Sie sind auf Seite 1von 11

MACCERA SIWANUA:

TRADISI MENYUCIKAN KAMPUNG DAN PESTA RAKYAT


DI DESA ALITTA, KECAMATAN MATIRO BULU
KABUPATEN PINRANG
MACCERA SIWANUA:
TRADITION OF PURIFY THE VILLAGE AND THE PEOPLE’S PARTY
IN ALITTA VILLAGE, SUBDISTRIC OF MATIRO BULU,
PINRANG REGENCY
Muh. Ardi Akam Lawwarani & Nur Alizah
Antropologi Sosial, FISIP – Universitas Hasanuddin
Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10, Kota Makassar, 90245
Diterima: 15 Januari 2018; Direvisi: 23 Maret 2018; Disetujui: 31 Mei 2018

ABSTRACT
This study explains about maccera siwanua in Alitta Village which is believed to be able to reject reinforcements
and as a form of gratitude and respect to King La Massora and We Bungko, figures that are still sacred by the
people of Alitta until now. This research is a descriptive study using observation and interview methods. After
reviewing scientific research using a systematic method, the researcher presented field facts that became an
objective view of maccera siwanua in Alitta Village and people participation in the ritual. The first fact, Alitta
Village which consists of three hamlets (Alitta, Lapakkita, and Polejawa) is the only one village in Subdistrict
of Mattiro Bulu that was a kingdom in Ajatappareng. The second fact, the ritual implementation of maccera
siwanua is led by sanro wanua (shaman) and is assisted by the village apparatus. In conducting maccera
siwanua, sanro wanua plays an important role because leds the party from the beginning until the end. The
third fact, bujung lapakkita is a well made during the reign of King La Massora and is intended for We Bungko
(an angel). Now, bujung lapakkita is used by the local people to get blessings.
Keywords: maccera siwanua, Alitta Village, sanro wanua, tradition, ritual.

ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan tentang maccera siwannua di Desa Alitta yang dipercaya dapat menolak bala dan
sebagai wujud rasa syukur dan penghormatan kepada Raja La Massora dan We Bungko, figur yang masih
dikeramatkan oleh masyarakat Alitta sampai sekarang. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan metode observasi dan wawancara. Setelah melakukan peninjauan penelitian ilmiah dengan
menggunakan metode yang sistematis, peneliti mengemukakan fakta-fakta lapangan yang menjadi gambaran
objektif mengenai macera siwanua di Desa Alitta dan partisipasi masyarakat pada ritual tersebut. Fakta
pertama, Desa Alitta yang terdiri atas tiga dusun (Alitta, Lapakkita, dan Polejewa) merupakan satu-satunya desa
di Kecamatan Mattiro Bulu yang pernah menjadi kerajaan di Ajatappareng. Fakta kedua, pelaksaanaan ritual
maccera siwanua dipimpin oleh sanro wanua (dukun) dan dibantu oleh perangkat desa. Pada acara maccera
siwanua, sanro wanua sangat berperan karena dia yang memimpin jalannya acara mulai dari persiapan awal
sampai akhir acara. Fakta ketiga, bujung lapakkita adalah sebuah sumur yang dibuat pada masa pemerintahan
Raja La Massora dan diperuntukkan kepada We Bungko (seorang bidadari). Sekarang, bujung lapakkita
digunakan masyarakat setempat untuk mendapatkan berkah.
Kata kunci: maccera siwanua, Desa Alitta, sanro wanua, tradisi, ritual.

