Sie sind auf Seite 1von 35

I.

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. K
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 14 Januari 1977
Alamat : Srowot RT 03/01 Kalibagor
Agama : Islam
Diagnosis :G2P1A0 Usia 40 tahun H34+2 hari JTHIU
Presentasi Kepala Punggung Kanan Belum Inpartu
dengan Impending Eklampsia
Pro : SCTP+IUD
DPJP Anestesi : dr. Iwan Dwi Cahyono, Sp.An
No. CM : 02007170
Tanggal masuk RSMS : 09 May 2017
Tanggal Operasi : 09 May 2017

B. Anamnesis Pra Anestesi


1. Keluhan Utama
Pasien dengan tensi tinggi
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke VK IGD RSMS pada tanggal 09 May 2017
rujukan dari Puskesmas Jatilawang dengan PEB. Pasien belum
merasakan kenceng-kenceng, pengeluaran air (-), lendir dan darah juga (-
). Keluhan nyeri kepala (+), pandangan kabur (+), nyeri ulu hati
disangkal oleh pasien.
HPHT : 11 September 2016
HPL : 18 Juni 2017
UK : 34 Minggu 2 hari

1
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat HT (-), maag (-), DM (-), sesak nafas (-), jantung (-)
pingsan (-), asma (-), hepatitis (-), GGK (-), anemia (-), stroke (-), alergi
makanan (-), alergi obat (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Asma (-), diabetes (-), jantung (-), hipertensi (-), gangguan
pembekuan darah (-).
5. Tanda Vital
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Heart Rate : 74 x/menit, kuat, isi cukup, reguler
Respiratory Rate : 16 x/ menit
Suhu : 36 oC
6. Status Antropometri
Berat Badan : 73 kg
Tinggi Badan : 148 cm
BMI : 33.3
7. Pemeriksaan Fisik
a. Airway : Clear (+), buka mulut 3 jari, Mallampati II, TMD 5 cm,
gigi palsu (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), massa jalan nafas (-).
b. Kepala/Leher: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), massa di
wajah (-), masa di leher (-), luka bakar (-), deviasi trakea (-).
c. Breathing/Thorak:
Spontan (+), RR 16x/ menit
Paru : SD ves +/+, wh -/-, rbk -/-, rbh -/-
Jantung : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
d. Circulation
TD 180/100 mmHg, Nadi 74x/menit, kuat, isi cukup, reguler.
e. Abdomen
Inspeksi : cembung gravid (+)
Auskultasi : DJJ: 144x/menit
Palpasi : TFU : 25 cm
L1 : bokong

2
L2 : puka
L3 : kepala
L4 : konvergen
Perkusi : pekak janin (+)
f. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior
(+/+), parese (-/-), paralise (-/-)
g. Pemeriksaan Vertebrae
Tidak didapatkan kelainan
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 09/05/2017
Hb : 15.2 g/dL
Leukosit : 13340 U/L (H)
Ht : 44 %
Eri : 4,9 juta/µL
Trombosit : 257.000
PT : 8,5 (L)
APTT : 31.7
GDS : 116 mg/dL
Ureum : 14.5 (L)
Kreatinin : 0.54 (L)
SGOT : 21
SGPT : 16
LDH : 283 (H)
Natrium : 142
Kalium : 3.9
Klorida : 108

Urine lengkap
Warna : kuning
Protein : 100
Bakteri :-

3
Imunologi
HBSAG : Non reaktif
Assesment : ASA II E
Rencana Operasi : SCTP+IUD
Rencana Anestesi : Regional Anestesi (SAB)
C. Laporan Anestesi Durante Operasi
1. Tanggal operasi : 09/05/2017
2. Jam mulai anestesi : 17.30 WIB
3. Jam selesai anestesi : 18.45 WIB
4. Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 160/110 mmHg
Heart rate : 78 x/menit, kuat, isi cukup, reguler
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,50 C
5. Tehnik anestesia
Anestesi : Regional Anestesia (SAB)
Posisi pasien : Duduk
Area Penyuntikan : L3 – L4
Jarum : Spinocaine No. 27
Katete : Tidak
Obat Anestesi Lokal : Bupivacaine 12.5 mg
Keterangan Blok : Total Blok
6. Monitoring Durante Operasi
a. Tekanan darah, SpO2 dan HR
Tabel I.1. Monitoring Durante Operasi
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR
17.30 160/90 100% 94
17.45 110/50 100% 88
18.00 110/70 100% 80
18.15 120/70 100% 80
18.30 120/70 100% 82

4
b. Obat yang masuk
Marcain Spinal15 mg
Oxytocin 20 IU
Efedrin 10mg
Ketorolak 30mg
Ondansentron 4 mg
Asam Traneksamat 1000 mg
c. Cairan yang masuk durante operasi
RL : 1500 ml
d. Perdarahan : 400 cc
e. Urine : 150 cc/jam = 2.05 cc/kgBB/jam

D. Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance = 2 x kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) = Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) = 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I = ½ PP + M + SO
Jam II = ¼ PP + M + SO
Jam III = Jam II
Jam IV = M + SO
EBV = Wanita 70 x BB
Perhitungan (BB= 56 Kg):
Maintenance (M) = 2 x 73 = 146 cc
Stress Operasi (SO) = 6 x 73 = 438 cc
Pengganti puasa = 6 x 146 = 876 cc
EBV = 70 x 73 = 5110 cc
Lama Operasi (60 menit)
Input Cairan durante operasi
Jam I = ½ PP + M + SO
= ½ (876) + 146 + 438
= 438 + 584

5
= 1.022 cc
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 400 cc (7,6% EBV)
Urin output = 1000 cc

Tabel I.2. Keseimbangan Cairan Durante Operasi


Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output Durante operasi = 1500 cc
= 400 + 1000 cc
Output cairan D.O. = 1400 cc Input cairan D.O. = 1500 cc

