Sie sind auf Seite 1von 39

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

TUBERKULOSIS (TB)

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular

Dosen Pembimbing : Munaya Fauziah SKM, M.Kes

Disususn oleh :

Fatwa Firdaus
(NPM.2013710038)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah Swt yang telah memberikan petunjuk,

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan

judul “Keluarga Berencana”. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita

Nabi Muhammad Saw. dan para keluarga serta sahabatnya.

Terima kasih kepada Ibu Munaya Fauziah SKM, M.Kes selaku dosen mata kuliah

Epidemiologi Penyakit Menular yang telah membimbing penulis dalam penyusunan makalah

ini. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah mendukung

pembuatan makalah ini.

Penulis sadar bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga

makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Amien

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta , 16 November 2015

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1

1.2 Tujuan ................................................................................................................ 2

1.3 Manfaat ................................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 4

2.1 Definisi TB ................................................................................................................ 4

2.2 Etiologi TB ................................................................................................................ 4

2.3 Manifestasi Klinis TB .............................................................................................................. 5

2.4 Diagnosa ................................................................................................................ 5

2.5 Patofisiologi TB Paru ................................................................................................................ 14

2.6 Program Penanggulangan TB Paru ........................................................................................... 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN (STUDI LITERATUR) ................................................. 21

3.1 Studi Literatur ................................................................................................................ 21

3.2 Metodologi Penelitian dengan Jurnal-jurnal terkait TB Paru ............................................... 23

BAB IV DISTRIBUSI PENYAKIT,FAKTOR RISIKO,PENCEGAHAN .................................... 26

4.1 Distribusi Penyakit ................................................................................................................ 26

4.2 Faktor Risiko ................................................................................................................ 28

4.3 Pencegahan ................................................................................................................ 31

BAB V PENUTUP ................................................................................................................ 33

5.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 33

5.2 Saran ................................................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis..1 Penyebaran infeksi melalui udara yang tercemar dengan bakteri

Mycobacterium tuberculosis dilepaskan pada saat penderita batuk.11 TB merupakan

penyakit dengan frekuensi cukup tinggi dinegara berkembang seperti Indonesia dan

sebagian besar penduduk, terutama di daerah-daerah endemis.12

Bakteri tuberculosis ini bila masuk penderita TB dengan status BTA positif dapat

menularkan sekurang-kurangnya kepada 10–15 orang setiap tahunnya. Sejak tahun 1993,

WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Dengan

berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5

juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia

(WHO, 2009).1

TB menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Setiap detik ada

1 orang yang terinfeksi TBC di dunia. Setiap tahun terdapat 8 juta penderita TBC baru,

dan akan ada 3 juta meninggal setiap tahunnya. 1 % dari penduduk dunia akan terinfeksi

TB setiap tahun. Satu orang memiliki potensi menular 10 sampai 15 orang dalam 1 tahun.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TB didunia

antara lain karena kemiskinan, meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan

yang tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, serta adanya epidemi HIV

terutama di Afrika dan Asia (Notoatmodjo, 2007).6

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2012, mencatat

peringkat Indonesia menurun dari posisi tiga ke posisi empat dengan jumlah penderita
TBC sebesar 321.000 orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada

tahun 2012 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan (WHO, 2012).14

Masih tingginya prevalensi penderita tuberkulosis di Indonesia menunjukkan bahwa

angka keberhasilaan pengobatan di Indonesia masih rendah. Untuk mencapai

kesembuhan dibutuhkan keteraturan berobat bagi setiap penderita. Pengobatan yang

tidak dibenar akan mengakibatkan terjadinya retensi kuman TB terhadap obat yang

diberikan. Hal ini akan menimbulkan kesulitan yang amat besar, penderita akan

menularkan kumannya kepada orang lain dan biaya pengobatan menjadi meningkat dan

waktu yang lama untuk pengobatan (Aditama, 1994).13

Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Epidemiologi Penyakit Menular Tuberkulosis (TB) dengan metode

study literatur.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran bagaimana penyebaran penyakit menular tuberkulosis di

dunia secara umum, serta faktor faktor apa saja yang menyebabkan penyakit menular

tuberkulosis.

