Sie sind auf Seite 1von 26

PHARMACOVIGILANCE

KELOMPOK 7
FEBYOLA FEBRINA 1111013029
FADLI 1111013042
CITRA DEWI HAMAMI 1111013047
FITRIA 1211012011
HAKIMUL ARIF 1211012029
 Farmakovigilan adalah ilmu yang
memadukan penemuan, pengkajian,
pemahaman, dan pencegahan efek yang
tidak dikehendaki (merugikan) terutama
pada terapi pengobatan jangka panjang
dan jangka pendek (WHO, 1972).

Definisi
 Kasus efek yang tidak diinginkan pada
talidomid tahun 1961 = Ketika itu ribuan ibu
hamil yang mengkonsumsi obat talidomid
melahirkan bayinya dengan cacat (Arthur et
al., 2002
 Losartan sejak dipasarkan di Amerika Serikat
menimbulkan beberapa reaksi antara lain;
vaskulitis, alergi purpura, shock anafilaksis,
dan reaksi anafilaktoid (Lepakhin, 2002).
 Sehingga studi farmakovigilan dan semua
kajian tentang drug safety menjadi penting
hingga saat ini.
(to know of something that is harmful to
another person, who does not know, and
not telling, is unethical)
Mengetahui sesuatu yang membahayakan
bagi orang yang tidak
mengetahuinya,adalah sesuatu yang tidak
etis

Etika
 Deteksi dini efek samping obat yang belum
dikenal dan interaksi.
 Deteksi adanya peningkatan frekuensi efek
samping yang telah diketahui.
 Identifikasi faktor risiko dan kemungkinan
mekanisme terjadinya efek samping
tersebut.
 Mengevaluasi keamanan obat pada
penggunaan jangka panjang.
 Studi potensial risiko pada sub grup populasi
tertentu (misal anak, lansia, wanita hamil)
 Analisa benefit/risk (rasio manfaat-risisko).

Tujuan
 ROTD adalah sebuah respon (tubuh)
terhadap obat yang (memberikan efek)
merugikan dan tidak diinginkan, terjadi
pada (penggunaan) dosis normal yang
digunakan manusia untuk profilaksis,
diagnosis, terapi penyakit, atau modifikasi
fungsi fisiologis (WHO, 1972).
 Pelaporan langsung tentang ROTD
merupakan salah satu metode
farmakovigilan.

Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan


(ROTD)
 Adverse Drug Reaction (ADR) sebagai
kejadian cedera pada pasien selama proses
terapi akibat penggunaan obat.
 Adverse drug event diartikan sebagai respon
yang tidak diharapkan terhadap terapi obat
dan mengganggu atau menimbulkan cedera
pada penggunaan obat dosis normal.
 Adverse Drug Effect adalah sama dengan
ROTD, namun ROTD dilihat dari sudut
pandang pasien sedangkan adverse drug
effect dari sudut pandang obat.
Adverse Drug Reaction (ADR),
Adverse Drug Event, Adverse Drug
Effect
 Pengujian pada hewan belum memadai untuk memeprediksi
keselamatan dan keamanan obat pada manusia.
 Pasien yang terlibat dalam uji klinis dipilih dalam jumlah terbatas.
 Pada saat perizinan, pemaparan obat hanya dilakukan pada
kurang dari 5000 pasien sehingga hanya reaksi umum yang bisa
ditemukan.
 Setidaknya membutuhkan minimal 30.000 orang untuk diberi
perlakuan dengan sebuah obat untuk memastikan bahwa tidak
ada kesalahan dalam menentukan ADR yang memiliki insidensi
1:10.000.
 Informasi yang jarang namun serius, toksisitas kronis yang
terjadi pada sebagian kecil kelompok (anak-anak, wanita hamil
dan orang tua) atau interaksi obat sering tidak lengkap dan tidak
tersedia.

Kenapa ROTD diperlukan?


 MESO didefinisikan sebagai cara
pelaporan (reporting), pencatatan
(recording) dan
evaluasi (evaluating) secara sistematik
mengenai kejadian ESO baik melalui
resep atupun tanpa resep.

Monitoring Efek Samping Obat


(MESO)
 Mengidentifikasi ESO sedini mungkin
 Menentukan frekuensi serta insidensi ESO
 Mengidentifikasi semua factor yang
mungkin menjadi penyebab ataupun
mempengaruhi perkembangan ESO

Tujuan MESO
1. Spontaneous Monitoring
2. Voluntary Monitoring
3. Intensive Hospital Monitoring
4. Mandatory or Compulsary Monitoring
5. Record Linkage
6. Limited Monitored Release

Jenis-jenis MESO
 MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia
masih bersifat sukarela (voluntary
reporting) dengan menggunakan formulir
pelaporan ESO berwarna kuning, yang
dikenal sebagai Form Kuning. Monitoring
tersebut dilakukan terhadap seluruh obat
beredar dan digunakan dalam pelayanan
kesehatan di Indonesia.
 Tenaga kesehatan, meliputi:
◦ dokter,
◦ dokter spesialis,
◦ dokter gigi,
◦ apoteker,
◦ bidan,
◦ perawat, dan
◦ tenaga kesehatan lain.
 Analisis kausalitas merupakan proses
evaluasi yang dilakukan untuk menentukan
atau menegakkan hubungan kausal antara
kejadian efek samping yang terjadi atau
teramati dengan penggunaan obat oleh
pasien.
 Siapa yang melakukan?
 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
 Sejawat tenaga (per individual pasien),
namun bukan merupakan suatu keharusan
untuk dilakukan.