225
WALASUJI Volume 9, No. 1, Juni 2018: 225—235
PENDAHULUAN sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
Di era globalisasi saat ini, kebudayaan teknologi. Belum semua benda cagar budaya
bangsa Indonesia mengalami ancaman ke- dapat dilindungi dan dilestarikan. Dibutuhkan
punahan yang diakibatkan oleh pengaruh sikap positif segenap lapisan masyarakat, untuk
budaya dari luar. Persebaran kebudayaan (difusi berperan bersama pemerintah melestarikan
kebudayaan) yang begitu cepat dan meluas benda cagar budaya, baik secara preventif,
menyebabkan pesatnya perkembangan sistem represif maupun partisipatif.
informasi dan komunikasi. Hal ini akan semakin Kebudayaan masa lampau merupakan
mengikis kebudayaan yang kita miliki sebagai tempat berakar dan berpijaknya pandangan
ciri dan identitas budaya. hidup dan cita-cita bangsa kita dewasa ini (Panuti
Terkikisnya budaya lokal diakibatkan oleh Sudjiman, Filologi Melayu. 46), (Fikirjernih,
tingginya sikap xenosentrisme pada masyarakat 2010). Salah satu fenomena sosial kebudayaan
yang menganggap bahwa kebudayaan orang ini dinamakan Maccera Siwanua, dalam bahasa
lebih baik daripada kebudayaan sendiri. Banyak Indonesia berarti menyucikan, sedangkan
generasi muda yang kurang tertarik pada siwanua yang berarti satu kampung. Acara ini
budayanya dan lebih tertarik pada budaya orang merupakan acara paling ditunggu-tunggu baik
luar. Hal ini menjadikan nilai-nilai, estetika, masyarakat itu sendiri maupun dari kalangan
kaidah-kaidah, serta falsafah akan hilang dari masyarakat dari luar daerah, seperti Amparita
kehidupan masyarakat yang berbudaya. Ditinjau dan Bua-buae.
dari latar belakang sejarahnya, Sulawesi Selatan Inti dari dari acara tersebut adalah
terkenal akan kesenian serta adat kebudayaan pemotongan kerbau hitam yang disebut
yang agung dan tidak ternilai harganya. masyarakat setempat sebagai Tedong Bolong
Masyarakat di Kabupaten Pinrang sangat Mattanru Ulaweng. Kerbau hitam bertanduk
memegang teguh adat. Salah satu desa yang emas, namun tanduk yang dimaksud di sini
masih kental menjaga adat dan tradisinya yaitu: bukanlah tanduk emas secara harfiah, tetapi
Desa Alitta, Kecamatan Mattiro Bulu, Kabupaten tanduk kerbau yang ditancapkan sebuah jarum
Pinrang, yang dikenal sebagai Cagar Budaya dan terbuat dari emas murni, kemudian diarak
Sumur Manurung Lapakkita. Benda cagar keliling kampung dan selanjutnya ditanam atau
budaya adalah benda buatan manusia, bergerak dikubur. Dalam hal ini, Maccera Siwanua sudah
atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau dilakukan lebih dari 100 tahun lamanya. Dalam
kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, pelaksanaannya di samping Tedong Bolong
yang berumur sekurang-kurangnya lima puluh yang menjadi inti pada proses ritual ini, juga
tahun, atau mewakili masa gaya yang khas serta membutuhkan beberapa perlengkapan seperti
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, banranga, gonceng-gonceng (sejenis alat musik
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta benda gendang). Selain itu, acara ini juga dilakukan
alam yang dianggap mempunyai nilai penting di dalam wilayah sumur Lapakkita dengan
bagi sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan mengundang bupati, camat, lurah dan tokoh-
(UU No. 5/1992 Pasal 1). tokoh masyarakat lainnya yang ada di daerah
Benda cagar budaya tidak saja menjadi tersebut.
saksi adanya proses sejarah dan budaya pada Maccera Siwanua saat ini dirangkaikan
masa silam, tetapi merupakan warisan sejarah dengan pesta rakyat sebagai bentuk
dan budaya bangsa. Salah satu fungsinya adalah penghormatan kepada Raja La Massora Ritual
sebagai sumber nilai dan informasi sejarah, di ini dilakukan dengan tujuan menolak bala,
samping mencerminkan jati diri dan kepribadian penyucian kampung dan membuang sial. Karena
budaya bangsa. Benda cagar budaya penting fakta kebudayaan pada dasarnya bersifat ganda
artinya bagi pemahaman dan pengembangan dan berkaitan dengan masa lalu, baik yang

226
Maccera Siwanua: Tradisi Menyucikan... Muh. Ardi

sekarang maupun yang akan datang. Penelitian PEMBAHASAN


ini berfokus pada fenomena sosial budaya Sejarah adanya Maccera Siwanua yang
masyarakat Desa Alitta terkait ritual adat serta berawal dari Bujung Lapakkita
perlengkapan yang digunakan oleh masyarakat Sejarah Bujung Lapakkita sebenarnya
untuk melaksanakan ritual adat tersebut. Hasil berawal dari kisah Raja Alitta yang ke-3
penelitian tersebut akan mengemukakan sebuah yaitu Raja La Massora. Raja La Massora
temuan potensi masyarakat untuk menjaring merupakan anak dari Raja Alitta yang pertama
para wisatawan dan menjaga kelestarian budaya yaitu I Patteteng Tana’ Cella Cora’e atau sering
sebagai wujud kekayan budaya di Desa Alitta, dipanggil We Cella Arung Alitta. Raja Alitta
Kecamatan Mattiro Bulu, Kabupaten Pinrang. pertama sekaligus menjadi raja wanita Alitta
pertama. Dan Raja Alitta ke-2 yaitu Raja La
METODE Gojeng yang menggantikan ibunya Raja La
Pendekatan yang digunakan adalah Massora. Raja La Gojeng merupakan anak
pendekatan etnografi, yang bertujuan dari La Patiroi Andatungnge ri Sawitto, tetapi
menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana masa pemerintahan Raja La Gojeng singkat
sejarah, proses serta partisipasi masyarakat, dikarenakan Raja La Gojeng mati muda dalam
terkait Maccera Siwanua. Jenis penelitian masa pemerintahannya.
yang digunakan adalah deskriptif dengan Sepeninggalan Raja La Gojeng, maka
menggunakan metode kualitatif. Penelitian struktur pemerintahan di Alitta kosong, maka
kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang Raja La Massora menggantikan Raja La
meghasilkan data deskriptif berupa kata-kata Gojeng (sepupu Raja La Massora ). Pada
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku saat itulah masyarakat Alitta merasa lebih
yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti nyaman dibandingkan masa pemerintahan raja
(Bogdan dan Tylor, dalam Moleong, 2001). sebelumnya. Pada masa itu, Raja La Massora
Penelitian ini dilakukan di Desa Alitta, memutuskan untuk tidak kembali ke kerajaan
Kecamatan Mattiro Bulu, Kabupaten Pinrang Gowa dan akan menetap di Alitta karena
selama 33 hari, dimulai dari 28 April sampai memang Raja La Massora sering ke Gowa dan
31 Mei 2018 dari persiapan wawancara dan kembali ke Alitta, sehingga ia tidak menetap
observasi hingga pencaharian data. Agar tidak di kerajaan Alitta. La Massora menghabiskan
terjadi ketimpangan data, maka dalam peneltian masa kecilnya hingga dewasa di kerajaan Gowa.
ini penulis membatasi defenisi istilah yang Pada saat Raja La Massora kecil, datanglah
digunakan pada penelitian ini yaitu Maccera Raja Gowa Tunipallangga Ulaweng ke Alitta,
Siwanua. Menurut Sugiyono (2008) dalam Suppa dan Sawitto, dengan maksud ingin
penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen menguasainya. Karena pada saat itu kerajaan
adalah peneliti itu sendiri. Dalam penelitian Gowa mulai mengubah pandangan atau prinsip
ini, peneliti berperan sebagai human instrument kerajaan untuk menguasai kerajaan-kerajaan
dengan menetapkan fokus penelitian, memilih kecil maupun besar di tanah Bugis. Peristiwa itu
informan sebagai sumber data, menilai kualitas terjadi pada tahun 1565 M.
data, analisis data, menafsirkan data, dan Saat itu, Manriyo Gau Daeng Bonto
membuat simpulan atas temuan di lapangan. Karaeng Lakiung Tunipalngga Ulaweng,
Adapun teknik pengumpulan data yakni kembali ke kerajaan Gowa. Dia membawa serta
observasi atau pengamatan, wawancara, studi La Massora ke kerajaan Gowa. Dia membesarkan
pustaka dan dokumentasi. La Massora bersama anak bangsawan Gowa
lainnya. Bahkan saat Raja Gowa memeluk
agama Islam pada tahun 1024M, La Massora ikut
mengucapkan dua kalimat syahadat sekitar tahun

