Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
BAB 2
BERPIKIR SEPERTI SEORANG EKONOM
Bila pertumbuhan jumlah uang ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan kenaikan harga – harga, ekonom tersebut akan mulai meragukan
keabsahan teori inflasinya. Bila pertumbuhan uang dan inflasi ternyata berkaitan erat dan didukung data internasional, yang memang
merupakan fakta, ekonom akan menjadi lebih yakin atas teorinya.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji dampak upah (upah minimum regional dan upah relatif) dari aliran FDI (semua industri, industri padat karya,
industri padat modal, dan jumlah perusahaan multinasional) di Pulau Jawa.
2. Untuk menemukan faktor-faktor lain yang mempunyai dampak terhadap aliran FDI (semua industri, industri padat karya,
industri padat modal, dan jumlah perusahaan multinasional) di Pulau Jawa.
Periode penelitian ini meliputi tahun 2005 hingga tahun 2014 dengan mempertimbangkan ketersediaan data terakhir dari semua
variabel.
d. Model pertama : diagram aliran sirkuler
Kita memerlukan model yang dapat menjelaskan, dengan istilah umum, bagaimana perekonomian diatur dan bagaimana para pelaku
dalam perekonomian saling berinteraksi satu sama lain.
Diagram aliran sirkuler (circular flow diagram), dalam model ini perekonomian disederhanakan untuk mencakup hanya dua jenis
pembuat keputusan – rumah tangga dan perusahaan. Perusahaan menghasilkan barang dan jasa menggunakan masukan – masukan
seperti tenaga kerja, tanah, dam modal ( Gedung dan mesin). Masukan – masukan ini disebut factor – factor produksi. Rumah tangga
memiliki factor – factor produksi dan melakukan kegiatan konsumsi terhadap semua barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan.
Table 1.1.
Source : Ministry of Industry, 2017
Table 1.2.
Source : Ministry of Industry, 2017
It can be seen from the graph of input values that continue to increase even though the number of workers is experiencing a
downward trend.
Production growth has decreased in trend, although the output trend has increased. Seeing the trend of the number of workers and
labor costs that are decreasing, this possibility is due to an increase in the number of MSMEs. Although MSMEs are increasing, the
number of workers decreases is very reasonable, because usually the MSME work system is family, so it is likely that workers working in
the MSME sector are not registered as workers. (This needs to be
checked).
The increase in Labor as many as 1 million people, correlated with an increase in capital input of 10 trillion rupiah.
So these two things are positively correlated. The coefficient of determination is 5%.
The increase in Labor Cost amounted to 1 trillion rupiah, correlated with a decrease in capital input of 0.263 trillion rupiah. So these two
things are negatively correlated. While the coefficient of determination is 2%.
The increase in the number of MSMEs as much as ten thousand units, correlated with an increase in capital input of 180 trillion rupiah.
So these two things are positively correlated. While the coefficient of determination is 90%.
The increase in the value of output amounted to 1 trillion rupiah, correlated with an increase in capital input of 0.67 trillion rupiah. So
these two things are positively correlated. While the coefficient of determination is 90%.
An increase in added value of 1 trillion rupiah, correlated with an increase in capital input of 0.04 trillion rupiah. So these two things are
negatively correlated. While the coefficient of determination is 0.5%.
The decrease in production growth by 1%, correlated with a decrease in input value of 30 trillion rupiah. So these two things are
positively correlated. While the coefficient of determination is 10%.
In the western regions, the decrease in the number of linear labor with a decrease in labor costs is theoretically reasonable, but
correlated negatis with input costs / capital inputs where it is increasing. It is likely that variable cost costs such as raw materials and
other services increase, or there may be purchases of technology for production efficiency.
The trend line of the number of MSMEs from 2013-2014 increased although not significantly, an increase in the number of linear
MSMEs with output values. Theoretically, if MSMEs increase indeed output will increase, but this data only illustrates the linear
relationship of the number of MSMEs with output. If you want to see if the increase in MSMEs per unit will increase output, then you
should use MSME / Output value ratio data, applying also to added value.
If you look at the chart above, the trend of input and output values is linear. If the input increases, then the output increases. While the
increase in production of inputs and outputs is seen to be negatively correlated with the growth in production costs, this is likely
because the industry in 2014 was efficient in production or in conditions of decreasing return to scale, but in 2015, the growth in input
and output values did not correlate with production growth, likely due to price factors.
An increase in the number of workers as many as one million people, correlated with an increase in capital input of 1.67 trillion rupiah.
So these two things are positively correlated. The coefficient of determination is 8%. But, the 2014 data on the number of labor data is
an outlier so that the relationship.
An increase in labor costs of 1 trillion rupiah, correlated with a decrease in capital input of 1.7 trillion rupiah. So these two things are
negatively correlated. While the coefficient of determination is 7%.
The increase in the number of MSMEs as many as one thousand units, correlated with an increase in capital input of 0.12 trillion rupiah.
So these two things are positively correlated. While the coefficient of determination is 33%.
The increase in the number of MSMEs as many as one thousand units, correlated with a decrease in capital input of 0.79 trillion rupiah.
So these two things are negatively correlated. The coefficient of determination is 99%.
The increase in the number of MSMEs as many as one thousand units, correlated with an increase in capital input of 0.62 trillion rupiah.
So these two things are positively correlated. The coefficient of determination is 99%.
An increase in production growth of 1%, correlated with an increase in capital input of 1.29 trillion rupiah. So these two things are
positively correlated. While the coefficient of determination is 7%.
In 2014, the number of workers increased significantly, but fell back in 2015 (we need to find out why). If you look at the graph above,
the input value and the amount of labor have a linear correlation while the labor costs are negatively correlated.
If you look at the data above, then the output value and added value are negatively correlated, while the added value with the number of
MSMEs is positively correlated, it's just that in 2014 it became an outlier.
If you look at the chart above, the input and output trends are linear. While the trend of production growth seems to be influenced by
other things.