1.2.2 Tujuan Khusus

o Diketahuinya bagaimana pendistribusian penyakit menular tuberkulosis, meliputi

angka morbiditas dan mortalitasnya.

o Diketahuinya apa saja faktor risiko penyakit menular tuberkulosis.

o Diketahuinya bagaimana pencegahan penyakit menular tuberkulosis, baik pencegahan

primer, sekunder dan tersiernya.


1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Bagi peneliti

Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian dan penulisan

makalah, serta mengenal penyakit menular tuberkulosis.

1.3.2 Bagi Pembaca

Dapat menjadi referensi bacaan sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuan di

bidang kesehatan masyarakat, khususnya dibidang ilmu epidemiologi penyakit

menular tuberkulosis.

1.3.3 Bagi FKK UMJ

Dapat menjadi koleksi tulisan makalah mahasiswa dengan metode penelitian study

literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi TB

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

bakteri Myobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang paru-paru, tetapi dapat juga
4
menyerang organ atau bagian tubuh lainnya (misalnya tulang, kelenjar, kulit, dll).

Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882.14

Myobacterium tuberculosis, berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak

membentuk spora dan termasuk bakteri aerob. Mycobacterium tb dapat diberi pewarnaan

seperti bakteri lainnya misalnya dengan pewarnaan gram. Namun sekali diberi warna oleh

pewarnaan gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena

itu, maka mycobacterium tb disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).16

2.2 Etiologi TB

Umumnya Myobacteruim tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ

tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada

pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut

sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Myobacteruim tuberculosis cepat mati dengan

matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab.

Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB ini

timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit. 2

Penyebab utama meningkatnya masalah TB antara lain adalah kemiskinan pada

berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara yan sedang berkembang, tidak

memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan

TB ( kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar,


obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan

pelaporan yang terstandar, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus

(diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang

didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG, infrastruktur kesehatan

yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan

masyarakat, dan perubahan demografi karena meningkatnya penduduk dunia serta

perubahan struktur umur kependudukan dan dampak pandemik HIV. (Depkes 2007).19

2.3 Manifestasi Klinis TB

Umumnya, TB paru ditandai oleh gejala berikut:

o Batuk berdahak, yang berlanjut selama tiga minggu atau lebih

o Kehilangan berat badan

o Demam terutama pada sore hari

o Keringat basah kuyup di malam hari

o Kelenjar bengkak, terutama di leher.8

Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus.

1. Gejala umum2

o Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan

tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.

o Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau

infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.

o Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di

daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

o Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah

disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
o Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan

pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam

abdomen. 2

2. Gejala Khusus 2

o TB kulit atau skrofuloderma

o TB tulang dan sendi, meliputi :

o Tulang punggung (spondilitis) : gibbus

o Tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul

o Tulang lutut: pincang dan atau bengkak

o TB otak dan saraf

Meningitis dengan gejala kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran

menurun.

o Gejala mata

o Conjunctivitis phlyctenularis

o Tuburkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi) .2

Seorang anak juga patut dicurigai menderita TB apabila:

o Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif.

o Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG (dalam 3-7 hari).2

2.4 Diagnosa Tuberkulosis

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu

dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

 Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.

 Pemeriksaan fisik.

 Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).


 Pemeriksaan patologi anatomi (PA).

 Rontgen dada (thorax photo).3

1. Diagnosis TB Paru7

o Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

 S(sewaktu):

Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama

kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk

mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

 P(Pagi):

Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di

UPK.

 S(sewaktu):

Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak

pagi.

o Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan

dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis

sepanjang sesuai dengan indikasinya.

o Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB

paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.7


Gambar 1. Alur Diagnosis TB7
Gambar 2. Alur Diagnosis TB7

2. Diagnosis TB Ekstra Paru7

o Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada

Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesarankelenjar

limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang

(gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

o Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau

histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.7


3. Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)7

Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut:

o TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif.

o TB Paru BTA Negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran

klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB

positif.

o TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,

bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang

terkena.7

Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA yang Rawat Jalan7


Keterangan:

a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi

pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak

dapat berjalan bila tdk dibantu.

b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalensi

HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-

nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah

diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV.