Kebutuhan durante operasi


Jam 1 : 1.022 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


784+400 1000 cc
= 1184 = 1000 cc
Balance Cairan: -184 cc

6
II. LANDASAN TEORI

A. Perubahan Fisiologis dan Anatomi pada Ibu Hamil


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem
organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon
dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan
kompresi dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada
trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki
implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan
bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi
hematologi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan gastrointestinal
(Santos,et.al., 2006).
Perubahan fisiologis maternal inilah yang dapat memberikan janin
tempat yang sesai untuk perkembangannya, oleh karena itulah sistem organ
ibu akan bekerja lebih keras untuk mencukupi segala kebutuhan baik bagi
dirinya sendiri dan bagi janinnya. Perubahan yang signifikan terjadi pada
sistem organ ibu adalah termasuk
a. Sistem respirasi : Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk
mengoptimalkan oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi
perpindahan produk sisa CO2 dari janin ke ibu (Norwitz,et.al., 2008).
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif
selam masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil,
laju pernafasan meningkat.
b. Sistem hematologi: Volume darah maternal mulai meningkat pada awal
masa kehamilan sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem
reninangiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan
peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya,
volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah
hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat
menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan
hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun,
transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh

7
sang ibu memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah
jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva
disosiasi oxyhemoglobin (Birnbach,et.al., 2009)..
c. Sistem gasterointestinal: Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah
umum selama masa kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan
anterior memicu ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus.
Peningkatan kadar progestron menurunkan tonus dari sfingter
gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan
hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan wanita yang
akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi
pulmonal. Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan.
Banyak pendapat yang menyatakan mengenai pengosongan lambung.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pengosongan lambung normal
bertahan sampai masa persalina. Kebutuhan akan nutrisi meningkat 10-
30 persen. Wanita hamil akan cenderung terjadi peningkatan nafsu
makan karena ia harus memnuhi kebutuhan dirinya sendiri dan janin
(Birnbach, et.al., 2009).
d. Sistem Renal: Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran
darah renal pada awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga.
Ginjal umumnya membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone
mengakibatkan terjadinya retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju
filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama
dan laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada
trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN)
mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan
threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan
sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria.
e. Kelenjar mammae: membesarm dan aktivitas sekretorik akan dimulai.
Kelenjar mammae mengalami perkembangan dan membutuhkan
bantuan dari berbagai hormon seperti human placental lactogen (hpl)
dan prolaktin plasenta dari plasenta, dan prolaktin (PRL), estrogen,
progesteron, GH, dan tiroksin dari sistem endokrin ibu. Sampai 6 bulan

8
akhir kehamilan, kelenjar mammae berkembang dengan penuh dan
mulai memproduksi sekret bening yang disimpan dalam sistem duktus
dan disekresikan melalui papila mamae (Martini, Nath, &
Bartholomew, 2012).
Tabel II.1. Rata-Rata Perubahan Fisiologi Maksimal Selama Kehamilan
(Susilowati et al., 2013)
Parameter Perubahan
Neurologis
MAC -40%
Respirasi
Konsumsi oksigen +20% sampai 50%
Resistensi jalan nafas -35%
FRC -20%
Ventilasi semenit +50%
TV/HR +40%/+15%
Kardiovaskuler
Volume darah +35%
Volume plasma +45%
Cardiac output +40%
Tekanan darah sistolik -5%
Tekanan darah diastolic -15%
Hematologi
Hemoglobin -20%
Trombosit -10%
Faktor pembekuan +30% sampai 250%
Ginjal
Laju filtrasi glomerulus (GFR) +50%

B. Preeklamsia
1. Definisi
Preeklamsia adalah suatu sindrom penyakit saat umur kehamilan
diatas 20 minggu dengan riwayat tekanan darah normal akibat kerusakan
endotel vaskular yang terjadi secara luas dan vasospasme pada saat
kehamilan. preeklamsia ditandai dengan adanya hipertensi disertai
dengan proteinuria dan atau kerusakan pada organ (Cunningham, 2014).
Preeklamsia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah tersebut dilihat dari sistol ≥140 mm Hg dan
atau tekanan diastol ≥90 mmHg dalam dua kali pengukuran minimal 4
jam pada pasien dengan riwayat tekanan darah normal (ACOG, 2014).

9
Tekanan darah tinggi tersebut disertai dengan proteinuria >300 mg dalam
urin 24 jam, atau rasio protein (mg/dl)/kreatinin (mg/dl) ≥ 0.3, atau
dipstik protein urin +1. mg/mmol (Lim, Kee-Hak, 2016). Jika tidak
terdapat proteinuria, preeklamsia didiagnosis dengan adanya hipertensi
yang diikuti oleh trombositopenia, insufisiensi ginjal, meningkatnya
transaminasi hepar dua kali lipat, edema paru, atau gejala visual atau
serebral (ACOG, 2014).
Preeklamsia dikatakan berat jika terdapat salah satu dari tanda atau
gejala yang terdapat pada preeklamsia berupa:
a. Meningkatnya tekanan darah sistol ≥160 atau meningkatknya
tekanan darah diastole ≥110 mmHg, dalam dua kali pengukuran
minimal 4 jam saat pasien dalam keadaan istirahat,
b. Gangguan fungsi hepar yang ditandai meningkatnya enzim hepar
(SGOT dan SGPT), nyeri terus menerus pada perut kanan atas atau
epigastrik yang tidak respon terhadap terapi pengobatan,
c. Kerusakan ginjal secara progresif, yang ditandai dengan
meningkatnya serum kreatinin >1.1mg/dl atau meningkatnya dua
kali lipat serum kreatinin jika tidak terdapat penyakit ginjal,
d. Gejala baru berupa gangguan penglihatan atau otak,
e. Edema pulmo,
f. Trombositopenia (jumlah hitung platelet < 100.000/ul)
2. Epidemiologi
Pada negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar
antara 0,3 persen sampai 0,7 persen, sedang di negara-negara maju angka
eklampsia lebih kecil, yaitu 0,05 persen sampai 0,1 persen (Arientai,
2010).
Di Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan
penyebab kematian ibu berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan
kematian bayi antara 45 persen sampai 50 persen. Eklampsia
menyebabkan 50.000 kematian/tahun di seluruh dunia, 10 persen dari
total kematian maternal.1 Kematian preeklampsia dan eklampsia
merupakan kematian obsetrik langsung, yaitu kematian akibat langsung

