Sie sind auf Seite 1von 20

OK

NIM : 043
BAB I
PENDAHULUAN

Kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999


tentang Pemerintahan Daerah merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan
memenuhi tuntutan reformasi akan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya
pemberdayaan daerah. Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan di sini bahwa inti dari
Otonomi Daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Demokratisasi yang ingin
dimunculkan adalah dalam upaya mewujudkan good governance. Dengan otonomi daerah
dapat mengubah perilaku sebagian masyarakat Indonesia yang sebelumnya hanya terfokus
pada pemerintah pusat.
Upaya perwujudan good governance, sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka
demokratisasi dan pembatasan kekuasaan, dikenal adanya prinsip pemisahan kekuasaan, baik
secara horizontal maupun vertical. Di dalam hal kaitannya dengan otonomi daerah yaitu
dengan adanya kesetaraan hubungan pusat dan daerah. Walaupun pemerintah pusat memiliki
kewenangan lebih dari berbagai urusan, tetapi pemerintah daerah juga mempunyai hak untuk
mengurus dan mengatur kepentingan daerahnya sendiri. Sebab, pemerintah daerah lebih
paham dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari daerah tersebut. Terhadap hak yang
dimiliki daerah itu, maka aspirasi dan kepentingan daerah akan mendapat perhatian dalam
setiap pengambilan kebijakan oleh pemerintah pusat. Pengambilan kebijakan tersebut
menjadikan pemerintah daerah merepresentasikan bentuk desentralisasi dari pemerintah pusat
dan sekaligus menjadi landasan demokrasi daerah.
Secara teoritis maupun praktek, penyelenggaraan fungsi pemerintahan tidak
dilaksanakan secara desentralisasi semata, tetapi tetap mengkombinasikan antara asas
desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan.
Asas-asas tersebut guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari
KKN. Good governance diharapkan tampil dengan susunan organisasi pemerintahan yang
sederhana, agenda kebijakan yang tepat, pembagian tugas kelembagaan yang jelas,
kewenangan yang seimbang, personel yang profesional, prosedur pelayanan publik yang
efisien, kelembagaan pengawasan yang mantap dan sistem pertanggungjawaban yang
tegas. Terhadap reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia, menyebabkan kewenangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi semakin jelas. Dari penjelasan ini bukan
berarti Indonesia menjadi negara liberal dimana swasta memiliki kebebasan yang luar biasa
dalam negara. Namun negara menjadi pengayom rakyat, dimana negara mempunyai tujuan
yaitu untuk mensejahterakan rakyat. Era otonomi daerah bukan merupakan ancaman bagi
upaya pengembangan industri dan perdagangan, namun sebaliknya justru memberikan
kesempatan dan dukungan bagi pengembangan perindustrian dan perdagangan. Dengan
kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya
terbuka kesempatan untuk mengembangkan perindustrian dan perdagangan secara optimal di
daerah.
Di era otonomi daerah sejalan dengan kewenangan yang dimiliki Daerah
pengembangan industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada kelompok
usaha kecil, menengah dan koperasi, karena pada umumnya setiap daerah memiliki kelompok
usaha jenis tersebut. Dengan kewenangan yang dimiliki Daerah tersebut setiap daerah akan
berupaya melakukan pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi
untuk mendukung pengembangan industri dan perdagangan sesuai dengan kondisi potensi
dan kemampuan masing-masing daerah.
Dalam melaksanakan Pelayanan Publik perlu adanya penerapan Good governance.
Good governance merupakan istilah yang popular. Konsep Good governance muncul
dikarenakan kurang efektifnya kinerja aparatur pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai
penyelenggara urusan public. Good governance berasal dari induk bahasa eropa yaitu
gubernare dan diadopsi oleh bahasa inggris menjadi govern dengan makna steernatau atau
biasa disebut dengan menyetir atau mengendalikan (Nugroho, 2003). Jika dikaitkan dengan
tata kelola Pemerintahan maka Good governance adalah suatu gagasan dan nilai yang
mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat sehingga
terjadi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan
dasar atau landasan UUD 1945 untuk membentuk suatu masyarakat yang makmur, sejahtera
dan mandiri. Birokrasi pemerintah menempati posisi yang penting dalam pelaksanaan
pembangunan karena merupakan salah satu instrument penting yang akan menopang dan
memerlancar usaha-usaha pembangunan. Berhasilnya pembangunan ini memerlukan system
dan aparatur pelaksana yang mampu tanggap dan kreatif serta pengelolaan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip manajemen modern dalam sikap perilaku dan kemampuan teknisnya
termasuk di dalamnya adalah memberikan pelayanan yang efektif kepada masyarakat. Karena
pelayanan yang efektif akan memperlancar jalannya proses pembangunan. Hal tersebut tidak
lepas dari penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang perubahan UU No. 22 Tahun 1999 dimana
pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan selasnya untuk mengatur urusan
kepemimpinan dan perekonomian daerah. Sehingga pemerintah kabupaten/kota berlomba-
lomba untuk menggali dan memanfaatkan potensi daerahnya demi mendongkrak dan
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan adanya Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 24 Tahun 2006 mengenai pedoman penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP) serta Panduan Nasional Permendagri tersebut yang diluncurkan bulan Mei
2007, semakin mendorong daerah untuk segera memiliki PTSP atau meningkatkan PTSP
yang sudah ada. Demikian pula, dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor
41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, sebagai Pengganti PP 08/2003 dapat
memberikan pertimbangan bagi daerah dalam memilih jenis lembaga untuk pelaksanaan
PTSP.
Berdasarkan pada Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan
Lembaga Teknis Daerah Kota Samarinda (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2008
Nomor 12). Atas Perda tersebut, maka dibentuklah Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu
Pintu yang selanjutnya disebut BPPTSP. Agar tercapainya Pelayanan yang terpadu
pemerintah kota dalam penyelenggaraannya berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di daerah. Pengaturan Tugas
pokok Lembaga Teknis Daerah berbentuk BPPTSP sebagaimana diatur dalam pasal 52
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis
Daerah Kota Samarinda adalah menyelenggarakan Pelayanan Administrasi dibidang
perizinan secara terpadu, namun Kota Samarinda mulai menjalankan progam Pelayanan
Terpadu Satu Pintu berawal sejak 2009 hingga sekarang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Good Governance dan Otonomi Daerah