Analisis Kausalitas
 Di dalam formulir pelaporan ESO atau
formulir kuning, tercantum tabel
Algoritma Naranjo, yang dapat sejawat
tenaga kesehatan manfaatkan untuk
melakukan analisis kausalitas per individu
pasien.
 Berikut diuraikan secara berturut-turut
Kategori Kausalitas WHO dan Algoritma
Naranjo:
 Kategori Kausalitas WHO
1. Certain
 Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat
dari waktu kejadian dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah
penggunaan obat (Event or laboratory test abnormality with
plausible time relationship to drug intake)
 Tidak dapat dijelaskan bahwa efek samping tersebut merupakan
perkembangan penyakit atau dapat disebabkan oleh penggunaan
obat lain (Cannot be explained by disease or other drugs)
 Respon terhadap penghentian penggunaan obat dapat terlihat
(secara farmakologi dan patologi (Response to withdrawal
plausible (pharmacologically, pathologically)
 Efek samping tersebut secara definitive dapat dijelaskan dari
aspek farmakologi atau fenomenologi (Event definitive
pharmacologically or phenomenologically (An objective and
specific medical disorder or recognised pharmacological
phenomenon)
 Rechallenge yang positif (Positive rechallenge if necessary)

Kategori Kausalitas WHO dan


Algoritma Naranjo
2. Probable
 Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang
abnormal, dilihat dari waktu kejadian masih dapat
diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan obat
(Event or laboratory test abnormality with reasonable
time relationship to drug intak)
 Tidak tampak sebagai perkembangan penyakit atau
dapat disebabkan oleh obat lain (Unlikely to be
attributed to disease or other drugs)
 Respon terhadap penghentian penggunaan obat
secara klinik dapat diterima (Response to withdrawal
clinically reasonable)
 Rechallenge tidak perlu (Rechallenge not necessary)
3. Possible
 Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang
abnormal, dilihat dari waktu kejadian masih dapat
diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan obat
(Event or laboratory test abnormality with reasonable
time relationship to drug intake)
 Dapat dijelaskan oleh kemungkinan perkembangan
penyakit atau disebabkan oleh obat lain (Could also
be explained by disease or other drugs)
 Informasi terkait penghentian obat tidak lengkap atau
tidak jelas (Information on drug withdrawal lacking or
unclear)
4. Unlikely
 Manifestasi efek samping atau hasil uji lab
yang abnormal, dilihat dari hubungan waktu
kejadian dan penggunaan obat adalah tidak
mungkin (Event or laboratory test
abnormality with a time relationship to drug
intake that makes a connection improbable
(but not impossible)
 Perkembangan penyakit dan akibat
penggunaan obat lain dapat memberikan
penjelasan yang dapat diterima (Diseases or
other drugs provide plausible explanations)
5. Conditional / Unclassified
 Terjadi efek samping atau hasil uji lab yang
abnormal (Event or laboratory test
abnormality)
 Data yang lebih lanjut diperlukan untuk
dapat melakukan evaluasi yang baik (More
data for proper assessment needed)
 Atau data tambahan dalam proses pengujian
(Or additional data under examination)
6. Unassessable / Unclassifiable
 Laporan efek samping menduga adanya efek
samping obat (A report suggesting an adverse
reaction)
 Namun tidak dapat dinilai karena informasi yang
tidak lengkap atau cukup atau adanya informasi
yang kontradiksi (Cannot be judged because of
insufficient or contradictory information)
 Laporan efek samping obat tidak dapat
ditambahkan lagi informasinya atau tidak dapat
diverifikasi (Report cannot be supplemented or
verified)
 Arthur, N., A. Bentsi-Enchill, M. R. Couper, P. Duclos, I. R. Edwards, T. Fushimi et al. 2002.
The Importance of Pharmacovigilance, Safety Monitoring of Medicinal Products. Jenewa:
World Health Organization.

 Avery A. J., C. Anderson, C. M. Bond., H. Fortnum, A. Gifford, P. C. Hannaford et al. 2011.


Evaluation of Patient Reporting of Adverse Drug Reactions to The UK ‘Yellow Card Scheme’:
Literature Review, Descriptive and Qualitative Analyses, and Questionnaire Surveys. Health
Technology Assesment. 15 (20), iii.

 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap


Keselamatan Pasien (Patient Safety). Jakarta: Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat
Kesehatan.

 Lepakhin V. K., M. Couper, M. Everald, L. Rago, R. H. Karim A. S., M. S. Niamh A., et al.
2002. Safety of Medicines, A Guide to Detecting and Reporting Adverse Drug Reaction.
Jenewa: World Health Organization.

 WHO. 2002. Safety of Medicines: A guide to detecting and reporting adverse drug
reactions – Why health professional need to take action. Geneva : WHO, Department of
Essential Drugs and Medicines Policy.

DAFTAR PUSTAKA

Das könnte Ihnen auch gefallen