perayaan
tersebut, atau mengucapkan selamat atas perayaan hari besar keagamaan mereka
Allah Ta’ala berfirman,
‫الزو ََر وَإِ َذا م َُّروا بِاللَّ أغ َِو م َُّروا كِ َرا ًما‬
ُّ ‫ون‬
ََ ‫َد‬
ُ ‫َشه‬ ََ ََ‫وَالَّ ِذين‬
‫لي أ‬
“Dan orang-orang yang tidak menghadiri “az-zuur”, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-
orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya” (QS. Al Furqan [25]: 72).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa di antara makna “az-zuur” dalam ayat di atas
adalah hari-hari besar orang-orang musyrik, sebagaimana penjelasan Abul ‘Aliyah, Thawus,
Ibnu Sirin, Adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas dan selain mereka.

Das könnte Ihnen auch gefallen