c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya

pasien menolak utk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif.

d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 3

sediaan hasilnya negatif.

e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.

f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila tersedia

fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.

g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan

(bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga

mempercepat penegakkan diagnosis.

h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones) untuk mengatasi typical &

atypical bacteria.

i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia Pneumocystis

jirovecii

j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.7


4. Diagnosis TB pada Anak7

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik

overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan

gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak

perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor.7

IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan

menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau

tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program

nasional pengendalian tuberkulosis untuk diagnosis TB anak. 7

Table 1. Sistem Skor Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB7


Catatan :

a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya

seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.

c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung

didiagnosis tuberkulosis.

d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel berat

badan.

e. Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak

f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah

penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)

h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. 7

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah

skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan

mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis

kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya

sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi

pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.7
5. Diagnosis TB MDR

Diagnosis TB MDR (Multi Drug Resistance) atau TB resisten ganda

dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua

suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi

hari. Uji kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah

tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek

TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian

TB Nasional. 7

2.5 Patofisiologi TB

Gambar 4. Patofisiologi Tuberkulosis3


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.

Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding

selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus

zat kimia. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil

organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada

pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga

disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati

dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan

lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa

tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam

sel-sel fagosit. 2

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau

bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan

dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar

selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam

saluran pernafasan. Jadi penularan TB tidak terjadi melalui perlengkapan makan,

baju, dan perlengkapan tidur.2

Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman

TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem

peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke

bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil

pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak

negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam

udara dan lamanya menghirup udara tersebut.20

Secara klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer.

Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya.

Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru)

terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman TB yang berkembang biak dengan

cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek

primer adalah sekitar 4-6 minggu.2

Kelanjutan infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan

respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara

menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap

sebagai “persister” atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat

menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi

penderita TB dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses

(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi

pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri

cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular. Masa inkubasi sekitar 6

bulan.infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi

primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya

kavitas atau efusi pleura. Seseorang yang terinfeksi kuman TB belum tentu sakit atau

tidak menularkan kuman TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor

risiko.2
2.5 Program Nasional TB

Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan berbagai

upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS (Directly Observed

Treatment Shortcourse). World Health Organization (WHO) merekomendasikan 5

komponen strategi DOTS yakni :

1. Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk dukungan

dana)

2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek

dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO)

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB.20

Table 2. Tonggak pencapaian utama dalam pengendalian TB di Indonesia9


Program yang akan dikembangkan memperkuat penerapan lima komponen dalam

strategi DOTS, dengan fokus prioritas pada proses deteksi dini dan diagnosis yang bermutu,

sistem logistik yang efektif untuk menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan, serta

pengobatan yang terstandar disertai dengan dukungan yang memadai kepada pasien.9

1. Menjamin Deteksi Dini dan Diagnosis Melalui Pemeriksaan Bakteriologis yang

Terjamin Mutunya

Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi pemeriksaan laboratorium untuk

TB berkembang dengan pesat, deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan sputum

mikroskopis tetap merupakan kunci utama dalam penemuan kasus TB. 9

Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan mutu dan kinerja laboratorium

TB mikroskopik, kultur, DST dan pemeriksaan lain untuk menunjang keberhasilan

program pengendalian TB nasional. Selain pembentukan dan penguatan jejaring

laboratorium mikroskopis TB, kultur dan uji kepekaan Mycobacterium Tuberculosis,

aspek mutu dalam pelayanan laboratorium ini dikembangkan melalui pelaksanaan

pemeriksaan laboratorium TB yang aman bagi petugas, pasien dan lingkungan, mutu

fasilitas laboratorium dan tenaga yang terlatih khususnya di daerah yang melayani

masyarakat miskin, rentan (termasuk anak) dan belum terjangkau serta penjaminan

mutu melalui quality assurance internal dan eksternal seluruh fasilitas laboratorium

dan upaya peningkatan mutu berkelanjutan yang tersertifikasi/akreditasi. Validasi

berbagai metode diagnosis baru juga akan dilaksanakan seiring dengan

perkembangan pengetahuan dan teknologi laboratorium untuk TB serta perluasan

kegiatan DST di tingkat provinsi. 9


2. Penyediaan Farmasi dan Alat Kesehatan: Sistem Logistik yang Efektif dalam

Menjamin Suplai obat yang Kontinyu9

Pencapaian angka keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada efektivitas

sistem logistik dalam menjamin ketersediaan obat (untuk obat lini pertama dan kedua)

dan logistik non-obat secara kontinyu. Berbagai intervensi yang dikembangkan untuk

meningkatkan efektivitas sistem logistik dalam program pengendalian TB mencakup:

o Memfasilitasi perusahaan obat local dalam proses pra-kualifikasi (white listing).