227
WALASUJI Volume 9, No. 1, Juni 2018: 225—235
1605 M, dan pada saat itu pula ibunda La Massora tidak mendengar ucapan bidadari yang lainnya,
wafat, sehingga La Massora memutuskan untuk sehingga ia keasyikan mandi. Ia tidak mengetahui
kembali dan menetap di Alitta. bahwa lari kodo miliknya itu di ambil oleh Raja
Umumnya bangsawan Bugis-Makassar, La Massora. Pada saat bidadari tersebut berbalik.
La Massora mempunyai hobi berburu. Bahkan Ia melihat bianglala (pelangi) meninggalkannya
sejak menetap di Alitta, La Massora makin dan akhirnya Raja La Massora menangkap
sering masuk ke hutan untuk berburu. Setiap bidadari yang sendirian di Bujung Pitu’e.
La Massora berburu, dia ditemani anjing hitam Raja La Massora membawanya ke
kesayangnnya bernama La Bolong. Anjing La kerajaan Alitta. Raja La Massora memanggil
Massora setiap malam Jumat menghilang dan pengawalnya agar memanggil para rakyat untuk
kembali pada sabtu malam dalam keadaan melihat bidadari tersebut. Semua rakyat Alitta
berbau harum. Suatu hari, lato-lato atau orang datang ke tempat tersebut dengan membawa
tua yang merupakan Pakkoranna Manu Kale’ gong, gendang, kanci, bessi banrangeng, weroni,
(penjaga ayam hutan) menemukan anjing La titi lagoni, parametti dama, lanra pattola, dan
Massora bermain dengan tujuh bidadari pada lain-lain. Penamaan rute perjalanan Raja La
Jumat siang dan tempat itu bernama Kulluah Massora bersama bidadari yang bernama We
(sekarang sudah menjadi Lainungan). Kemudian Bungko (bidadari bungsu, dalam bahasa Bugis-
lato-lato tua itu datang dan melaporkan kepada Pinrang diartikan sebagai bungko) menuju
Raja Alitta bahwa ia melihat anjingnya bermain kerajaan Alitta sebagai berikut:
dengan tujuh bidadari di Bujung Pitu’e (Tujuh - La kempu yang merupakan tempat
sumur). Bujung Pitu’e saat ini merupakan cagar rombongan Raja Alitta bersama bidadari.
budaya yang berada di Kabupaten Sidrap. Mereka pun singgah dan bidadari tersebut
Zaman dahulu, Sidrap pernah menjadi wilayah berkata “oh daeng, lemmuna nyawamu
kerajaan Alitta. Raja La Massora tidak begitu mutampuno lari kodoku nenni anu
percaya dengan ucapan lato-Lato tua itu. Maka ipakarajai iro ri langi’e (Kenapa kau begitu
untuk membuktikannya, Raja La Massora tega mengambil selendangku, padahal
kemudian pergi ke tempat tersebut pada hari selendang tersebut sangat berharga sekali
Jumat, agar Raja La Massora tidak terlihat, di langit). Raja La Massora menyuruh
maka ia kemudian menggali sebuah lubang pengawalnya untuk mengambil kempu-
untuk tempat persembunyiannya dan menunggu kempu (merupakan alat zaman dahulu
kedatangan bidadari tersebut (taruang). Tidak yang terbuat dari kuningan berwarna
lama kemudian, tujuh bidadari yang cantik jelita perak dan purih keabu-abuan) sehingga
datang. Raja La Massora akhirnya percaya tempat tersebut dinamakan La Kempu dan
dengan ucapan lato-lato tua itu, dan alangkah sampai sekarang tempat tersebut masih
terkejutnya Raja La Massora ketika melihat dikeramatkan oleh rakyat Alitta mengingat
anjing kesayangannya bermain-main dengan letaknya berada di puncak bukit.
tujuh bidadari yang cantik jelita itu. - Wala-wala’e yang berarti memagari
Tujuh bidadari meletakkan lari kodo-nya karena pada saat itu bidadari meronta-
(selendang) di samping sumur. Tetapi salah ronta ingin lari sehingga rakyat bersama
satu dari tujuh bidadari itu mulai terusik dan pengawal Raja La Massora memagarinya
mencium bau manusia. Yang paling tua pun dengan tangan sehingga tempat tersebut
berkata ‘cemminna magatti engka sedding dinamakan Wala-walae.
cimmau, mabbau-bau to lino’ (mandilah cepat, - Pallereang. Setelah bidadari tersebut
saya mencium bau manusia). Para bidadari berhenti meronta karena sudah dibunyikan
segara mandi dan memakai lari kodo-nya dan alat-alat seperti yang ada di langit (Gong,
naik ke langit. Tetapi ada satu bidadari yang weroni, dan lainnya), maka para pengawal