10
dari kehamilan, persalinan atau akibat komplikasi tindakan pertolongan
sampai 42 hari pascapersalinan.3 Banyak faktor yang menyebabkan
meningkatnya insiden preeklamsia pada ibu hamil. Faktor risiko yang
dapat meningkatkan insiden preeklampsia antara lain molahidatidosa,
nulipara, usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, janin lebih
dari satu, multipara, hipertensi kronis, diabetes mellitus atau penyakit
ginjal. Preeklampsia/eklampsia dipengaruhi juga oleh paritas, genetik dan
faktor lingkungan (Arientai, 2010).
3. Tanda dan Gejala
Preeklamsia perupakan penyakit yang asimtomatik. Penyakit
tersebut hanya bisa dideteksi oleh skrining rutin antenatal pada saat
pemeriksaan antenatal. Pasien preeklamsia dapat mengalami gejala berat
yang berhubungan dengan kerusakan organ akhir, berupa (Lim, Kee-Hak,
2016):
a. Sakit kepala
b. Gangguan penglihatan seperti penglihatan kabur, skotoma
c. Perubahan status mental
d. Kebutaan
e. Edema
f. Dispneu
g. Nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas
h. Kelemahan atau malaise
i. Klonus
4. Patogenesis
Selama pembentukan plasenta, sel sitotrofoblast membentuk
invasive extravillous trophoblast (EVT) yang bisa migrasi ke dalam
desidua dan invasi menuju lapisan endometrium. Tujuan dari invasi
tersebut adalah mengubah lapisan bentuk arteriol spiralis sehingga
resistensinya berkurang. Hal ini dapat menyebabkan aliran darah menuju
fetus meningkat dan membantu dalam perkembangan fetus. Faktor-faktor
yang dapat mengganggu proses fisiologi tersebut berupa (Valenzuela et
al., 2012):

11
a. Invasi trofoblastik abnormal
Dalam perkembangan plasenta selama kehamilan normal,
arteri spialis uterus akan mengalami remodeling akibat invasi EVT.
EVT akan menggantikan sel otot dan sel endotel sehingga terjadi
perubahan arteri spiralis dari resistensi pembuluh darah yang tinggi
dan diameter lumen yang kecil menjadi resistensi rendah dan
diameternya lebar. Hal ini bertujuan untuk pengiriman nutrisi dan
oksigen yang adekuat kepada fetus (ACOG, 2013).
Pada ibu preeklamsia, invasi trofoblast inkomplet sehingga
arteri spiralis uterus tidak kehilangan sel otot dan sel endotel yang
mengakibatkan diameternya hanya setengah dari diameter pembuluh
plasenta yang normal. Lumen arteriol yang terlalu sempit dapat
mengganggu aliran darah. Gangguan aliran darah plasenta ini
menyebabkan pengiriman oksigen dan nutrisi terganggu, dan
mengakibatkan pelepasan debris plasenta yang memicu respon
inflamasi sistemik (Warrington et al., 2013).
b. Maldaptasi respon imun
Preeklamsia dapat terjadi akibat kegagalan respon imun yang
terjadi pada tubuh ibu, khususnya Ggn Human Leukosit Antigen-G
(HLA-G). HLA-G merupakan molekul HLA kelas 1 yang bersifat
imunosupresif. Gen tersebut dapat memodulasi sistem imun ibu
sehingga pada saat persalinan respon imun ibu tidak dapat mencapai
fetal. Polimorfisme yang terjadi pada gen ini dapat meningkatkan
risiko terhadap kejadian preeklamsia (Valenzuela et al., 2012).
c. Disfungsi sel endotel
Sel endotel dapat mensintesis nitrit oksida (NO) melalui
endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dengan menggunakan L-
arginine sebagai substratnya. NO berfungsi sebagai faktor relaksasi
vaskuler yang mengatur regulasi tonus otot halus pembuluh darah.
Selain itu, NO juga berfungsi sebagai anti-inflamasi dan antioksidan
di pembuluh darah. Penurunan jumlah eNOS terjadi pada pasien
preeklamsia menyebabkan vasokontriksi, disfungsi sel endotel yang

12
diinduksi inflamasi, dan hipertensi dalam kehamilan (Warrington et
al., 2012 dan Valenzuela, et al., 2012). Sel endotel juga
mengeluarkan peptide yang bersifat vasokontriktor seperti endotelin-
1 (ET-1). Kadar ET-1 meningkat dapat meningkat pada keadaan
normotensif, tetapi pada keadaan preeklamsia jumlah tersebut
meningkat secara signifikan (Cunningham et al., 2006).
d. Ketidakseimbangan angiogenik
Pada kondisi hipoksia, terjadi ketidakseimbangan faktor
angiogenik akibat meningkatnya produksi dari sFlt-1 dan penurunan
VEGF dan PlGF. Peptida sFlt-1 dan Soluble Endoglin (sEng)
bersifat antiangiogenik yang dapat menurunkan jumlah molekul
proantiangiogenik seperti VEGF dan PlGF sehingga pembentukan
plasenta menjadi terganggu (Warrington et al., 2013).
e. Genetik
Preeklamsia merupakan penyakit yang beruhubungan dengan
genetik. Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian yang
memperlihatkan 20-40% anak perempuan atau 11-37% saudara
perempuan dari wanita yang mempunyai preeklamsia, dapat
berkembang penyakit serupa. Preeklamsia merupakan penyakit
genetik yang kompleks, yang tidak disebabkan oleh satu gen yang
memegang peranan penting dalam preeklamsi (Lim, Kee-Hak,
2016).
Pada orang kulit hitam, terdapat gen ERAP 2 yang
diekspresikan oleh jaringan plasenta dan memicu respon imun,
inflamasi dan regulasi tekanan darah. Ekspresi ERAP 2 ini terjadi
pada trisemester pertama dan dapat menyebabkan preeklamsia.
(Lori, 2011).
5. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis preeklamsia dapat dilakukan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu:
a. Anamnesis