1. Good Governance
Good governance sering diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik atau
disebut juga dengan istilah civil society. Good governance bisa juga didefinisikan sebagai
suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang
sejalan dengan demokrasi (pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat).
Tuntutan untuk mewujudkan good governance sudah menjadi salah satu isu penting di
Indonesia sejak terjadinya krisis finansial yang terjadi pada tahun 1997 s.d. 1998. Krisis
tersebut kemudian meluas menjadi krisis multidimensi dan telah mendorong arus balik yang
menuntut reformasi dalam penyelenggaraan negara termasuk pemerintahannya. Salah satu
penyebab terjadinya krisis multidimensi tersebut adalah karena buruknya/salahnya
manajemen dalam penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance) yang diindikasikan
oleh beberapa masalah, diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Dimensi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi
sulit dilakukan.
b) Terjadinya tindakan KKN; dan
c) Rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di
berbagai bidang.

2.       Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan
pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan
pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah
"wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk
kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah
wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk
kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan
pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang
sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi
kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan
kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. bidang-bidang tersebut tetap
menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip
demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? mengapa dalam era otonomi
daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? sebagaimana dinyatakan bank dunia,
angka kemiskinan di indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti
otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya
otonomi daerah di indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan
paradikmatik-empirik. tahun 1998, masyarakat indonesia merasakan kemuakan atas
pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih
menjanjikan kebebasan. realitasnya, setelah masyarakat indonesia berada dalam era otonomi
daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu
memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi
daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem.