If you refer to the previous data, the number of workers increased sharply in 2014, followed by production growth of approximately 3%
and continued to experience a significant increase in the number of production in 2015, even though the number of workers decreased
significantly in 2015 (it is necessary to find out why).
From Productivity of Textiles and Appareals Industries, the number of valleys, slopes, and lands in Java are still the biggest in number. The
same condition are happened in Bali and Nusa Tenggara and Kalimantan. The reverse condition are in Sulawesi and Sumatera, in condition
that the number of valleys, slopes, and lands in Java are still are more than Bali and Nusa Tenggara and Kalimantan, but the productivity of
Textiles and Appareals Industries are less.
Mengaitkan antara factor – factor yang mempengaruhi Investasi Asing Langsung pada sector Industri di Pulau Jawa pada periode 2005
– 2014
Latar Belakang
Aliran foreign direct investment (selanjutnya disingkat FDI) ke Indonesia berfluktuasi. Berdasarkan data Badan Koordinasi
Penanaman Modal pada tahun 2016, dalam kurun waktu tahun 2011-2014, realisasi aliran FDI secara umum meningkat. Titik tertinggi
terdapat pada tahun 2013 sebesar 7,4 triliun dolar AS, sedangkan titik terendah adalah tahun 2011 sebesar 5,1 triliun dolar AS. Dengan
demikian, jumlah aliran FDI pada tahun 2011-2014 meningkat 33,33%. Namun demikian, tren peningkatan tersebut semakin menurun dari
tahun ke tahun dengan angka 23,53% pada periode 2011-2012, 17,46% pada 2012- 2013, dan menurun pada angka 8,11% pada 2013-2014.
Komposisi sektor-sektor yang menerima aliran FDI pada tahun 2014 didominasi oleh sektor manufaktur, yaitu sebesar 45,6%.
Sektor jasa berada pada peringkat kedua sebesar 29,9%. Tempat ketiga adalah pertambangan sebesar 16,4%, dan tempat keempat adalah
tanaman pangan dan perkebunan sebesar 7,7%, sedangkan yang terendah adalah kehutanan, perikanan, dan peternakan, masing-masing
0,1%.
Gambar 1.1 Komposisi Sektor Penerima Aliran Asing Langsung pada Tahun 2014
Sumber: bkpm.go.id
1
Pada tahun 2014, sebagian besar aliran FDI yang diienvestasikan di Pulau Jawa adalah sebesar 65%. Pada tempat kedua adalah di Pulau
Sumatera sebesar 16% kemudian diikuti oleh Pulau Sulawesi sebesar 12%. Ketiga terakhir adalah Kalimantan sebesar 7%, Bali dan Nusa
Tenggara sebesar 0%, serta Maluku dan Papua sebesar 0%.
Gambar 1.3 Volatilitas Upah Minimum Regional pada Setiap Provinsi di Pulau Jawa Selama Periode 2005-2014
Sumber: Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 2017
Gambar 1.4 Volatilitas Aliran Investasi Asing Langsung pada Sektor Industri di Pulau Jawa Selama Periode 2005-2014
Sumber: bkpm.go.id
Dari grafik garis di atas, kita dapat melihat bahwa aliran FDI pada sektor industri selama periode 2005-2014 pada provinsi-provinsi
tersebut mengalami sebuah tren peningkatan terutama Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Meskipun selama 2005-2011 mereka
menunjukkan volatilitas, tetapi selama 2011-2014 mereka menunjukkan peningkatan. Sementara itu, FDI sektor Industri provinsi-provinsi
lain menunjukkan stabilitas pertumbuhan.
Terkait dengan volatilitas pada upah minimum regional pada keenam provinsi di Pulau Jawa, aliran FDI di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta menjadi kedua terendah. Hal ini diduga karena tingginya upah minimum regional (UMR) di daerah tersebut. Seebaliknya,
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mendapatkan FDI lebih rendah walaupun upah minimum regionalnya juga rendah.
Kondisi berbeda terjadi pada Jawa Barat dan Jawa Timur. Meskipun upah minimum regionalnya hampir sama dengan provinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi aliran FDI lebih tinggi. Banten menjadi yang tertinggi kedua. Sementara itu, Jawa Tengah
dan Daerah Istimewa Yogyakarta, lebih tinggi daripada Jawa Timur, tetapi lebih rendah daripada Jawa Barat.
Gambar 1.5 Fluktuasi Jumlah Perusahaan Multinasional pada Tiap Provinsi di Pulau Jawa
Sumber: Statistik Industri, 2014
Di sisi lain, jumlah perusahaan multinasional di setiap provinsi di Pulau Jawa juga berfluktuasi. Dari sebagian besar provinsi-
provinsi tersebut tercatat bahwa jumlah perusahaan multinasional meningkat. Daerah Istimewa Yogyakarta selalu terendah dalam hal
jumlah perusahaan asing. Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan penurunan jumlah perusahaan multinasional. Jumlah perusahaan
multinasional di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten menunjukkan fluktuasi yang stabil. Jawa Barat selalu menjadi peringkat teratas
jumlah perusahaan asing.
Terkait dengan volatilitas upah minimum regional di 6 provinsi di Pulau Jawa, Daerah Istimewa Yogyakarta selalu mendapatkan
jumlah perusahaan multinasional terendah walaupun upah minimum regionalnya rendah. Sementara itu, jumlah perusahaan multinasional
di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta menurun secara konstan karena tingginya upah minimum regional. Jawa Tengah mendapatkan
jumlah perusahaan multinasional yang stabil lebih tinggi daripada Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena
upah minimum regionalnya rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa Barat. Upah minimum regional di provinsi tersebut relatif sama
dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Akan tetapi, jumlah perusahaan multinasional ke Jawa Barat selalu
lebih tinggi dibandingkan dengan keempat provinsi lainnya. Jawa Barat dan Banten selalu menjadi peringkat tertinggi pertama dan kedua
walaupun upah minimum regionalnya lebih tinggi. Namun demikian, sebetulnya upah minimum regional di Jawa Barat masih relatif sama
dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Gambar 1.6 Volatilitas Aliran Investasi Asing Langsung pada Industri Padat Karya di Pulau Jawa pada Kurun Waktu 2005-2014
Sumber: bkpm.go.id
Dari grafik garis di atas, industri padat karya yang paling fluktuatif adalah di Banten, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sejak 2007,
Jawa Tengah dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan fluktuasi yang sama dan jumlah aliran FDI hampir sama sedangkan Daerah
Istimewa Yogyakarta stabil.