228
Maccera Siwanua: Tradisi Menyucikan... Muh. Ardi

dan rakyat Alitta melepaskan tangan atau semakin dekat, tiba-tiba bidadari kembali
melonggarkan sehingga tempat tersebut menolak untuk melanjutkan perjalanan.
dinamakan Pallereang. Karena sudah dekat permukiman, maka
- Mattojo. Rombongan Raja La Massora mulailah dibunyikan genrang tellu. Setelah
meninggalkan Pallereang, mereka mendengar bunyi genrang tellu tersebut,
kemudian pergi menuju ke arah utara. dia pun berjalan kembali. Genrang tellu
Sesampainya di sebuah sungai, kembali biasa dibunyikan pula pada upacara-
sang bidadari menolak berjalan. Ia hanya upacara di kayangan. Maka dinamakanlah
berdiri dan tidak mau bergerak sehingga tempat tersebut ‘ La Ganrang.
tempat itu dinamakan Mattojo yang artinya - Solorengnge. Sampailah rombongan di
berdiri suatu tempat yang menurun, sehingga
- I Lekke. Perjalanan kembali dilanjutkan dari jauh dapat dilihat kedatangan yang
setelah sang bidadari sudah bersedia berbondong-bondong seperti air yang
berjalan. Namun setelah berjalan sekian mengalir menyambut rombongan La
lama, sang bidadari berhenti dan tidak mau Massora yang membawa sang bidadari.
berjalan karena ingin dijamu secara adat I Versi lain mengatakan bahwa karena rakyat
Lekke. Tempat tersebut pun dinamakan Alitta yang berbondong-bondong untuk
Lika. melihat bidadari tersebut sehingga terlihat
- La Majakka. Setelah dijamu perjalanan seperti air mengalir menuju bukit. Oleh
pun kemudian dilanjutkan. Tetapi seperti sebab itu tempat tersebut kemudian dinamai
biasa ia kembali berhenti untuk menyisir kampung Solorengnge. Massolo dalam
rambutnya. Setelah bersisir ia pun kembali bahasa Bugis berarti mengalir. Sekarang
berjalan. tempat yang bernama Solorengnge terletak
- La Mattapere. La Mattapere merupakan di dekat SMP 3 Alitta.
tempat untuk menggelar tikar buat sang - La Pakkita. Tiba di pinggir permukiman,
bidadari layaknya seorang ratu yang akan rakyat kerajaan Alitta segera mengerumuni
memasuki kerajaan Alitta. sang bidadari . Mereka ingin melihat dari
- La Bessi. Tiba di suatu tempat pengawal dekat wajah bidadari yang cantik jelita,
Raja La Massora menancapkan sebatang istilahnya makita-kita. Oleh sebab itu,
besi di tanah (bessi banrangeng), tempat tesebut dinamai Lapakkita yang
maka dinamailah tempat tersebut La berarti melihat karena dikerumuni oleh
Bessi. Selanjutnya rombongan kembali banyak orang. Maka sang bidadari pun
melanjutkan perjalanan menuju istana. kembali berjalan namun sang bidadari
- Eja’e. Tidak berapa lama naik ke atas mengajukan satu permintaan yaitu
gunung, sang bidadari pun dipakaikan agar dibuatkan sebuah sumur di tempat
baju berwarna merah dan itulah baju yang tersebut. Karena mengingat bidadari itu
pertama kali dipakai oleh sang bidadari. tidak dapat mandi dengan air manusia
Sampai sekarang baju tersebut masih sehingga dibuatkan sebuah sumur. Sumur
di simpan di rumah Arang Alitta dan tersebut jadi dalam sekejap. Karena sumur
dikeluarkan untuk di cera setiap 5 tahun tersebut dibuat di Desa Lapakkita, maka
bahkan 8 tahun sekali. Ritual tersebut di disebut sumur Lapakkita atau Bujung
namakan Maccera Arajang atau Maccera Lapakkita (Sumur Manurung Lapakkita).
Siwanua. Tempat itupun dinamakan Eja’e. Setelah dibuatkan sumur untuknya, maka
Dalam bahasa Bugis setempat berarti dia mulai berjalan lagi. Sumur Lapakkita
merah. sampai sekarang masih dikeramatkan bagi
- La Ganrang. Setelah permukiman masyarkat Alitta. Pada hari Senin dan