13
Dari hasil anamnesis, peningkatan tekanan darah harus
diketahui kapan munculnya, apakah lebih dari 20 minggu atau
kurang dari 20 mingu,. Jika terjadi setelah 20 minggu, pasien
kemungkinan mengalami preeklamsia atau hipertensi gestasional.
Sedangkan pada kurang 20 minggu, pasien kemungkinan mengalami
hipertensi kronis atau preeklamsi superimposed (Cunningham et al.,
2006).
Pada saat anamnesis, ditanyakan juga adanya tanda dan gejala
yang mengarah kepada preeklamsia berat. Gejala tersebut berupa
keluhan nyeri pada kepala, nyeri pada abdomen kuadran kanan atas
atau regio epigastrik, rasa mual atau muntah, dan penglihatan yang
terasa kabur. Jika terdapat gejala-gejala tersebut, maka dapat
diperkirakan bahwa terjadi preeklamsia berat (Cunningham et al.,
2006).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan berupa pengukuran
tekanan darah. Sebelum dilakukan pengukuran, pasien diberikan
kesempatan untuk duduk tenang selama 15 menit. Setelah itu,
dilakukan pengukuran pada posisi duduk atau telentang, posisi
lateral kiri, kepala ditinggikan 30o, posisi manset setingkat dengan
jantung, dan tekanan diastolik diukur dengan mendengar bunyi
korotkoff V (hilangnya bunyi).
Pada pasien hipertensi dalam kehamilan, ditemukan tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg.
Pasien dapat mengalami hipertensi gestasional/hipertensi kronis/
preeklamsia/ eklamsia tergantung onset terjadinya hipertensi serta
adanya proteinuria dalam pemeriksaan penunjang. Selain itu, pada
pemeriksaan auskultasi paru dapat ditemukan edema paru, serta
edema pada ekstrimitas pada saat inspeksi (Cunningham et al.,
2006).
c. Pemeriksaan Penunjang

14
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada pasien dengan suspek
preeklamsia untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang
tersebut adalah pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan urin
(protein urin) dan kimia darah (trombosit, SGOT, SGPT, kreatinin).
Jika pada pemeriksaan urin ditemukan proteinuria, dapat dipastikan
terjadinya preeklamsai. Jika dari hasil pemeriksaan laboratorium,
protein dalam urin (5000 mg/24 jam atau ≥2+), penurunan kadar
trombosit darah (<100.000/µl), peningkatan kadar kreatinin serum
dan atau kadar enzim transaminase hati, maka dikategorikan sebagai
preeklamsia berat (Cunningham et al., 2006).
6. Tatalaksana
a. Manajemen Ekspektatif atau aktif
Manajemen ini berguna untuk memperbaiki output perinatal
dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif
dirokemendasikan pada kasus preeklampsia tanpa gejala berat
dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evaluasi
maternal dan janin yang lebih ketat (POGI, 2016).

15
Gambar 1. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia tanpa gejala berat

Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus


preeklampsia berat dengan usia kehamilan usia kehamilan kurang
dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil.
Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga
direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan
yang adekuat dengan terseria perawatan intensif bagi maternal dan
neonatal (Depkes RI, 2013).

16
Gambar 2. Manajemen Ekspektatif pada kasus preeklampsia berat

b. Pemberian Magnesium Sulfat.


Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia
adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampisa,
serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal.
Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah dengan menyebabkan
vaodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh
darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik.
Magnesium Sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-
Metil-D_aspartat (NMDA) di otak yang jika teraktivasi akibat
asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam
neuron,yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang
(POGI, 2016). Cara pemberian Magnesium Sulfat :

17
1) Berikan dosis awal 4 gram Magnesium Sulfat sesuai prosedur
untuk mencegah kejang atau kejang berulang.
2) Sambil menunggu rujukan mulai dosis rumatan 6 gram
Magnesium Sulfat dalam 6 jam sesuai prosedur.
Adapun syarat pemberian Magnesium Sulfat adalah sebagai berikut :
1) Tersedia Kalsium Glukonas 10%
2) Ada refleks patella
3) Jumlah Urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
Cara pemberian dosis awal Magnesium Sulfat :
1) Ambil 4 gr larutan Magnesium Sulfat (10ml larutan Magnesium
Sulfat 40%) dan larutkan dengan 10ml akuades
2) Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit.
3) Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 gram
Magnesium Sulfat (12,5 ml larutan Magnesium Sulfat 40%) IM
di gluteus dextra et sinistra.
Cara pemberian dosis rumatan : Ambil 6 gram Magnesium
Sulfat (15ml larutan Magnesium Sulfat) dan larutkan dalam 500cc
larutan RL lalu diberikan secara IV dengan kecepatan 28 tpm selama
6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang
berakhir (bila eklampsia) (Depkes RI, 2013). Lakukan pemeriksaan
fisik setiap jam meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
nafas, refleks patella. Hentikan pemberian Magnesium Sulfat ketika
frekuensi nafas <16x/m dan/atau tidak didapatkan refleks tendon
patella, dan/atau terdapat oligouria (produksi urin
<0,5ml/kgNN/jam), dan jika terjadi depresi nafas berikan Kalsium
Glukonas 1 gram IV (10ml larutan 10%) bolus dalam 10 menit
(Depkes RI, 2013).
c. Antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada
hipertensi ringan-sedang (TD:140-169 mmHg/90-109 mmHg) masih
kontroversial European Society of Cardiology (ESC) guidelines