o Memastikan ketersediaan obat dan logistic non-OAT (Reagen, peralatan dan

suplai laboratorium) yang kontinyu, tepat waktu dan bermutu di seluruh fasilitas

pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS, termasuk di fasilitas

yang melayani masyarakat miskin dan rentan.

o Menjamin system penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif dan

efisien, termasuk kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain

o Menjamin distribusi obat yang efisien dan efektif secara berjenjang

kebutuhan.

o Menjamin terlaksananya system informasi manajemen untuk obat

TB(termasuk sistem alert elektronik dan laporan pemakaian dan stok OAT).9

3. Memberikan Pengobatan Sesuai Standar dengan Pengawasan dan Dukungan

yang Memadai terhadap Pasien.9

Agar mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi, pengobatan pasien TB membutuhkan

penggunaan obat TB secara rasional oleh tenaga kesehatan dan dukungan yang

memadai dari berbagai pihak terhadap pasien TB dan pengawas minum obat (PMO).

Setiap fasilitas pelayanan harus melaksanakan pendekatan pelayanan yang berfokus

pada pasien (patient-centered approach) sebagai berikut:


o Memberikan informasi mengenai pilihan fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyediakan pengobatan TB dan implikasinya bagi pasien dengan tujuan

meminimalkan opportunity costs dan memperhatikan hak-hak pasien

o Menjamin setiap pasien TB memiliki PMO

o Mengoptimalkan pelaksanaan edukasi bagi pasien dan PMO

o Mempermudah akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang telah

tersedia (seperti Puskesmas, Balai Kesehatan Paru Masyarakat, rumah sakit

dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya)

o Mengembangkan pendekatan pelayanan DOTS berbasis komunitas.9


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN (STUDY LITERATUR)

3.1 Study Literatur

Studi literatur adalah mencari referensi teori yang relefan dengan kasus atau

permasalahan yang ditemukan.

Referensi tersebut berisikan tentang :

a. Pendistribusian penyakit menular tuberkulosis, meliputi angka morbiditas dan

mortalitasnya.

b. Faktor risiko penyakit menular Tuberkulosis.

c. Pencegahan penyakit menular Tuberkulosis, baik pencegahan primer, sekunder

dan tersiernya.

Referensi ini dapat dicari dari buku, jurnal, profil kesehatan, penelitian riskesdas,

berita artikel, dll. output dari studi literatur ini adalah terkoleksinya referensi yang relefan

dengan permasalahan penyakit menular Hepatitis. Tujuannya adalah untuk memperkuat

permasalahan serta sebagai dasar teori dalam melakukan studi.

Dalam menyusun makalah ini penulis melakukan beberapa penerapan metode

penelitian untuk menyelesaikan permasalahan. Adapun metode penelitian yang dilakukan

adalah dengan cara:

1. Pembelajaran Literatur

Metode ini dilaksanakan dengan melakukan studi kepustakaan melalui membaca buku-

buku maupun jurnal dan artikel-artikel yang dapat mendukung penulisan makalah.

2. Analisis
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan fakta-fakta seputar penyakit menular tuberkulosis

berupa pendistribusian morbiditas dan mortalitasnya, faktor risiko dan cara

pencegahannya. Kemudian membandingkan hasil temuan tersebut dengan yang lainnya

untuk mencari persamaan yang dapat digeneralisasikan di Indonesia.

3. Penyusunan Laporan dan Kesimpulan Akhir.

Membuat laporan hasil analisa ke dalam format penulisan makalah dengan disertai

kesimpulan akhir.