Aliran FDI industri padat karya di setiap provinsi di Pulau Jawa juga telah berfluktuasi. Sebagian besar dari provinsi-provinsi
tersebut merekam bahwa aliran FDI langsung ke industri-industri padat karya yang relatif meningkat. Daerah Istimewa Yogyakarta selalu
menjadi terbawah dalam hal aliran FDI. Daerah Khusus Ibukota Jakarta menunjukkan penurunan aliran FDI selama 2010-2012. Aliran FDI
pada industri padat karya di Pulau Jawa relatif sama dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, tetapi lebih tinggi sejak tahun 2011-2014.
Sedangkan Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten selalu menjadi tiga teratas aliran FDI industri padat karya.
Terkait dengan volatilitas dari upah minimum regional dari 6 provinsi di Pulau Jawa, Daerah Istimewa Yogyakarta selalu
mendapatkan aliran FDI yang terendah walaupun upah minimum regionalnya lebih rendah. Aliran investasi asing langsung dari industri
padat karya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta menurun selama kurun waktu 2009-2012. Hal ini diduga karena tingginya upah minimum
regional. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah memperoleh aliran FDI stabil lebih tinggi daripada Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah
Khusus Ibukota Jakarta karena upah minimum regionalnya lebih rendah. Kondisi berbeda terjadi di Jawa Timur. Upah minimum regional
di provinsi ini relatif sama dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta tetapi memiliki aliran FDI yang selalu lebih tinggi
daripada keempat provinsi lainnya tersebut. Jawa Barat dan Banten selalu menjadi provinsi tertinggi pertama dan kedua dalam hal jumlah
perusahaan multinasional meskipun upah minimum regional di Jawa Barat relatif sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur,
dan Jawa Tengah.
Gambar 1.7 Volatilitas Aliran Investasi Asing Langsung dari Industri
Padat Modal
Sumber: nswi.bkpm.go.id
Di sisi lain, aliran FDI dari industri padat modal di setiap provinsi di Pulau Jawa juga telah berfluktuasi. Sebagian besar dari
provinsi-provinsi tersebut mencatat bahwa jumlah aliran FDI dari sektor industri padat modal relatif meningkat. Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta selalu menjadi yang terbawah dari aliran investasi asing langsung dari
industri padat modal. Jawa Timur menunjukkan aliran investasi asing langsung dari industri padat modal sedikit lebih tinggi dari ketiga
provinsi lainnya. Aliran FDI dari industri padat modal di Jawa Barat dan banten menunjukkan fluktuasi yang tidak stabil walaupun
menjadi dua teratas dari aliran FDI dari industri padat modal selama periode 2011-2014.
Terkait volatilitas upah minimum regional dari 6 provinsi di Pulau Jawa, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah selalu
mendapatkan aliran FDI dari industri padat modal yang rendah walaupun upah minimum regionalnya rendah. Aliran FDI dari industri
padat modal menjadi tetap rendah sebagai tiga terbawah karena tingginya upah minimum regional. Sementara itu, Jawa Timur
mendapatkan aliran investasi asing langsung yang sedikit lebih tinggi daripada ketiga provinsi lainnya, merujuk pada upah minimum
regional yang hampir sama. Kondisi yang berbeda terjadi di Jawa Barat, yaitu upah minimum regional dari provinsi tersebut relatif sama
dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Barat dan Banten selalu menjadi pertama dan kedua tertinggi dalam hal aliran
investasi asing langsung dari industri padat modal, walaupun upah minimum regional di Banten tinggi dan di Jawa Barat upah minimum
regional relatif sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Menurut Wahyono pada tahun 2012, beberapa faktor lain yang mempengaruhi lokasi pabrik adalah lokasi konsumen, sumber bahan
mentah, upah pegawai, ketersediaan air, suhu, listrik, transportasi, lingkungan, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Dari variabel –
variabel tersebut, dapat dikelompokkan menjadi variabel yang mengurangi atau menambah biaya produksi dari perusahaan. Dengan
pengendalian variabel – variabel tersebut dapat juga mempengaruhi besaran biaya variabel, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
penentuan keputusan pengalokasian FDI di wilayah tertentu. Menurut Bank Indonesia pada tahun 2007, walaupun memiliki potensi yang
menjanjikan dilihat dari pasar dan sumber daya yang melimpah, tetapi iklim investasi yang tidak kondusif di Indonesia menyebabkan
investor tidak tertarik seperti beberapa tahun yang lalu sebelum krisis keuangan. Terutama untuk investasi jangka panjang yang dapat
menyebabkan investasi baru dalam meningkatkan kualitas produk berjumlah kecil bahkan negatif. Akar dari permasalahan ini
mengakibatkan produk ekspor dari Indonesia menjadi mahal dan tidak kompetitif.
Permasalahan yang terkait dengan investasi sangat kompleks, mulai dari keamanan, stabilitas politik dan sosial, ketidakpastian
hukum, serta kondisi infrastruktur. Sebagai contoh, ketersediaan listrik yang tidak stabil, telekomunikasi, juga jalan dan fasilitas pelabuhan
dan kondisi tenaga-tenaga kerja menjadi faktor yang memperburuk. Sebagai dampak dari kondisi ini adalah beberapa perusahaan asing,
yaitu industri padat karya seperti elektronik, tekstil, pakaian jadi, dan perusahaan sepatu merelokasi produksinya ke negara-negara lainnya
seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Pada intinya, penelitian ini mencoba untuk memotret aliran investasi asing langsung (semua industri, industri padat karya, industri
padat modal, dan jumlah perusahaan multinasional) di Pulau Jawa. Tren dari aliran investasi asing langsung (semua industri, industri padat
karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan multinasional), peranan upah minimum regional, dan juga faktor-faktor lain yang
mempengaruhi aliran investasi asing langsung (semua industri, industri padat karya, industri padat modal, dan jumlah perusahaan
multinasional) ke sektor industri di Pulau Jawa.