18
2010 merekomendasikan pemberian antipertensi pada tekanan darah
sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik ≥90 mmHg (POGI, 2016).
1) Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar
dan menyebabkan vsodilatasi dengan menghambat masuknya
kalsium kedalam sel. Berkurangnya tesistensi perifer akibat
pemberian CCB dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya
pada sirkulasi vena hanya minimal. Pemberia CCB dapat
memberikan beberapa efek samping maternal, diantaranya
takikardi, palpitasi, sakit kepala, flushing ,da edema tungkai
akibat efek lokal mikrovskular serta retensi cairan. Regimen
yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap
15-30 menit dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan
berlebihan CCB dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin
dan asidosis. Studi melaporkan bahwa efektivitas dan keamanan
CCB nifedipin 10 mg tablet dibandingkan dengan kapsul onset
cepat kerja singkat untuk pengobatan wanita dengan hipertensi
akut (>170/110 mmHg) (POGI, 2016).
2) Metildopa
Merupakan golongan reseptor alfa yang bekerja di sistem
saraf pusat. Obat antihipertensi yang sering digunakan untuk
wanita hamil dengan hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun
1960, metildopa memiliki safety margin yang luas (paling
aman). Metildopa biasanya dimuali pada dosis 250 mg-500 mg
per oral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 gram
perhari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk
dan menetap selama 10-12 jam sebelum dieksresikan lewat
ginjal (POGI, 2016).

19
Tabel 1. Regimen Obat antihipertensi beseta dosisnya
Nama Obat Dosis

Nifedipin 4x10-30 mg per oral (short acting)

1x20-30 mg per oral (long acting)

Nikardipin 5 mg/jam dapat dititrasi 2,5 mg/jam


tiap 5 menit hingga maksimum 10
mg/jam

Metildopa 2x250 mg-500 mg per oral (dosis


maksimum 2000 mg/hr)

C. Analgesi dan Anestesi Obstetri


Seiring perkembangan zaman yang modern, tidak layak lagi perempuan
yang bersalin menderita nyeri. Dalam memenuhi tuntutan tersebut, harus
diperhatikan hal berikut (Martaadisoebrata et al., 2013; Latief et al., 2009).
1. Pasien yang diberi anesthesia harus diawasi oleh seorang dokter, sedapat-
dapatnya yang dianggap ahli dalam pemberian anestesi.
2. Pemberian anestei pada ibu bersalin memiliki bahaya, baik untuk ibu
maupun anak walaupun diberikan oleh ahli.
Usaha-usaha untuk mengurangi rasa sakit pada perempuan yang
bersalin dibagi menjadi 2 golongan (Martaadisoebrata et al., 2013; Latief et
al., 2009).
1. Usaha-usaha untuk mengurangi nyeri dalam kala I dan permulaan kala II
yang disebut analgesi. Pemberian analgesia tidak perlu dalam, tetapi
harus mencakup waktu yang lama sekali, kadang-kadang sampai 18 jam.
Pemberian analgesia harus dimulai pada waktu yang tepat, yaitu saat
pendataran dan pembukaan serviks lancer. Pada primigravida dimulai
pada pembukaan 3 cm, sedangkan pada multipara pada pembukaan 4 cm.
2. Usaha-usaha mengurangi nyeri menjelang bayi lahir yang disebut
anestesi. Usaha mengurangi nyeri harus lebih intensif, tetapi hanya
diperlukan selama waktu yang terbatas sekali.

20
Semua obat yang digunakan untuk mengurangi nyeri sewaktu
persalinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Martaadisoebrata et
al., 2013; Latief et al., 2009).
1. Tidak membahayakan ibu.
2. Tidak membahayakan anak.
3. Tidak memengaruhi his; jika obat anestesi memengaruhi his maka akan
memengaruhi kemajuan persalinan.
Tidak banyak obat yang memenuhi ketiga syarat tersebut, terutama
syarat kedua. Syarat ini sulit untuk dipenuhi karena semua obat anestesi yang
diberikan secara umum (tidak lokal) menembus plasenta dan memengaruhi
janin sehingga timbul hipoksia pada janin tersebut. Berikut jenis-jenis obat
yang digunakan dalam analgesi dan anestesi obstetri.
1. Obat-obat analgesia dan sedasi selama kehamilan
Obat-obat ini digolongkan sebagai obat-obat penekan sistem saraf pusat.
a. Sedatif
Obat ini menurunkan tingkat kecemasan ibu yang akhirnya
akan mengurangi rasa nyeri.
1) Diazepam
Obat ini bias menyebabkan peningkatan kadar bilirubin janin.
2) Midazolam
Seperti halnya diazepam, midazolam bisa menyebabkan amnesia
pada ibu, juga dapat menekan sistem saraf pusat janin.
a) Prometazin dan Promazin
Obat-obatan ini menyebabkan turunnya tingkat kecemasan
ibu dan sedikit menekan sistem saraf pusat janin bila
diberikan dalam dosis yang tepat.
b. Opioid
Obat ini cukup efektif untuk mengontrol rasa sakit pada
persalinan meskipun pemberian parenteral dapat menimbulkan
hipotensi ortostatik, mual, dan muntah.
1) Butorfanol dan nalbutin
2) Meperidine dan morfin