229
WALASUJI Volume 9, No. 1, Juni 2018: 225—235
Kamis, masih ada masyarakat yang datang tersinggung. Ia merasa iparnya sengaja menyindir
bersiarah seperti melaksanakan nazarnya dirinya. Maka ia berucap, saya tahu bahwa
dan tak jarang pula dari mereka melakukan di dunia ini saya hanya sebatang kara. Tetapi
pemujaan. Pemujaan dalam hal ini yaitu takdirkulah hingga harus berada di dunia ini
melaksanakan nazar atau membuat Setelah itu sang bidadadri masuk ke kamarnya. Ia
nazar dan melakukan ritual adat. Sumur membungkus sekujur tubuhnya mulai ujung kaki
Lapakkita ini tetap berisi air meskipun hingga kepala. Sepulang berburu, La Massora
musim kemarau terjadi, pada hal sumur- melihat istrinya di kamar. Melihat sikap istrinya
sumur di rumah mayarakat Alitta sudah yang tidak seperti biasanya dengan menyelimuti
kering. seluruh badanya, maka La Massora bertanya ada
Dari semua penamaan rute jalur perjalanan apa sehingga dinda seperti ini?
Raja La Massora dan sang bidadari, hanya Mengetahui suaminya sudah pulang, We
satu yang menjadi cagar budaya yaitu Bujung Bungko segera bangun dan menceritakan tentang
Lapakkita dan satu lagi berupa Arajang yaitu syair lagu adik iparnya tadi. Ia berkata: benar di
Eja’e. Sedangkan yang lain hanya tinggal dunia ini saya hanya sebatang kara, tidak beribu,
nama dan tempat tersebut hanyalah hutan tidak berbapak tidak punya saudara dan serta
dan perbukitan. Bujung Lapakkita dan Eja’e berharta, tetapi karena takdirkulah maka harus
merupakan satu-satunya peninggalan dari sang ku jalani.
bidadari tersebut. Alangkah murkanya La Massora setelah
Setelah sampai di kerajaan Alitta, mendengar ucapan istrinya tersebut. Ia segera
maka Raja La Massora dan bidadari tersebut mencari adiknya untuk menanyakan apa
dinikahkan dan dilaksanakanlah upacara adat maksudnya dengan menyanyikan lagu seperti
untuk mereka. Sedangkan bidadari itu diberikan itu. Melihat kakaknya datang dengan raut muka
nama We Bungko yang artinya ‘yang bungsu.’ Ini yang sangat marah. Adik La Massora itu pun
dikarenakan bidadari itu merupakan yang paling segera melarikan diri hingga tiba di Boto Puju.
bungsu atau yang paling muda dibandingkan Ia tidak pernah lagi kembali ke Alitta. Ia wafat di
dengan bidadari yang lainnya. Dari pernikahan sana dan diberi gelar Petta Bara’e.
La Massora dengan We Bungko, lahirlah We Bungko yang terlanjur sakit hati
seorang putra bernama La Baso Alitta. Pada memutuskan untuk kembali ke khayangan.
suatu hari, saat La Massora pergi berburu, La Ia pun mengambil bajunya dan pada saat itu
Baso menangis tiada henti-hentinya untuk turunlah bianglala di hutan tempatnya dulu di
menenangkan keponakannya, We Tenri temukan oleh La Massora. Sebelum berangkat
kemudian menyanyikan sebuah syair sebagai ia menitipkan pakaian yang dulu dia pakai saat
berikut: ditemukan oleh La Massora. Ia menitip pesan
untuk suaminya sebagai berikut:
Mendengar syair lagunya, We Bungko
“Iyo-iyo La Baso, Artinya wahai la “Utaroi bajukku artinya “ Kusimpan
ajammudaju-raju. Baso janganlah sibawa ana’ku La bajuku dan anakku
Tuwomu Mallong- engkau cengeng, Baso pattanra La Baso sebagai
longi. aja muddaju- semoga engkau puraka monro ko’e pertanda bahwa aku
raju, tenginangmu panjang umur. ri Alitta pernah tinggal di
tengaammangmu. Tidak ada Alitta.
tetana sitekkemu.” ibu, tidak ada
Setelah berkata demikian ia segera masuk
ayahmu. Tidak
hutan dengan perasaan penuh kesedihan karena
ada tanah
harus meningalkan suami dan anaknya yang
genggangmu.