Dalam model pertama terlihat bahwa hasil uji Chow dan uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji
LM diperoleh angka lebih dari alpha 5% maka model terbaik adalah FEM. Dalam model kedua terlihat bahwa hasil uji Chow dan uji
Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5 % maka model terbaik adalah
FEM. Dalam model ketiga terlihat bahwa hasil uji Chow dan uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM
diperoleh angka lebih dari alpha 5% maka model terbaik adalah FEM. Bagitu juga pada model keempat terlihat bahwa hasil uji Chow dan
uji Hausman diperoleh nilai p-value kurang dari alpha 5%, sedangkan uji LM diperoleh angka lebih dari alpha 5% maka model terbaik
adalah FEM. Secara keseluruhan, model terbaik yang menggambarkan keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi investasi luar negeri
semua klasifikasi industri, investasi luar negeri industri-industri padat karya, investasi luar negeri industri padat modal, dan jumlah
perusahaan asing di sektor industri adalah FEM.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan asumsi regresi yang terdiri dari uji multikolinier, uji otokorelasi `dan uji heterokedastisitas. Uji
multikolinier dilakukan dengan analisis korelasi sedangkan uji otokorelasi dilakukan dengan Breusch Pagan LM test dan uji
heterokedastisitas dilaukan dengan modified Wqald test yang dilakukan dengan perangkat lunak Stata 13.
Pada model kesatu, kedua, dan keempat terkait determinan FDI semua jenis industri, determinan FDI industri padat karya, dan
determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing terlihat bahwa upah minimum berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri
yang meliputi industri padat karya dan jumlah perusahaan asing walaupun hasilnya tidak signifikan. Sementara itu, pada model ketiga
terkait determinan aliran FDI industri padat modal terlihat bahwa upah minimum berpengaruh positif terhadap aliran FDI industri padat
modal, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Odi (1997) menunjukkan hal yang serupa bahwa upah tidak berpengaruh terhadap
investasi pada industri padat karya. Sedangkan menurut penelitian Emi (2015) menunjukkan upah minimum juga tidak berpengaruh
terhadap investasi baik aliran FDI maupun PMDN. Dalam proses jangka pendek memang terlihat bahwa investasi di Indonesia meningkat.
Akan tetapi, kenaikan upah minimum yang kaku dalam jangka panjang akan mengganggu perkembangan investasi yang selanjutnya dapat
berdampak buruk terhadap struktur perekonomian. Upah yang tinggi menjadi beban pengusaha atau investor karena biaya operasional
perusahaan dari biaya tenaga kerja meningkat. Di satu sisi bila produk yang dihasilkan tidak kompetitif maka dalam jangka panjang
perusahaan tentu rugi. Hal ini sesuai dengan penelitian Rifianto (2002) dan Silalahi (2006) yang mengatakan bahwa peningkatan upah
minimum menyulitkan investor melakukan asumsi terhadap keuntungan yang mungkin diterima. Hal ini mencerminkan peningkatan risiko
berbisnis di Indonesia. Terlebih lagi, tenaga kerja umumnya mengiinginkan peningkatan upah melalui unjuk rasa dan mogok tenaga kerja.
Akan tetapi, jika peningkatan upah diikuti dengan peningkatan produktivitas maka Indonesia akan tetap kompetitif bersaing dengan negara
lain dan bisa menarik minat investor.
Pada keempat model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat karya, determinan
aliran FDI industri padat modal, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing terlihat bahwa upah relatif berpengaruh positif
terhadap aliran FDI semua jenis industri, FDI industri padat karya, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan
asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Aliran modal yang meningkat menyebabkan naiknya permintaan tenaga kerja yang terampil,
sehingga upah relatif juga meningkat (Feenstra, 2015).
Pada model kesatu dan kedua, terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan determinan FDI industri pada karya terlihat
bahwa IHK berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat karya, walaupun tidak signifikan.
Sedangkan pada model ketiga dan keempat terkait determinan FDI industri padat modal dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan
asing terlihat bahwa IHK berpengaruh negatif terhadap FDI industri padat modal dan FDI jumlah perusahaan asing, walaupun tidak
signifikan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Giordano Dell-Amore Foundatio menunjukkan bahwa inflasi sebagai salah satu faktor
stabilitas makro ekonomi merupakan determinan penting dari aliran investasi, karena hasilnya signifikan. Sedangkan menurut Emi (2015),
dengan meningkatnya inflasi maka akan menurunkan minat investasi di sektor manufaktur. Pengaruh inflasi terhadap investasi dengan arah
kausalitas negatif dapat dijelaskan pertama dengan kenaikan inflasi yang menunjukkan adanya kenaikan harga yang selanjutnya akan
mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi sehingga uang beredar akan turun. Kedua, penurunan uang beredar akan menekan
suku bunga pinjaman meningkat sehingga minat untuk investasi akan menurun.
Variabel Jalan
Pada model pertama, ketiga, dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat
modal dan determinan FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa panjang jalan berpengaruh negatif terhadap aliran FDI semua
jenis industri, FDI industri padat modal dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Sementara itu, pada
model kedua terkait determinan FDI industri padat karya menunjukkan panjang jalan berpengaruh positif terhadap FDI industri padat karya
dan hasilnya signifikan. Pembangunan jaringan jalan mempengaruhi perkembangan investasi industri yang memerlukan penggunaan
kendaraan sebagai sarana transportasi (Samir, 2016).