3.2 Metodologi Penelitian Jurnal Terkait Tuberkulosis

N Pengarang dan Tahun Judul Metodologi Penelitian Hasil


o Judul Penelitian/Jurn
al
1 Adistha Eka 2014 Evaluasi Pendekatan o Hasil penelitian
Noveyani, Program deskriftif menunjukkan semua PMO
. Santi Martini Pengendalian pada pasien TB di
Tuberkulosis Puskesmas Tanah
Paru Dengan Kalikedinding berasal dari
Strategis keluarga dan sebagian
DOTS di besar (60%) adalah suami
Puskesmas atau istri.
Tanah Kali
Kedinding o Hasil penelitian
Surabaya menunjukkan dari 25
responden pasien yang
memiliki PMO, sebagian
besar (76%) responden
pasien mengatakan adanya
fungsi PMO dalam
mengingatkan dan
ataumendampingi PMO
saat minum obat dan
sisany (24%) tidak ada.
2 Farida, 2013 Gambaran Penelitian deskriptif o Peran responden terhadap
,Eddy Peran dengan pendekatan penderita TBC di wilayah
. Syahrial, Keluarga kuantitatif kerja puskesmas kota
Lita Sri Terhadap datar diketahui belum
Handayani penderita TBC baik, hal ini disebabkan
di Wilayah oleh karena
kerja tingkatpendidikan
Puskesmas responden yang masih
Kota Datar rendah yaitu
Kecamatan berpendidikan SD.
Hamparan
Perak o Selain pendidikan yang
kabupaten Deli rendah, pekerjaan juga
Serdang mempengaruhi tingkat
Provinsi peran responden terhadap
Sumatera upaya pencegahan
Utara penyakit TBC.

o Peran responden terhadap


penderita TBC dalam
proses pengobatan
penderitaTBCdiwilayah
kerja Puskesmas Kota
Datar masih belum baik,
hal ini disebabkan oleh
karena peran keluarga
yang belum maksimal
dalam mendukung proses
pengobatan dan ketaatan
penderita TBC yang
rendah dalam menjalani
proses pengobatan.

o Peran responden terhadap


penderita TBC dalam
upaya pemenuhan nutrisi
diwilayah kerja
Puskesmas Kota Datar
masih belum baik, hal ini
disebabkan olehkarena
tingkat ekonomi yang
rendah yang berpengaruh
terhadap daya beli
keluarga.
3 Helper Sahat 2010 Faktor-Faktor Tulisan ini dibuat o Keterpaparan penyakit
P Manalu yang dengan cara TBC pada
. Mempengaruhi menelusuri seseorangdipengaruhi oleh
Kejadian TB laporanpenelitian beberapa faktor seperti
Paru dan /artikel yang status sosial ekonomi,
Upaya berkaitan dengan status gizi,umur,jenis
Penanggulanga kejadian TB paru. kelamin dan faktor sosial
nnya Dan berikutnya lainnya
dilakukan seleksi
pada laporan yang o Upaya penanganan
terkumpul,sehingga pemberantasan TB paru
dapat ditelaah telah dilaku
sebanyak 17 atikel pada awal tahun 1990 an
terpilih. WHO
mengembangkan strategi
penanggulan
TB yang dikenal sebagai
strategi DO
Focus utama DOTS
adalah penemuan
penyembuhan pasien,
dengan prio pasien TB
tipe menular.
4 Irma 2009 Hubungan Penelitian ini o Hasil analisis bivariat
Prasetyowati, Antara menggunakan pada pencahayaan dengan
Chatarina Pencahayaan rancangan penelitian data kategori
Umbul Rumah, epidemiologi menunjukkan ada
Wahyuni Kepadatan analitik pengaruhpencahayaan
Penghuni dan observasional terhadap terjadinya infeksi
Kelembaban, dengan desain case TB anak. Besar risiko
dan Risiko control yang terjadi
Terjadinya mengkaji pengaruh infeksi TB anak pada
Infeksi Tb beberapa faktor pencahayaan yang tidak
Anak SD di risiko yang diteliti memenuhi syarat adalah
Kabupaten terhadap timbulnya 16.9 kali lebih tinggi
Jember infeksi TB pada daripada
anak. pencahayaan yang
memenuhi syarat.

o Terdapat hubungan antara


luas ventilasi dan
pencahayaan dengan
terjadinya TB anak umur
= 15 tahun, dimana risiko
anak umur = 15 tahun
yang mempunyai luas
ventilasi dan pencahayaan
tidak memenuhi syarat
adalah 55.250 kali
terjadinya TB dibanding
dengan yang memenuhi
syarat.