230
Maccera Siwanua: Tradisi Menyucikan... Muh. Ardi

sangat dicintainya. Ia tidak bisa membawa serta “narekko meloko Kalau kamu mau
La Baso ke kayangan karena ayah La Baso hanya sibawa ia laoko pergi bersama saya,
manusia biasa. Setelah tiba di hutan, ia segera maddakala pake pergilah kamu
menuju ke bianglala yang akan membawanya tedong ulaweng atau membajak sawah
kembali ke kayangan. seterro pallon lipa menggunakan kerbau
Sementara itu La Massora yang telah mattennung wa’na bertanduk emas
pulang mencari adiknya, tidak menemukan Gading” seterro pallon lipa
istrinya. Ia sudah mencarinya ke seluruh bagian mattennung wa’na
istana. Tak seorang pun berani menyampaikan Gading”
kepergian We Bungko ke baginda raja. Setelah La
Massora bertanya barulah berani menyampaikan Jadi pergilah Raja La Mssora ke ladang
kejadiannya. Tak lupa menyampaikan pesan We yang luas sambil menunggangi kerbau untuk
Bungko kepada baginda. Betapa sedih hati La bertemu langsung dengan We Bungko. Pada saat
Massora mendengar kabar tersebut. Setiap hari itu petir dan guntur terdengar dan dalam sekejap
La Massora ke hutan tempat dia menemukan Raja La Massora menghilang dan naik ke Langit.
We Bungko dahulu. Ia berharap bisa bertemu Pada saat itu, Raja La Massora sering disebut
kembali dengan We Bungko. Namun hanya Petta Mallajange dan ia pun tidak memiliki
kekecewaan yang diperolehnya, karena para kuburan. Selepas kepergian ayah dan ibunya, La
bidadari itu tidak pernah datang lagi. Baso pun merasa rindu dan akhirnya ia meninggal
Pada malam harinya, Raja La Massora dan jasadnya dikembalikan ke Alitta untuk
bertemu dengan sang bidadari. Ia berkata: dikuburkan karena pada saat itu yang menjadi
raja menggantikan Raja La Massora yaitu We
Nareko maeloko jika kamu ingin Tenri Lekke Patteteng Tana. Jadi, dikuburlah
sita rupa ki, loko ri bertemu dengan saya La Baso dan sampai sekarang kuburan La Baso
bujung Lapakkita datanglah ke Bujung masih ada. Sejak itulah diadakan “Maccera
essona juma’e baju Lapakkita pada hari Siwanua” sebagai tanda penghormatan kepada
bolong ma pallon jumat pake baju Raja Alitta La Massora.
lipa’ ma tenung hitam ma pallon lipa
wa’na gading mattennung wan’a Proses Pemujaan dan Ritual Adat Maccera
gading Siwanua Pada Masyarakat Desa Alitta.
Jadi pergilah Raja La Massora ke Bujung Pemujaan sendiri menurut Kamus Besar
Lapakkita, setiap hari Jumat untuk bertemu sang Bahasa Indonesia (Anwar, 2003) yaitu upacara
bidadari tetapi setelah Raja Gowa mengambil La penghormatan kepada dewa-dewa, berhala, dan
Baso anak dari Raja La Massora ia kemudian sebagainya, memuja-muja memperdewakan,
berhenti ke Bujung Lapakkita. sangat mencintai, menyukai menjadi sesuatu
Pada suatu hari, ketika Raja Alitta sudah dengan mantra atau cinta. Masyarakat merupakan
menikah lagi dengan istrinya bernama Ipasurra satu kesatuan yang terjalin dalam unsur-unsur
Ibulangnge Sawitto dan sepeninggal istri sosial. Salah satu unsur sosial tersebut yaitu adat
keduanya, Raja La Massora kembali bermimpi istiadat atau kebiasaan mereka. (Nurseno, 2009).
bertemu dengan We bungko. We Bungko berkata: Masyarakat di Desa Alitta sangat memegang
teguh adatnya, bahkan sampai sekarang hanya ada
satu desa yang sangat kental dengan adatnya yaitu
Desa Alitta. Masyarakat adat adalah masyarakat
pribumi. Menurut Mulyani, 2014 (dalam Pratiwi,
2016) masyarakat adat merupakan kelompok
masyarakat yang memiliki asal usul leluhur

231
WALASUJI Volume 9, No. 1, Juni 2018: 225—235
(secara turun temurun) di wilayah geografis Sanro Wanua sebagai orang yang dipercayakan
tertentu serta memiliki sistem nilai, idelogi, masyarakat setempat untuk mengurus prosesi
ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayahnya penyucian benda pusaka dan kampung tersebut,
sendiri. Sedangkan menurut Ningrum (2012), tetapi yang melaksanakan tugas dan kewajiban
masyarakat tradisional merupakan orang-orang adalah kepala desa. Di dalam pelaksanaan ritual
atau suku bangsa yang sudah hidup sesuai dengan adat Maccera Siwanua, masyarakat di Desa
tradisi yang tidak terputus-putus. Tradisi adalah Alitta dulunya melakukannya setiap tahun, tetapi
tali pengikat yang kuat dalam membangun tata karena terkendala biaya, sekarang ini hanya
tertib masyarakat. Adat sendiri merupakan dilakukan sekali dalam lima tahun. Dalam artian
wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi dia megikuti periode kepengurusan kepala desa.
sebagai tata kelakuan yang terhimpun dalam Sebelum Maccera Siwanua dilaksanakan, maka
adat istiadat (Salosa, 2014). Masyarakat hukum terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan
adat merupakan kesatuan kemasyarakatan yang kepala desa. Setelah mendapat persetujuan,
mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri maka masyarakat juga ikut berpartisipasi dengan
sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, membawa bahan makanan berupa beras, uang,
kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan sayur-sayuran, telur, kue-kue dan sebagainya.
hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan Maccera Siwanua telah dilaksanakan
air bagi semua anggotanya (Mulyani, 2014 beratus tahun yang lalu. Dalam ritual Macera
dalam Pratiwi, 2016). Pandangan dasar dari Siwanua, sebelum hari ritualnya berlangsung,
Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun maka diadakan terlebih dahulu ritual Mappatinro
1999, menyatakan bahwa masyarakat adat Tedong, yaitu ritual untuk menyiapkan sesajen
adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal- dalam hal ini kerbau hitam. Dalam ritual
usul secara turun temurun di atas suatu wilayah Mappatinro Tedong, posisi Tedong berdiri,
adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah hanya istilahnya saja yang mappatinro (tidur).
dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya Biasanya Mapptinro Tedong dilaksanakan
yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat pada sore hari. Mereka membunyikan gendang
yang mengelola keberlangsungan kehidupan karena pada zaman dahulu We Bungko menyukai
masyarakat (Nababan, 2003). Adat yang masih bunyi-bunyian seperti itu karena itu merupakan
kental pada masyarakat Desa Alitta masih adat langit. Sanro Wanua memakai baju putih
terasa, terlebih lagi desa ini bisa dikatakan dan Sanro Wanua tersebut semacam I Lekke
sebagai desa budaya Pinrang karena desa ini (diangkat) menggunakan bala soji dan sanro
masih memegang peran sebagai desa dengan wanua tersebut duduk di atas balasoji memakai
sistem demokrasi tradisional di mana kekuasaan baju putih panjang dan Mapparampa didampingi
tertinggi dipegang oleh salah satu tokoh adat dua orang laki-laki dan perempuan memakai baju
yaitu sanro dan kepala desa. Sanro dalam bahasa adat membawa Sanro Wanua tersebut ke lokasi
Jawa disebut dukun dan dalam bahasa melayu ritual Mappatinro tedong, seperti pada gambar 1.
disebut pawang atau bomoh, adalah orang yang
biasanya memiliki bidang keahlian tertentu
(Pelras, 2006). Sanro wanua adalah pemimpin
ritual adat pada komunitas masyarakat adat
Desa Alitta, terutama pada ritual adat Maccera
Siwanua. Sanro Maccera Siwanua adalah orang
yang berperan penting dalam prosesi ritual adat.
Instrumen utama dalam pelaksanaan Maccera
Siwanua disini adalah Sanro Wanua, karena
yang mengetahui prosesi-prosesi ritual beserta Gambar 1. Sanro Wanua diarak keliling
mantra-mantra yang dibacakan pada prosesi ini. kampung menggunakan balasoji