Variabel Listrik
Pada semua model terkait determinan FDI semua jenis industri, FDI industri padat karya, FDI industri padat modal, dan aliran FDI
jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa listrik berpengaruh positif terhadap FDI semua jenis industri, FDI industri padat karya FDI
industri padat modal, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing dan hasilnya signifikan.
Terkait variabel jalan dan variabel listrik, pada penelitian sebelumnya, Odi (1997) menyatakan infrastruktur yang kondisinya tidak
bagus, dapat dilihat sebagai halangan maupun peluang investasi asing. Mayoritas negara berpendapatan rendah, dianggap sebagai salah
satu faktor yang menunjukkan ketidakleluasaan. Tetapi investor asing juga menunjukkan kalau potensi untuk menarik investasi asing jika
pemerintah di negara yang bersangkutan memberikan izin yang lebih banyak pada partisipasi asing di sektor infrastruktur. Sedangkan
penelitian menurut Jordan (2004) mengemukakan bahwa infrastruktur yang kualitasnya bagus dan dikembangkan dengan baik
meningkatkan produktivitas potensial investasi di suatu negara. Oleh karena itu, merangsang aliran investasi asing ke negara tersebut.
Menurut Emi (2015) dengan meningkatnya kondisi infrastruktur maka akan meningkatkan minat investasi di sektor manufaktur. Kondisi
yang baik dari faktor infrastruktur akan mempengaruhi ongkos produksi dan perdagagangan yang semakin rendah. Total biaya transportasi
dari ketersediaan dan kondisi infrastruktur yang baik akan mendorong biaya ekonomi yang rendah. Kondisi ini tentu akan mendorong
kemudahan investor atau pengusahan dalam menjalankan usaha.
Variabel Tenaga kerja
Pada model kesatu, kedua, dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliranFDI industri padat karya,
dan determinan aliranFDI industri padat modal menunjukkan bahwa tenaga kerja berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis
industri, aliranFDI industri padat karya, dan aliranFDI industri padat modal tetapi tidak signifikan. Pada model keempat terkait determinan
aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap aliranFDI jumlah perusahaan
asing,walaupun hasilnya tidak signifikan. Hal ini sesuaipenelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa angkatan kerja sebagai salah
satu penentu aliran FDI dalam hal penentuan lokasi FDI, yang menjelaskan pentingnya modal manusia. Walaupun hasilnya tidak signifikan
(Danciu,et al., 2015).
Pada semua model terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat karya, determinan
aliran FDI industri padat modal, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa ukuran pasar berpengaruh
negatif terhadap aliran FDI semua jenis industri, FDI industri padat modal, dan FDI jumlah perusahaan asing, dan hasilnya signifikan,
sedangkan untuk aliranFDI industri padat karya hasilnya tidak signifikan. Temuan ini senada dengan hasilpenelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa PDB mempengaruhi penentuan lokasi dan perkiraaan pendapatan dari adanya FDI (Randelovie, 2017).
Pada model kesatu dan ketiga terkait determinan aliran FDI semua jenis industri dan determinan aliran FDI industri padat modal
menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua jenis industri dan aliran FDI industri padat
modal, walupun hasilnya tidak signifikan. Sedangkan pada model kedua dan keempat terkait determinan aliran FDI industri padat karya
dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa keterbukaan pasar berpengaruh negatif terhadap aliran FDI
industri padat karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan.
Menurut penelitian sebelumnya dari Giordano (2007), keterbukaan pasar berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung.
FDI berperan untuk pasar dalam negeri dan sisanya untuk pasar luar negeri.
Pada model kesatu, kedua, dan keempat terkait determinan aliran FDI semua jenis industri, determinan aliran FDI industri padat
karya, dan determinan aliran FDI jumlah perusahaan asing menunjukkan bahwa RTRWN berpengaruh positif terhadap aliran FDI semua
jenis industri, aliran FDI industri padat karya, dan aliran FDI jumlah perusahaan asing, walaupun hasilnya tidak signifikan. Sedangkan
pada model ketiga terkait determinan aliran FDI industri padat modal menunjukkan bahwa RTRWN berpengaruh negatif terhadap aliran
FDI industri padat modal, walaupun hasilnya tidak signifikan. Menurut penelitian sebelumnya, adanya kebijakan spasial menyebabkan
adanya aglomerasi perusahaan sehingga terjadi aliran distribusi spasial berupa penyebaran perusahaan (Garretsen,et al., 2007).
4.2 Analisis Terkait Teori
Monthly Minimum
Wage 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta tinggi Tinggi tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi Tinggi Tinggi tinggi
West Java rendah Rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
Central Java rendah Rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
DI Yogyakarta rendah Rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
East Java rendah Rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
Banten tinggi Tinggi tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi Tinggi Tinggi tinggi
Dari tabel di atas, terlihat bahwa dalam kurun waktu 2005-2015, provinsi DKI Jakarta dan Banten, sebagai provinsi-provinsi dengan kategori
tinggi tentunya memiliki aliran investasi asing lebih baik dari rata-rata.
Foreign Direct
Investment 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta rendah Rendah rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah rendah rendah
West Java Tinggi Tinggi rendah Tinggi tinggi Tinggi Tinggi tinggi Tinggi tinggi
Central Java rendah Rendah rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah rendah rendah
DI Yogyakarta rendah Rendah rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah rendah tinggi
East Java Tinggi Tinggi tinggi Rendah rendah Tinggi rendah tinggi rendah tinggi
Banten Tinggi Rendah rendah Rendah tinggi Rendah Tinggi tinggi Tinggi rendah
Tabel di atas membuktikan bahwa dengan UMR tinggi menyebabkan FDI rendah, hanya berlaku di DKI Jakarta. Sedangkan di provinsi
Banten, masih tidak konsisten. Pada tahun tertentu rendah sedangkan di beberapa tahun yang lainnya tinggi.