21
2. Obat dan teknik anestesi selama persalinan
Beberapa teknik anestesi yang dapat dilakukan diantaranya
(Martaadisoebrata et al., 2013; Latief et al., 2009):
a. Inhalasi
1) N2O
Gas anestesi ini juga bersifat analgesia, menimbulkan
perubahan kesadaran, dan tidak memengaruhi kontraksi rahim.
2) Halotan dan Isofluran
Obat-obatan ini dapat menembus barrier plasenta dan
memberikan efek narkosis pada janin. Dalam dosis yang agak
tinggi, halotan dan isofluran dapat menyebabkan relakasasi otot
Rahim. Obat ini juga dapat digunakan untuk tindakan versi luar,
versi ekstraksi, dan reposisi uterus pada inversion uteri.
b. Anestesi regional
Obat-obat yang ada pada golongan ini diantaranya adalah
golongan aminoester, yaitu klorprokain dan tetrakain serta golongan
amino amid, yaitu lidokain dan bupivakain.
1) Infiltrasi lokal
Infiltrasi lokal mempunyai nilai analgesia pada saat
kelahiran bayi, yaitu pada saat sebelum episiotomy, perbaikan
laserasi jalan lahir, penjahitan luka episiotomi.
2) Blok pudendal
Penyuntikan dilakukan dengan menggunakan jarum
nomor 22 pada posisi n. pudendus dengan lokasi penunjuk spina
ischiadica. Obat yang diberikan adalah lidokain 1% sebanyak 10
cc.
Blok pudendal bisa menghilangkan rasa nyeri pada
persalinan pervaginam, termasuk tindakan ekstraksi forceps.
Namun, kadang-kadang untuk tindakan eksplorasi manual
diperlukan tambahan obat narkotik analgetik seperti meperidin
sebanyak 50 mg.

22
3) Blok paracervical
Tindakan ini bisa mengurangi nyeri karena kontraksi
rahim. Akan tetapi, karena n. pudendus tidak dipengaruhi,
kadang-kadang diperlukan pemberian analgesia tambahan.
Untuk blok paracervical, digunakan lidokain 1% sebanyak 5-10
cc yang disuntikan pada posisi jam 3 dan 9. Karena khasiatnya
pendek, diperlukan suntikan ulangan. Pemantauan janin
diperlukan karena bisa menyebabkan bradikardi.
4) Blok spinal (subarachnoid)
Tindakan ini cukup banyak digunakan untuk tindakan
ekstraksi forceps dan ekstraksi vakum. Blok spinal dilakukan
dengan menggunakan lidokain atau tetrakain yang dimasukan
pada ruang subarachnoid Torakal X, dan dapat mengurangi rasa
sakit akibat kontraksi rahim. Efek kerjanya sekitar 1 jam. Perlu
pencegahan hipotensi dengan pemberian hidrasi sebelumnya.
Selain pada bedah obstetric-ginekologi, anestesi
subarachnoid juga diindikasikan untuk bedah ekstremitas
bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah
urologi, bedah abdomen bawah, bedah abdomen atas dan bedah
pediatri. Kontraindikasi absolut pada anestesi regional adalah
infeksi pada tempat suntikan, hipovilemia berat, syok,
koagulopati, tekanan intracranial meninggi, fasilitas resusitasi
minim, kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan
anestesi, dan pasien menolak. Kontraindikasi relatif diantaranya
infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan
neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung,
hipovolemia ringan, nyeri punggung kronis.
a) Persiapan analgesi subarachnoid
Persiapan secara umum sama seperti persiapan
anestesi umum. Daerah tempat penusukan diteliti apakah
akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali

23
sehingga tidak teraba prosesus spinosus. Pemeriksaan
laboratorium yang dianjurkan diantaranya hemoglobin,
hematokrit, PT (protombin time), dan PTT (partial
thromboplastine time).
b) Peralatan analgesia subarachnoid
Peralatan yang diperlukan diantaranya peralatan
monitor (tekanan darah, pulse oximeteri, dan EKG),
peralatan resusitasi, dan jarum spinal dengan ujung tajam
(bambu runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal
dengan ujung pinsil (pencil point, Whitecare).
c) Teknik analgesia subarachnoid
Pasien diposisikan duduk atau tidur lateral dekubitus
dengan tusukan pada garis tengah. Tindakan dilakukan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya sedikit
perubahan posisi yang diperbolehkan, karena perubahan
posisi yang berlebihan dalam 30 menit akan menyebabkan
menyebarnya obat.
 Setelah dimonitor, pasien diposisikan dalam posisi
duduk. Pasien membungkuk maksimal agar prosesis
spinosus mudah teraba.
 Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5.
Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5.
Tusukan pada L1-2 atau diatasnya beresiko trauma
terhadap medulla spinalis.
 Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
 Beri anastetik local pada tempat tusukan, misalnya
dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
 Cara tusukan median atau paramedian menggunakan
jarum spinal besar 22 G, 23 G, atau 25 G. setelah
resistensi hilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat

24
dimasukan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik.
d) Obat anestesi untuk anestesi subarachnoid
Berat jenis cairan serebrospinal (CSS) pada suhu 37ºC
adalah 1.003-1.008. Obat anestesi dengan berat jenis sama
dengan CSS disebut isobarik. Obat anestesi dengan berat
jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Obat anestesi
dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Tabel II.3. Jenis Obat Anestesi Subarachnoid (Latief et al., 2009)
Obat anestesi Berat Jenis Sifat Dosis
Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg
(2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-
Dekstrosa 7.5% 2 ml)
Bupivakain
(Markain)
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4
ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3
Dextrosa 8.25% ml)

Komplikasi yang dapat terjadi akibat anestesi


subarachnoid diantaranya adalah hipotensi berat, bradikardi,
hipoventilasi, trauma pembuluh darah, trauma saraf, mual
muntah, gangguan pendengaran, dan blok spinal tinggi atau
total. Komplikasi lain yang terjadi pasca tindakan diantaranya
adalah nyeri pada tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala
karena kebocoran likuor, retensio urin, dan meningitis.
5) Analgesia epidural
Analgesia epidural adalah penyuntikan obat anesthesia
local pada ruang epidural atau peridural. Obat yang dapat
digunakan adalah lidokain 1,5% atau bupivakain 0,25%. Obat
dapat diberikan terus-menerus dengan menggunakan pompa
volumetrik. Pemberian harus hati-hati karena bisa menimbulkan