232
Maccera Siwanua: Tradisi Menyucikan... Muh. Ardi

Sanro Wanua menyiapkan sesajen di tiba, mereka kemudian datang ke rumah Sanro
sekitar kerbau seperti kelapa, pisang, songkolo Wanua memakai jas dan songko biring dan ada
patang rupa, dan rekko ota. Kemudian Sanro juga yang memakai baju bodo dan juga ada yang
Wanua tersebut mengelilingi tedong sebanyak memakai bajo tokko. Sesampainya di rumah
tiga kali yang akan dipersembahkan kepada sandro wanua maka sanro wanua tersebut
Arajang Alitta. diangkat menggunakan bala soji berbentuk segi
Pada malam harinya dilakukan empat yang terbuat dari bambu dan biasanya
serangkaian acara seperti mappadendang. digunakan pada pernikahan Bugis. Sesampainya
Acara ini berlangsung sampai larut malam. di Bujung Lapakkita maka Sanro Wanua tersebut
Pada malam itu juga dipersiapkan makanan dan memakaikan tanru ulaweng (tanduk emas) pada
minuman untuk hidangan para tamu undangan, kerbau yang akan dijadikan sesajen. Setelah
masyarakat, seperti nasi beserta lauk-pauknya, dipakaikan tanru ulaweng, maka kerbau tersebut
daging-dagingan, dan sayur-sayuran. di potong dan kepalanya akan diarak keliling
Kemudian Sanro Wanua mempersiapkan desa. Lihat gambar 2.
bahan-bahan yang akan dipersembahkan kepada
tempat-tempat yang dikeramatkan di Desa Alitta
yaitu batu bekkae, Aluppang, posina tanae, salo
pincarae, batu morroe. Adapun bahan-bahan
yang dipersiapkan oleh Sanro Wanua yaitu buah
pinang, telur, daun sirih, daun waru, benno,
berre, minya bau, dan dupa. Semua bahan-
bahan tersebut memiliki makna tersendiri sepeti:
- Tello atau telur, maknanya yaitu mallibu Gambar 2. Sanro wanua mempersiapkan
atie rupuang Alla Taala persembahan (kepala kerbau)
- Rekko ota atau daun sirih, maknanya lam Sedangkan badannya akan dimasak dan
massulekka tanranna engka lammssulekka disajikan pada saat masyarakat akan makan
rilaleng watang kale bersama. Pada puncak acara, arajang kemudian
- Daung paru maknanya yaitu, daung paru dikeluarkan untuk dicera atau istilahnya
moppange artinya langit sedangkan daung dirayakan ulang tahunnya. (lihat gambar 3)
paru lengenge artinya bumi,
- Benno maknanya yaitu mabiccu jolo
nappabattoa artinya kecil dulu baru besar
- Dupa maknanya yaitu iduppai dallee
artinya menanti rezeki
- Berre maknanya barakka artinya berkah
dari tuhan
- Alosi maknanya tandrata ri puang Alla
taala
- Minya bau maknaya perlengkapan dari Gambar 3. Arajang, dikeluarkan untuk
semuanya. di cera
Setelah tedong tersebut diritualkan, Arajang merupakan benda peninggalan
keesokan harinya kerbau tersebut disembelih dari We Bungko, bidadari yang pernah menetap
dan hanya bagian kepalanya yang tidak di Alitta. Benda yang dimaksud adalah sebuah
diambil, karena bagian kepala tersebut yang baju berwarna merah yang pertama kali dipakai
akan di arak keliling Desa Alitta. Tujuannya oleh bidadari setelah ditangkap oleh Raja La
yaitu: biasanya, masyarakat pada hari ritual Massora, dan baju tersebut disimpan di dalam