Untuk provinsi-provinsi dengan UMR rendah, seharusnya FDI-nya tinggi. Benar berlaku di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur.
Sedangkan Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta terjadi anomali. Diprovinsi-provinsi tersebut UMR-nya rendah tetapi FDI-nya pun juga rendah.
Foreign Direct
Investment
padat karya 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta 13455.8 14430.4 19622.6 48775.9 82599.5 68434.3 23040.6 9246.3 11541.5 29574.7
West Java 323285.4 113280.1 221558.5 308504.3 160321.2 212107.6 239134.3 608324.3 636279.5 568530.4
Central Java 33361.5 24207.1 17790.2 60593.7 40690.6 17642.9 73488.7 92090.9 41948.4 127945.5
DI Yogyakarta 510 580 428.7 4100 350 212.3 129 205.6 1710.2 245
East Java 153012.5 107575.9 112158.1 116895.1 184217.4 284193.3 195892.3 644493.7 508974.1 797787.7
Banten 84056.1 56552.3 174730.5 211880.3 127739.1 96303.9 476050.4 319709.3 404300.3 499382.2
101,280.216 52,770.966 91,048.100 125,124.883 99,319.633 113,149.050 167,955.883 279,011.683 267,459.000 337,244.250
7 7 0 3 3 0 3 3 0 0
Foreign Direct
Investment :
padat karya 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta Rendah rendah Rendah Rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah
West Java Tinggi tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi
Central Java Rendah rendah Rendah Rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah
DI Yogyakarta Rendah rendah Rendah Rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah tinggi
East Java Tinggi tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi
Banten Rendah tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah tinggi Tinggi tinggi tinggi
Tabel di atas membuktikan bahwa dengan UMR tinggi menyebabkan FDI rendah, hanya berlaku di DKI Jakarta. Sedangkan di provinsi
Banten, masih tidak konsisten. Pada tahun tertentu rendah sedangkan di beberapa tahun yang lainnya tinggi.
Untuk provinsi-provinsi dengan UMR rendah, seharusnya FDI-nya tinggi. Benar berlaku di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Jawa Timur
hampir konsisten tinggi. Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta terjadi anomali, dimana dikedua provinsi tersebut UMR-nya rendah tetapi
FDI-nya pun juga rendah.
Foreign Direct
Investment :
padat modal 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta 96437.2 167617.4 184815.5 448797.5 87941.1 72137.8 135972 255750.8 273734.8 192915
West Java 1496291.1 1291665.8 903538 1912645 1334003.7 940973 2617187.3 3234485.4 6112834 4399958.6
Central Java 392 329502.3 50282.8 56002 38021.5 11518.5 56554.1 71948.3 259410.6 272012.1
DI Yogyakarta 0 2993.5 0 3431.1 1367 1165.1 600 2312.7 3075.3 5586.2
East Java 512788.4 211689.7 1526577.391 276397 178872.2 475057.6 247161.4 420490.7 1162699 591909.5
Banten 488454 340716.3 299082.4 182281.2 1056116.9 179092.7 1458007 1823463 2342752.9 999824.2
432,393.7833 390,697.5000 494,049.3485 479,925.6333 449,387.0667 279,990.7833 752,580.3000 968,075.1500 1,692,417.7667 1,077,034.2667
Foreign Direct
Investment :
padat modal 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta Rendah rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah rendah Rendah
West Java Tinggi tinggi Tinggi Tinggi tinggi Tinggi tinggi tinggi tinggi Tinggi
Central Java Rendah rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah rendah rendah
DI Yogyakarta Rendah rendah Rendah Rendah rendah Rendah rendah rendah rendah tinggi
East Java Tinggi rendah Tinggi Rendah rendah Tinggi rendah rendah rendah rendah
Banten Tinggi rendah Rendah Rendah tinggi Rendah tinggi tinggi tinggi rendah
Tabel di atas membuktikan bahwa dengan UMR tinggi menyebabkan FDI rendah, hanya berlaku di DKI Jakarta. Sedangkan di provinsi
Banten, masih tidak konsisten. Pada tahun tertentu rendah sedangkan di beberapa tahun yang lainnya tinggi.
Untuk provinsi-provinsi dengan UMR rendah, seharusnya FDI-nya tinggi. Benar berlaku di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Jawa
Timur tidak konsisten. Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta terjadi anomali, dimana dikedua provinsi tersebut UMR-nya rendah tetapi FDI-
nya pun juga rendah.
4.2.4. Persamaan 4 : FDI Jumlah Perusahaan Multinasional
Foreign Direct
Investment :
mnc 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta 126 129 146 147 120 131 130 121 117 115
West Java 731 830 794 795 712 798 830 830 1043 1069
Central Java 103 135 144 156 132 131 148 135 148 189
DI Yogyakarta 22 30 19 24 28 27 29 26 27 29
East Java 195 189 212 205 176 177 194 180 201 236
Banten 245 313 295 322 296 316 309 312 337 339
237.0000 271.0000 268.3333 274.8333 244.0000 263.3333 273.3333 267.3333 312.1667 329.5000
Tabel di atas membuktikan bahwa dengan UMR tinggi menyebabkan FDI rendah, hanya berlaku di DKI Jakarta. Sedangkan di provinsi
Banten, walaupun UMRnya tinggi, FDI jumlah perusahaan multinasional selalu tinggi.
Untuk provinsi-provinsi dengan UMR rendah, seharusnya FDI-nya tinggi. Benar berlaku di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Jawa
Timur menunjukkan hasil yang tidak konsisen. Hal berbeda terjadi di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Diprovinsi-provinsi tersebut UMR-
nya rendah tetapi FDI-nya pun juga rendah.
Biaya tenaga kerja Biaya Laba perusahaan
rendah produksi meningkat
permintaan meningkat
Dari tabel di atas, terlihat bahwa dalam kurun waktu 2005-2015, provinsi Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai provinsi-
provinsi kategori rendah, sehingga seharusnya aliran investasi asing ke wilayah tersebut seharusnya lebih dari rata-rata.