25
komplikasi seperti hipotensi atau kejang-kejang akibat
rangsangan pada saraf pusat.
Teknik analgesia epidural yaitu:
a) Posisi pasien pada saat tusukan seperti pada analgesia
spinal.
b) Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada
ketinggian L3-4, karena jarak antara ligamentum flavum-
duramater pada ketinggian ini adalah yang terlebar.
c) Jarum epidural yang digunakan ada dua macam, yaitu jarum
ujung tajam (Crawford) untuk dois tunggal dan jarum ujung
khusus (Tuochy) untuk pemandu memasukkan kateter ke
ruang epiural. Jarum Tuochy biasanya ditandai setiap cm.
d) Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik,
diantaranya:
 Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit
plastic rendah resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl
± 3 ml. Setelah diberikan anestetik local pada tempat
suntikan, jarum epidural ditusukan sedalam 1-2 cm.
Kemudian udara atau NaCl disuntikan perlahan-lahan
secara terputus-putus (intermiten) sambil mendorong
jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras
(ligamentum flavum) yang disusul oleh hilangnya
resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam
ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose).
 Teknik tetes bergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti hilangnya resistensi tetapi pada
teknik ini hanya menggunakan jarum epidural yang
diisi NaCl sampai terlihat ada tetes NaCl yang
menggantung. Dengan mendorong jarum epidural
perlahan-lahan secara lembut sampai terasa menembus
jaringan keras yang kemudian disusul oleh tersedotnya

26
tetes NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin ujung
jarum dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test
dose).
e) Uji dosis (test dose) untuk epidural dosis tunggal dilakukan
setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural
dan untuk dosis berulang (kontinyu) melalui kateter.
Masukkkan anestetik local 3 ml yang sudah bercampur
adrenalin 1:200.000. Jika tak ada efek setelah beberapa
menit, kemungkinan besar letak jarum atau kateter benar.
Jika terjadi blockade spinal, menunjukkan obat masuk ke
ruang subarachnoid karena terlalu dalam. Jika terjadi
peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk vena epidural.
f) Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikan
obat anestesi secara bertahap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml
sampai tercapai dosis total. Suntikan terlalu cepat
menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak
tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan
intrakranial, nyeri kepala, dan gangguan sirkulasi pembuluh
darah epidural.
g) Dosis maksimal dewasa muda adalah 1.6 cc/segmen. Pada
manula dan neonates dosis dikurangi sampai 50% dan pada
wanita hamil dikurangi sampai 30% akibat pengaruh
hormone dan mengecilnya ruang epidural akibat ramainya
vaskularisasi darah dalam ruang epidural.
h) Keberhasilan anestesi epidural, dilihat dari:
 Blok simpatis diketahui dari perubahan suhu
 Blok sensorik dari uji tusuk jarum
 Blok motorik dari skala Bromage.
Tabel II.4. Skor Bromage (Latief et al., 2009)
Melipat lutut Melipat jari
Blok tak ada ++ ++

27
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +
Blok lengkap - -

Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya blok tidak


merata, depresi kardiovaskuler (hipotensi), hipoventilasi, dan
mual-muntah.
Menurut Apfelbaum et al. (2016), rekomendasi anestesi pada seksio
sesarea adalah:
1. Fasilitas dan kondisi pasien yang mendukung jalannya operasi.
Memperkirakan komplikasi yang mungkin terjadi, seperti intubasi
yang gagal, anestesi yang tidak adekat, hipotensi, depresi saluran napas,
toksisitas sistemik anestesi lokal, pruritus, dan muntah.
2. General, Epidural, Spinal, atau CSE Anesthesia
Keputusan untuk menggunakan teknik anestesi seksio sesarea
bergantung pada obat anestesi, kehamilan, atau faktor risiko janin,
keinginan pasien, dan keputusan dari dokter anestesi. Uterine
displacement (biasanya miring ke kiri) seharusnya dipertahankan sampai
kelahiran tanpa menghiraukan teknik anestesi yang digunakan.
Pertimbangkan untuk memilih anestesi neuraxial daripada anestesi
umum. Anestesi umum mungkin pilihan yang tepat pada beberapa kasus,
seperti fetal bradikardi yang parah, ruptur uteri, perdarahan masif, dan
solusio plasenta yang parah.
3. Preloading atau coloading cairan IV
Preloading atau coloading cairan IV digunakan untuk mengurangi
frekuensi hipotensi maternal setelah anestesi spinal pada seksio sesarea.
4. Ephedrin atau phenylephrine
Ephedrin atau phenylephrine intravena digunakan untuk terapi
hipotensi selama anestesi neuraxial. Pada saat tidak ada bradikardi
maternal, pertimbangkan memilih phenylephrine karena status keasaman
janin pada kehamilan yang tidak ada komplikasi.
5. Opioid neuraxial untuk analgesik setelah operasi

28
Untuk analgesik setelah operasi pada, pertimbangkan opioid
neuraxial daripada injeksi opioid parenteral.
D. Terapi Cairan pada Pembedahan
Terapi Cairan Pra Bedah
Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya
induksi anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler
dekompensasi akut. Penilaian status cairan ini didapat dari (Barash,
2006):
1) Anamnesa, ditanyakan perdarahan, muntah, diare, rasa haus,
kencing terakhir, jumlah dan warnya.
2) Pemeriksaan fisik, diperiksa tanda-tanda obyektif dari status
cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit, abdomen,
mata dan mukosa.
3) Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium meliputi
pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit, hemoglobin dan
protein.
Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya
dehidrasi yang terjadi.
Tabel II.6. Derajat Dehidrasi (Latief et al., 2009)
Klinis Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang Dehidrasi Berat
(5%) (5-10%) (>10%)
Keadaan Umum Baik, kompos Gelisah, rewel, Letargik, tak sadar
mentis lesu
Mata cekung, Normal Cekung Sangat cekung
kering
Air mata Ada Kering Kering sekali
Mulut atau lidah Lembab Kering Sangat kering,
kering pecah-pecah
Haus Minum normal Haus Tak bisa minum
Turgor Baik Jelek Sangat jelek
Nadi Normal Cepat Cepat sekali
Tekanan darah Normal Turun Turun sekali
Air kemih Normal Kejang, oligouri Kurang sekali