233
WALASUJI Volume 9, No. 1, Juni 2018: 225—235
kempu. Baju tersebut sangat dikeramatkan Mereka yakin bahwa selama mereka tidak
sehingga tak sembarang orang yang dapat menganggu masyarakat yang berdatangan ke
memegang baju itu. Arajang itu seperti Sanro Bujung Lapakkita, mereka akan merasa aman
Wanua dan keturunan bangsawan bugis Raja La dan tidak ada pertentangan antara masyarakat
Massora. yang mengiyakan Bujung Lapakkita dengan
masyarakat yang tidak mengiyakan Bujung
Sikap Masyarakat Alitta terhadap Bujung Lapakkita. Salah satu komunitas yang percaya
Lapakkita terhadap Bujung Lapakkita yaitu masyarakat
Sebagian penduduk asli Alitta paham yang beraliran Muhammadiyah dan masyarakat
betul akan asal usul dari Bujung Lapakkita pendatang yang masuk di Desa Alitta serta
serta adat tradisi yang sering dilakukan orang- masyarakat yang beragama kristen. Ada pula
orang terdahulu di Bujung Lapakkita. Namun masyarakat yang pernah ke Bujung Lapakkita
dalam perkembangannya, Bujung Lapakkita tetapi lama-kelamaan mereka kemudian sadar
telah menjadi bahan topik dan buah bibir bahwa apa yang dilakukannya itu adalah
masyarakat Alitta. Terkadang ada masyarakat musyrik.
yang menganggap Bujung Lapakkita sebagai
salah satu tempat yang suci dan ada masyarakat PENUTUP
yang menganggap tempat tersebut adalah tempat Setelah melakukan penelitian secara lebih
yang musyrik. mendalam di Desa Alitta, maka peneliti dapat
Bagi masyarakat yang percaya terhadap menarik kesimpulan bahwa Maccera Siwanua
Bujung Lapakkita, mereka menganggap atau Maccera Arajang merupakan sebuah ritual
jika masyarakat yang datang jauh-jauh dari yang dilakukan di Bujung Lapakkita dengan
desa lain untuk menuju Bujung Lapakkita, tujuan memberikan persembahan kepada Arajang
mereka mengangap kedatangannya hanya Alitta, sekaligus merupakan pesta rakyat, dalam
untuk berziarah dan mengunjungi kembali rangka penyucian kampung untuk menolak
Bujung Lapakkita. Mereka pun tak segan- bala ataupun membuang sial, dan juga sebagai
segan membayar sanro untuk membimbingnya ajang untuk mempererat hubungan emosional
untuk masuk di Bujung Lapakkita. Terkadang antarmasyarakat. Kemudian pemberian nama
masyarakat di sana meminta agar diberi kesehatan Maccera Siwanua berasal dari sejarah Bujung
dan permohonannya itu ditujukan kepada Alah Lappakita yang sebenarnya berawal dari kisa
swt akan tetapi mereka melakukan permohonan Raja Alitta yang ke tiga yaitu Raja La Massora.
di tempat yang dalam mimpinya ternyata sumur Pemujaan adat di Bujung Lappakita hanyalah
yang dicarinya adalah Bujung Lapakkita. Bagi merupakan sebatas nazar yang harus dibuat,
masyarakat yang mempercayainya, Bujung dilaksanakan, dan dipenuhi. Sedangkan sikap
Lapakkita itu merupakan satu panggilan dari maupun partisipasi masyarakat terhadap Bujung
penghuni Bujung Lapakkita Lapakkita sebenarnya hanyalah persoalan
Sedangkan masyarakat yang tidak terlalu individu dan keyakinan masing-masing
percaya dengan Bujung Lapakkita, mereka antara “ya” atau “tidak” meskipun demikian
menganggap itu adalah tindakan musyrik dan keberadaan cagar budaya ini harus tetap dijaga
sangat bertentangan dengan agama. Apalagi dan dilestarikan sebagaimana mestinya. Namun
menurut penuturan salah satu masyarakat yang sikap masyarakat yaitu harus saling menghargai
mengira bahwa biasanya masyarakat yang keberadaan mereka masing-masing.
datang ke Bujung Lapakkita telah menyembah
batu karena di dalam Bujung Lapakkita adalah
batu-batu besar.

234
Maccera Siwanua: Tradisi Menyucikan... Muh. Ardi

DAFTAR PUSTAKA Salosa ST, et al. 2014. Hutan Dalam Kehidupan


Sugiono,2009.Metode Penelitian Kuantitatif Masyarakat Hatam Di Lingkungan Cagar
Kualitatif dan R & D. Jakarta CV: Alam Pegunungan Arfak. Manusia dan
Alfabeta. Lingkungan Vol.21 No.3. http://jpeces.
Nurseno,2009.Theory And Aplication Of ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/
Socioloy For Grade XI Of Senior High view/39 6/300, 14 September 2017
School And Islamic Seniora High School. Ningrum E. 2012. Dinamika Masyarakat
Solo: Bilingual. Tradisional Kampung Naga di Kabupaten
Pelras Chritian,2006.Manusia Bugis. Nalar, Tasikmalaya. Sosial dan Perlindungan.
Jakarta. Vol.28. No. 1. http://ejournal.unisba.ac.id
Anwar.D, 2003. Kamus Lengkap Bahasa /index.php/mimbar/article/view/338/36,
Indonesia. Surabaya: Amelia. 08 September 2017
Lexy, J, Moleong. 2001. Metode Penelitian Sudjiman Panuti,2010. Filologi Melayu (Online)
Kualitatif. Bandung: PT. Remaja (Http://fikirjernih.blogspot.co.id/2010/03/
Rosdakarya. pengertian-dari-Cagar-budaya.htm
Pratiwi, Citra. 2016. Pengaruh Kearifan l?m=1, diakses pada tanggal 26 Mei 2018
Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga pukul 20:37 wita)
Terhadap Pengelolaan Hutan. Skripsi.
Tidak diterbitkan, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor: Bogor
08 September 2017

235

Das könnte Ihnen auch gefallen