Peningkatan UMR
Output Investasi
produksi berkurang
Peningkatan berkurang
produktivitas pekerja
Bagan 4.3. Analisis Channeling 3
FDI turun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta Naik naik naik turun Turun naik Naik naik Turun
West Java Turun turun naik turun Turun naik Naik naik Turun
Central Java Naik turun naik turun Turun naik Turun turun Naik
DI Yogyakarta Naik turun naik turun Naik turun Naik naik Naik
East Java Naik naik turun turun Naik turun Naik naik Turun
Banten Turun turun naik naik Turun naik Naik naik Turun
Dari tabel di atas, masih terdapat inkonsistensi, yaitu di setiap provinsi di Pulau Jawa, walaupun UMR-nya selalu naik, tetapi aliran FDI-nya
juga berfluktuasi.
FDI : padat karya 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta naik naik naik naik Turun Turun turun Naik naik
West Java turun naik naik turun Naik Naik naik Naik turun
Central Java turun turun naik turun Turun Naik naik turun turun
DI Yogyakarta naik turun naik turun Turun Turun naik Naik naik
East Java turun naik naik naik Naik Turun naik turun naik
Banten turun naik naik turun Turun Naik turun Naik naik
Dari tabel di atas, masih terdapat inkonsistensi, yaitu di setiap provinsi di Pulau Jawa, walaupun UMR-nya selalu naik, tetapi aliran FDI-nya
juga berfluktuasi.
FDI : Padat Modal 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta naik naik naik turun Turun Naik naik naik turun
West Java turun turun naik turun Turun Naik naik naik turun
Central Java naik turun naik turun Turun Naik naik naik turun
DI Yogyakarta naik turun naik turun Turun turun naik naik naik
East Java turun naik turun turun Naik turun naik naik turun
Banten turun turun turun naik Turun Naik naik naik turun
Dari tabel di atas, masih terdapat inkonsistensi, yaitu di setiap provinsi di Pulau Jawa, walaupun UMR-nya selalu naik, tetapi aliran FDI-nya
juga berfluktuasi.
Dari tabel di atas, masih terdapat inkonsistensi, yaitu di setiap provinsi di Pulau Jawa, walaupun UMR-nya selalu naik, tetapi aliran FDI-nya
juga berfluktuasi.
Masih terkait dengan tabel di atas, seharusnya untuk provinsi DKI Jakarta dan Banten, yang biaya tenagakerjanya tinggi, seharusnya aliran
FDI konsisten turun. Tetapi kondisi riilnya, berfluktuasi.
Masih terkait dengan tabel di atas, seharusnya untuk provinsi Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang biaya tenaga-
tenaga kerjanya rendah, seharusnya memiliki aliran FDI yang konsisten naik. Tetapi kondisi riilnya berfluktuasi.
Upah Produktivitas tenaga Keuntungan
Jumlah pekerja
Upah Jumlah pekerja
terampil berkurang
berubah Jumlah pekerja tidak
terampil tetap
Tidak bisa diterapkan di penelitian ini karena tidak ada penurunan upah.
onthly Minimum
Wage 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Monthly Minimum
Wage: DKI Jakarta 650,392 556,086 708,643 674,949 667,883 754,985 690,816 706,871 682,257 669,033.0000
Monthly Minimum
Wage: West Java 2,616,946 2,699,250 2,767,105 2,935,324 3,073,499 3,389,287 3,571,915 3,863,392 3,916,702 3,902,850.0000
Monthly Minimum
Wage: Central Java 2,782,008 2,662,078 2,765,644 2,703,427 2,656,673 2,815,292 3,046,724 3,297,707 3,044,428 3,173,217.0000
Monthly Minimum
Wage: DI Yogyakarta 223,818 239,829 209,456 250,507 237,240 247,093 266,768 282,602 248,473 273,329.0000
Monthly Minimum
Wage: East Java 2,323,652 2,361,798 2,458,401 2,412,284 2,385,686 2,482,563 2,665,473 2,834,939 2,774,504 2,776,552.0000
Monthly Minimum
Wage: Banten 686,210 660,742 695,161 705,831 842,303 1,053,922 1,140,427 1,190,185 1,201,656 1,273,015.0000
1,547,171.0000 1,529,963.8333 1,600,735.0000 1,613,720.3333 1,643,880.6667 1,790,523.6667 1,897,020.5000 2,029,282.6667 1,978,003.3333 2,011,332.6667
Monthly Minimum
Wage 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Monthly Minimum
Wage: DKI Jakarta Turun Naik Turun turun Naik turun naik turun turun
Monthly Minimum
Wage: West Java Naik Naik Naik naik Naik Naik naik naik turun
Monthly Minimum
Wage: Central Java Turun Naik Turun turun Naik Naik naik turun naik
Monthly Minimum
Wage: DI Yogyakarta Naik Turun Naik turun Naik Naik naik turun naik
Monthly Minimum
Wage: East Java Naik Naik Turun turun Naik Naik naik turun naik
Monthly Minimum
Wage: Banten Turun Naik Naik naik Naik Naik naik turun naik
Ringkasan dari chanelling 6,7, dan 9. Dengan UMR yang tinggi, seharusnya jumlah tenaga kerja di sektor industri di Pulau Jawa, khususnya
di Provinsi DKI Jakarta dan Banten, konsisten berkurang. Akan tetapi, pada kondisi riil masih fluktuatif. Berbeda halnya dengan keempat
provinsi lainnya yang memiliki UMR rendah, seharusnya jumlah tenaga kerja di sektor industri di Pulau Jawa, konsisten bertambah. Akan
tetapi, pada kondisi riil masih fluktuatif.