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan


pemeliharaan, pada dewasa 2 ml/kgBB/jam. Pada anak-anak 4
ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg pertama, 2 ml/kgBB/jam

29
untuk berat badan 10 kg kedua, dan 1 ml/kgBB/jam tambahan untuk
sisa berat badan. Salah satu tanda rehidrasi tercapai ialah dengan
adanya produksi urin 0,5-1 ml/kgBB.
a. Cairan Selama Pembedahan
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan
dan penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang
selamaoperasi. Penggantian cairan tergantung pada besar kecilnya
pembedahan , yakni 6-8 ml/kgBB untuk bedah besar, 4-6 ml/kgBB
untuk bedah sedang, dan 2-4 ml/kg BB untuk bedah kecil. Cairan
pengganti pada anak, untuk bedah ringan 2 ml/kgBB, sedang 4
ml/kgBB dan berat 6 ml/kgBB.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur
pembedahan dan perkiraan jumlah perdarahan. Pada perdarahan
untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid
atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada
keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel
darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin
ataupun hematokrit pada level aman, yaitu hemoglobin (Hb) 7 – 10
g/dl atau hematokrit (Ht) 21 – 30%. Penggantian cairan akibat
perdarahan berdasarkan berat-ringannya perdarahan adalah sebagai
berikut:
1) Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%,
cukup diganti dengan cairan elektrolit.
2) Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat
diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.
3) Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus
diganti dengan transfusi darah.
b. Terapi Cairan Paska Bedah
Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk:
1) Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
2) Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan
lambung, febris).

30
3) Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama
pembedahan.
4) Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.
Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu
kalori, protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi
elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian kalori sekitar 25
Kkal/kgBB/hari dengan protein 0,8 gram/kgBB/hari. Nutrisi
parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah yang tidak
mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 – 125
gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan
dehisensi luka operasi, terjadi penurunan enzim pencernaan yang
menyulitkan proses realimentasi.
3. Jenis Cairan yang Dapat Digunakan dalam Terapi Cairan
Cairan infus dapat berupa cairan kristaloid, cairan koloid, atau
campuran keduanya. Jenis-jenis cairan tersebut adalah (Latief et al.,
2009, Barash, 2006; Sunatrio, 2000):
a. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler
(CES = CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah,
tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu
dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok
anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali
cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan
koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh
cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah
sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga
timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya
oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian lain menunjukkan
pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan

31
timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid
berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid, yaitu
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer Laktat
merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam
cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi
bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah
NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan
menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Tabel II.7. Jenis Cairan Terapi (Barash, 2006)

b. Cairan Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma
atau biasa disebut plasma substitute atau plasma expander. Di dalam
cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul
tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini
cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang
intravaskuler. Oleh karena itu, koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok

32
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan
hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal
luka bakar). Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan
pembuatannya, terdapat dua jenis larutan koloid:
1) Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin
manusia (5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma
atau plasenta 60 °C selama 10 jam untuk membunuh virus
hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan
beta globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor
fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma
dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus
dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi
dan kolaps kardiovaskuler.
2) Koloid Sintesis yaitu:
a) Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul
60.000 - 70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume
expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40,
tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat
sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan
(viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti
trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis
dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi
20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.

33
Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat
dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit)
terlebih dahulu.
b) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul rata-
rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik
30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang
normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2
hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini
juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch)
mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma
hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung
selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume
expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan
tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
c) Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte
dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa
kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
 Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
 Urea linked gelatin
 Oxypoly gelatin, merupakan plasma expanders dan
banyak digunakan pada penderita gawat. Walaupun
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama
dari golonganurea linked gelatin.

34
DAFTAR PUSTAKA

ACOG. 2013. Hypertension in Pregnancy. Obstetrics &Gynecology. 122(5)

Apfelbaum, J.L et al. 2016. Practice Guidelines for Obstetric Anesthesia An


Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force
on Obstetric Anesthesia and the Society for Obstetric Anesthesia and
Perinatology. Anesthesiology. 124:1-31.

Cunningham, F., K. J. Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, D. J. Rouse, dan C. Y.


Spong. 2012. Obstetri Williams: Edisi 23. Jakarta: EGC.

Latief, S.A., K.A. Suryadi, M.R. Dachlan. 2009. Anestesiologi. Jakarta: FK


Universitas Indonesia.
Martadisoebrata, D., Firman F.W., Jurus S.E. 2013. Obstetri Patologi: Ilmu
Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC.

Martini, H.Frederic. Nath, Judi L. Bartholomew F.Edwin. 2012. Fundamentals of


Anatomy and Physiology. Ninth Edition. Pearson Education Inc.

Susilowati, D., E. Leksana, M.S. Harahap. 2009. “Anestesi Obstetri” dalam


Soenarjo dan Jatmiko (Editor). Anestesiologi. Semarang: FK Undip.

Lim KH. 2016. Preeclampsia. Diakses dari:


http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview#a1

Valenzuela F, Perez-Sepulveda A, Torres MJ, Correa P, Repetro GM, Ilanes SE.


2011. Pathogenesis of Preeclampsia: The Genetic Component. Journal of
Pregnancy 2012:1-8

Warrington J, George EM, Palel AC, Spradley FT, Granger JP. 2013. Recent
Advances in te Understanding of the Pathophysiology of Preeclampsia.
Hypertension 62(4): 1-14

Wiknjosastro H. 2007. Preeklampsia dan eklampsia. Ilmu Kandungan edisi ketiga.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,

35

Das könnte Ihnen auch gefallen