5 Rikha Nurul 2012 Hubungan Studi observasional o Hasil analisis statistik


Pertiwi, Antara analitik, dengan menunjukkan bahwa jenis
M.Arie Karaktersistik pendekatan case kelamin tidak mempunyai
Wuryanto, Individu, control study hubungan bermakna
Dwi Praktik dengan kejadian TB Paru
Sutiningsih Hygene dan dan laki-laki mempunyai
Sanitasi risiko terkena TB Paru
Lingkungan dengan risiko 0,872 kali
Dengan lebih besar dibandingkan
Kejadian perempuan.
Tuberculosis
di Kecamatan o Hasil analisis statistik
Semarang menunjukkan bahwa umur
Utara Tahun responden tidak
2011 mempunyai hubungan
bermakna dengan kejadian
TB Paru dan umur 15-55
tahun mempunyai risiko
terkena TB Paru
dengan risiko 0,667 kali
lebih besar dibandingkan
umur >55 tahun.

o Hasil analisis statistik


menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan
responden tidak
mempunyai hubungan
bermakna dengan kejadian
TB Paru dan
tingkatpendidikan dasar
mempunyai risiko terkena
TB Paru dengan risiko
0,579 kali lebih besar
dibandingkan tingkat
pendidikan lanjutan.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Distribusi Penyakit

Tuberkulosis sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah

diterapkan di banyak Negara sejak tahun 1995.20 Kejadian tuberkulosis tertinggi adalah di

Asia dan Afrika. India dan China merupakan penyumbang terbesar kasus tuberkulosis di

dunia yaitu sebesar 40%. Sebesar 60% kasus tuberkulosis tersebar di Asia Tenggara, dan

daerah Barat Pasifik. Afrika merupakan benua yang menyumbangkan 24% kasus

tuberkulosis di dunia, serta mempunyai kasus kematian perkapita tertinggi di dunia.18

Hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukan bahwa

penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 3 di dunia setelah penyakit

kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan pada kelompok usia dan nomor 1 dari

golongan penyakit infeksi.20 Penyerang TB menyerang sebagian besar kelompok usia

kerja produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah.21

Menurut laporan WHO tahun 2013, Indonesia menduduki peringkat ketiga di

dunia setelah India dan Cina dalam hal jumlah prevalensi kasus tuberkulosis secara

keseluruhan. Apabila melihat target yang ditetapkan pada Millenium Development Goals

(MDGs) bahwa pada tahun 2015 ditetapkan angka kematian yang disebabkan oleh

tuberkulosis menurun 50% sejak tahun 1990, pada tahun 2011 sudah tercapai penurunan

sebesar 41 % di selruh dunia.18


1. Morbiditas

 Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.7

 Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000

terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akanmenjadi sakit TB setiap

tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasienTB BTA positif. 7

 Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah

daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi

(gizi buruk). 7

 Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler

(cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi

TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang terinfeksi HIV

meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan

TB di masyarakat akan meningkat pula. 7

 Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 di mana 1,1 juta orang

(13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien

tersebut berada di wilayah Afrika. 7

2. Mortalitas

 Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR

dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia (WHO, 2013).5

 Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi

angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan

terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB

mencapai 410.000 kasus termasuk diantaranya adalah 160.000 orang wanita


dengan HIV positif. Separu dari orang dengan HIV positif yang meninggal karena

TB pada tahun 2012 adalah wanita (WHO, 2013).5

 Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus TB

secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB anak/tahun). Sedangkan kematian

anak dengan status HIV negatif yang menderita TB mencapai 74.000 kematian per

tahun atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan TB. 5

 Tjandra Yoga (2007) menyatakan bahwa di Indonesia setiap tahun ditemukan

582.000 penderita baru TB dengan angka kematian 41 orang /100.000 sebagian

besar penderita TB atau sebesar 75 % adalah penduduk usia produktif antara 15-

49 tahun.10

 Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit

yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetapi fakta juga menunjukan

keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insiden TB secara global

telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per

tahun pada tahun 2012), angka kematian pun sudah dapat diturunkan sebesar 45%

bila dibandingkan tahun 1990.5

4.2 Faktor Risiko (H-A-E)

1. Agent

Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang hidup sebagai parasit

intraselular dan berkembang biak di dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari

penderita ke orang lain melalui percik renik.15 M.tuberculosis berbentuk batang,

berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak membentuk spora dan termasuk bakteri

aerob.16 bakteri ini mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap

penghilangan warna dengan asam dan alcohol, sehingga isebut Basil tahan Asam
(BTA). Sebagian besar menyerang paru tetapi juga mengenai organ tubuh lain. Dalam

jaringan tubuh, kuman ini bersifat dormant (tertidur lama) selama beberapa tahun.20

2 Host (Pejamu)

o Faktor Sosial Ekonomi : Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan

hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk

dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan

penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak

dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan. 10

o Status gizi : Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi

dan Iain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan

terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang

berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. 10

o Umur : Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia

produktif 15-50 tahun . Dengan terjadinya transisi demografi saat ini

menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut

lebih dari 55 tahun sistem imunolosis seseorang menurun, sehingga sangat rentan

terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-paru. 10

o Jenis kelamin: Penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki

dibandingkan perempuan. Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO, sedikitnya

dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB

paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi

kematian yang disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat

proseskehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih

tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan
sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab

TB paru. 10

3. Environment (Lingkungan)

Menurut Tjandra Yoga (2007), TB juga mudah menular pada mereka yang

tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya

buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya

bisa bertahan selama 1-2 jam. 10

Berbagai masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan perumahan

masih sangat menonjol terutama yang berkaitan dengan masalah air bersih,

pembuangan kotoran manusia, pengelolaan sampah, kualitas udara dan pencahayaan

dalam rumah. Salah satu penyakit yang terkait dengan masalah perumahan adalah TB

(Depkes RI, 2005). 17

Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama pajanan, jumlah percik

renik, ukuran dan konsentrasi kuman mempengaruhi proses infeksi tuberkulosis.15

Luas ventilasi rumah dan pencahayaan memegang peranan penting dalam penyebaran

bibit penyakit, baik kuman yang sudah ada di dalam rumah maupun dibawa oleh

angina bersama debu-debu halus. Mycobacterium tuberculosis sangat peka terhadap

udara dalam ruangan kuman ini mampu bertahan bila suhu dan kelembaban udara

memungkinkan dan tidak bisa bertahan hidup bila terkena sinar matahari langsung

maupun udara yang panas (Wahyuni, 2005).17


4.3 Pencegahan (Primer, Sekunder dan Tersier)

1. Pencegahan Primer

Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara

 Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna

 Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur

 Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar.

 Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.

Kebersihan Lingkungan

 Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup

 Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan

 pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini

 Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang meningkatkan risiko

terjadinya infeksi, misalnya kepadatan hunian.8

2. Pencegahan Sekunder

 Case Finding : X-foto toraks yang dikerjakan secara massal, uji tuberkulin secara

Mountoux, dan bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TB

Paru yang tinggi dilakukan skrining dengan foto toraks, tes PPD, pemeriksaan BTA

dan kultur, bekerjasama dengan WHO.

 Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.

Penderita tuberkulosis yang baru didiagnosa, diberikan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) yang mempunyai efek sterilisasi sekaligus mempunyai efek yang dapat

mencegah pertumbuhan kuman-kuman resisten seperti isoniazid (H), rifampisis (R)

dan pirazinamid (Z).11


3. Pencegahan Tersier

 Membuat stategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan obat

efektif dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).

 Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi obat

etambutol karena jarang initial resitance terhadap INH. Streptomisin dapat dipakai

pada populasi tertentu untuk meningkatkan complance pengobatan.

 Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka waktu 9-12

bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah pengobatan).10


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh bakteri Myobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang paru-paru, tetapi

dapat juga menyerang organ atau bagian tubuh lainnya (misalnya tulang, kelenjar,

kulit, dll). Penularan tuberkulosis terjadi karena kuman dibatukan atau

dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Pencegahan

yang paling utama adalah dengan melakukan imunisasi aktif, melalui vaksinasi

Basil Calmette Guerin (BCG). Dan melakukan promosi kesehatan untuk

meningkatkan status kesehatan masyarakat.

Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan

berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS (Directly

Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization (WHO)

merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS

5.2 Saran

Tuberculosis menjadi penyakit infeksi yang banyak terjadi di Negara

berkembang Indonesia. Bangsa ini harus siap dengan berbagai program nasional

pengendalian TB yang pelaksanaanya dibutuhkan partisipasi dari semua elemen

baik pemerintah atau pemangku kebijakan maupun masyarakat khususnya

mahasiswa sebagai agent of change dan social control. “Mencegah lebih baik dari

pada mengobati.” Cegahlah penyakit TB dengan perilaku hidup bersih dan sehat

serta menjaga sanitasi lingkungan serta berobat teratur dan minum OAT bagi

penderita TB.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adistha Eka Noveyani, Santi Martini. Evaluasi Program Pengendalian Tuberkulosis

Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Tanah Kalikedinding Surabaya. Jurnal

Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 2 Mei 2014: 251–262

2. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jendral Bina Kefarmasian

dan Alat Kesehatan Depkes RI. Pharmaceutical Care untuk Penyakit

Tuberkulosis.Jakarta

3. Retno Asti Werdhani. Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosisi.

Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga FKUI

4. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI.2009. Buku

Saku Program Penanggulangan TB.Jakarta

5. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.2014. Pedoman Nasional

Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

6. Farida, Eddy Syahrial, Lita Sri handayani.2013. Gambaran Peran Keluarga terhadap

Penderita TBC di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Datar Kecamatan Hamparan

Perak Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

7. Pedoman Nasional Pengendalian TB Kementerian Kesehatan 2009

8. Chris W Green. 2006. HIV dan TB. Jakarta : Yayasan Spiritia

9. Strategi Nasional Pengendalian TB (2010-2014) Kementrian Kesehatan Dirjen P2PL

RI 2011 .

10. Helper Sahat P Manalu, 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB

Paru dan Upaya Penanggulangannya. Peneliti pada Puslitbang Ekologi & Status

Kesehatan. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 – 1346

11. Depkes RI.Faktor Budaya Malu Hambat Pencegahan PenyakitTuberkulosis. Jakarta:


Media Indonesia; 2001.

12. Anitasari S. Hiv-Aids Dan Tuberkulosis Rongga Mulut. Jurnal Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta2011;38

13. Yesi Ariani, Cut Devi Isnanda. Hubungan Pengetahuan Penderita Tuberkulosis

Paru dengan Kepatuhan dalam Program Pengobatan Tuberkulosis Paru di

Puskesmas Teladan Medan. Staf Dosen keperawatan Medikal Bedah Fak.

Keperawatan USU Mahasiswa Keperawatan Fakultas Keperawatan USU)

14. Nakaoka et al. (2006). Penelitian tentang risiko tuberkulosis anak.

15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional : Penanggulangan

tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14

16. PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru

17. Irma Prasetyowati, Chatarina Umbul Wahyuni. 2009. Hubungan Antara

Pencahayaan Rumah, Kepadatan Penghuni dan Kelembaban, dan Risiko Terjadinya

Infeksi Tb Anak SD di Kabupaten Jember

18. Sri Andarini Indreswari, Suharyo. Diagnosis Dini Tuberkulosis pada Kontak

Serumahdengan Penderita Tuberkulosis Paru melalui Deteksi Kadar IFN-

19. Rikha Nurul Pertiwi, M.Arie Wuryanto, Dwi Sutiningsih. 2012. Hubungan Antara
Karaktersistik Individu, Praktik Hygene dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian

Tuberculosis di Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011

20. Prof. DR.dr.Hj.Myrnawati. 2004. Buku Ajar Epidemiologi. Jakarta : Bagian Ilmu

Kesehatan FK YARSI

Das könnte Ihnen auch gefallen