Infrastruktur
produktivita
(jalan, bandara, dan kereta s Merangsang
cepat)
Investasi
Peningkatan biaya Biaya
infrastruktur perusahaan Produktivit
berkurang as
jalan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta 7130 6185 6185 6185 6410 6743 7094 7094 7094 7094
West Java 26332 25679 25679 25857 26881 25494 25500 24549 24608 24607
Central Java 29056 28358 28490 28904 29674 29203 29110 29342 29703 29703
DI
Yogyakarta 4825 4859 4833 4859 4890 4753 4592 4592 4267 4267
East Java 36803 36337 37027 37814 38565 44044 45589 42512 42555 42555
Banten 4473 4326 4773 4856 5211 6456 6456 6506 6845 6845
18,103.1667 17,624.0000 17,831.1667 20,723.8000 21,284.0000 22,047.4000 22,377.0000 21,617.8000 21,645.4000 21,645.2000
perubahan
jalan
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DKI Jakarta turun tetap tetap naik naik naik tetap tetap tetap
West Java turun tetap naik naik turun naik turun naik turun
Central Java turun naik naik naik turun turun naik naik tetap
DI
Yogyakarta naik turun naik naik turun turun tetap turun tetap
East Java turun naik turun naik naik naik turun naik tetap
Banten turun naik naik naik naik tetap turun naik tetap
Dari tabel di atas, dapat kita hubungkan bahwa seharusnya total panjang jalan di Pulau Jawa terus bertambah tiap tahunnya untuk
merangsang investasi. Namun demikian, kenyataannya panjang jalan berfluktuasi sehingga aliran FDI juga mengalami fluktuasi.
5.1 Simpulan
5.1.1 Keterkaitan Hasil Statistik Deskriptif dengan Kerangka Teori
Terdapat beberapa channeling yang berhasil dibuktikan dengan pengolahan data, yaitu: channeling 1 dan channeling 2. Channeling 1
menjelaskan adanya pengaruh biaya tenaga kerja tinggi terhadap aliran FDI yang rendah. Kami mendapatkan hasil untuk provinsi DKI
Jakarta adalah sesuai, sedangkan untuk provinsi Banten tidak sesuai. Untuk channeling 2, biaya tenaga kerja yang rendah berpengaruh
terhadap FDI yang tinggi. Kami mendapatkan hasil yang sesuai untuk provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan untuk provinsi Jawa
Tengah dan DIY tidak sesuai.
Terdapat juga channeling yang tidak berhasil dibuktikan dengan pengolahan data karena inkonsistensi hasil, yaitu: channeling 3,
channeling 4, channeling 5, channeling 6, 7, dan 9, serta channeling 10. Channeling 3 menjelaskan pengaruh peningkatan UMR terhadap
konsekuensi FDI yang berkurang. Kami menemukan hasil yang tidak konsisten di semua provinsi untuk semua persamaan (persamaan
1,2,3,4). Hal yang sama terdapat di channeling 4, yaitu yang biaya tenaga kerjanya tinggi, sehingga tidak ada rekomendasi investasi. Hasil ini
tidak konsisten untuk semua provinsi. Selain itu, di channeling 5, yang berbiaya tenaga kerja rendah, ada rekomendasi investasi, namun
hasilnya tidak konsisten untuk semua provinsi. Situasi yang sama terjadi pada channeling 6, 7, dan 9 yang upahnya naik, namun jumlah
tenaga kerja berkurang. Hasil ini tidak konsisten untuk semua provinsi. Serupa dengan channeling 10, apabila infrastruktur transportasi
meningkat, maka FDI bertambah, hasilnya tidak konsisten di semua provinsi.
Lebih lanjut, ada channeling yang tidak memungkinkan untuk dibuktikan, yaitu channeling 8 karena tidak adanya kebijakan atau
kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh, di channeling 8 upah berkurang, sehingga jumlah tenaga kerja berubah. Oleh karena itu, tidak
dapat dibuktikan karena di Pulau Jawa tidak terjadi penurunan upah di sektor industri.
Rekomendasi Kebijakan
Dalam merumuskan kebijakan perizinan dan pendanaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu mendahulukan urutan sesuai
signifikansi variabel–variabel yang mempengaruhi aliran FDI dan juga harus mengutamakan untuk peningkatan jumlah distribusi listrik ke
industri untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat karya, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah
perusahaan asing, peningkatan PDRB (untuk aliran FDI semua jenis industri, aliran FDI industri padat modal, dan aliran FDI jumlah
perusahaan asing), dan peningkatan panjang jalan (untuk aliran FDI industri padat karya dan aliran FDI jumlah perusahaan asing).
Untuk arah pengembangan wilayah yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, orientasi pembangunan
diarahkan pada kondisi eksisting dari masing-masing variabel yang secara signifikan mempengaruhi aliran FDI. Pengembangan semua
industri diutamakan untuk wilayah yang distribusi listrik industri dan ukuran pasarnya tinggi, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Timur,
Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Pengembangan industri padat karya untuk wilayah dengan distribusi listrik dan jalan lebih tinggi,
yaitu Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Pengembangan industri padat modal untuk provinsi
yang distribusi listrik industri dan ukuran pasarnya lebih tinggi, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan
DI Yogyakarta. Sementara itu, pengembangan jumlah perusahaan asing untuk provinsi dengan distribusi listrik industri, jalan, dan ukuran
pasar lebih tinggi, yaitu Jawa Barat, DKI, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta.
Untuk arahan pendanaan persektor, perlu menitikberatkan pada signifikansi dan nilai koefisien masing-masing provinsi. Seperti yang
tercantum di bab 4, bahwa variabel–variabel yang signifikan adalah listrik, jalan, dan ukuran pasar. Dengan demikian, pendanaannya
mengikuti urutan nilai koefisien dari variabel-variabel tersebut. Untuk provinsi Banten sebaiknya melakukan pengurangan anggaran listrik,
serta memperhatikan variabel jalan dan ukuran pasar. Sementara itu, untuk provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta perlu
melakukan penambahan anggaran listrik, jalan, dan ukuran pasar. Sementara untuk provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan
Jawa Timur tidak ada perubahan anggaran listrik, jalan, dan ukuran pasar.