A.    Dasar Hukum            
Otonomi daerah berpijak pada dasar perundang-undangan yang kuat, yakni :
1. Undang-Undang Dasar
Sebagaimana telah disebut di atas undang-undang dasar 1945 merupakan landasan
yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah. pasal 18 uud menyebutkan
adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
2. Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. xv/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah :
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan kekuangan pusat dan daerah dalam rangka negara kesatuan
republik indonesia.
3. Undang-Undang
Undang-undang No.22/1999 tentang pemerintahan daerah pada prinsipnya mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas
desentralisasi. hal-hal yang mendasar dalam UU no.22/1999 adalah mendorong untuk
pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan
peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa
pelaksanaan otonomi daerah memiliki dasar hukum yang kuat. tinggal permasalahannya
adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan otonomi daerah bisa
dijalankan secara optimal.
B.     Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 uud 1945 beserta penjelasannya menjadi
pedoman dalam penyusunan uu no. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1) Sistim ketatanegaraan indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka negara kesatuan
republik indonesia.
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah
kabupaten dan daerah kota. daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang
untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
3) Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. dengan demikian,
wilayah administrasi yang berada dalam daerah kabupaten dan daerah kota dapat dijadikan
daerah otonom atau dihapus.
4) Kecamatan yang menurut Undang-Undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi
dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat
daerah kabupaten atau daerah kota.

C.    Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah


Berdasar pada uu no.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai
berikut :
1)Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan
daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi terbatas.
4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6) Kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain seperti badan otorita,
kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru,
kawasan wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
7) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
8) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu
yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
9) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah daerah
kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada
yang menugaskan.

D.    Empat Problem Otonomi Daerah


1.    Pertama, Pudarnya Negara Kesatuan.
Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya.
namun di indonesia, apakah faktanya memang demikian? kenyataannya sangat jauh dari itu.
bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-
partai. realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka.
undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan
partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. ini
membuat indonesia seperti mempunyai banyak presiden. walaupun para pimpinan partai
tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang
didukung partai mereka.
2.    Kedua, Lemahnya Jalur Komando.
Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota.
sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah.
di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan
dukungan politik partai. seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota
berasal dari partai yang berbeda. kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando
dari pusat ke daerah menjadi terputus. kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan
seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak
program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. alasan menkes siti fadilah supari
terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen
kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan
(sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. realitasnya nkri
sekarang telah tiada. yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di indonesia.
3.    Ketiga, Semakin Kuatnya Konglomeratokrasi.
Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di indonesia terasa sangat ironis jika
melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. partai dan perusahaan umumnya bersifat
sentralistis. pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi.
dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. ini membuat partai dan
perusahaan di indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. partai dan perusahaan lebih
terasa sebagai suatu “pihak”. ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai
“kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. dengan melihat bahwa pemerintahan
di indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai
butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa
disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek
atas pemerintah. ini berarti yang berkuasa di indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa indonesia sangat
tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara
(sebagaimana dinyatakan prof. hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang
49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan warren buffet, orang terkaya
di dunia, di atas apbn indonesia). bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan
dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh voc (sebuah
perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah
terpecah” menghadapi puluhan voc baru yang kekuatannya di atas negara? dari fakta ini saja
sangat bisa dipahami mengapa indonesia berada dalam cengkeraman
korporatokrasi/konglomeratokrasi.
4.    Keempat, Terabaikannya Urusan Rakyat.
Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa
mengurus dirinya sendiri. pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan
walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol dprd
setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga dprd mempunyai realitas yang sama dengan para
pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. ini
berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.
Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah
ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. padahal, seringkali hitungan korporasi
tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. dengan ukuran pendapatan per kapita (angka
yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di indonesia mempunyai pendapatan per
kapita di atas rp.18 juta per tahun (rp. 1,5 juta/bulan atau rp. 6 juta / keluarga). itu berarti
banyak keluarga di indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor.
kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan
kesejahteraan). indonesia memang negeri yang sangat aneh. berbagai bentuk iklan semakin
megah dan meriah. tapi jalan-jalan semakin berlubang.
Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan
antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di indonesia. dengan otonomi,
harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. kenyataannya, sentralisasi
lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan
korporasi/konglomerasi internasional.

2.2. Kaitan Otonomi Daerah dengan Good Governance


            Dalam pelaksanaan “otonomi daerah”, salah satu kelemahan yang dihadapi adalah
standar penilaian kinerja pemerintahan, orientasi teoretis paradigmatis mengarah pada
birokrasi klasik yang mengutamakan cara (means) daripada tujuan (ends). Seharusnya di era
otonomi daerah ini orientasi kinerja pemerintahan mengikuti paradigma reinventing
government atau post bureaucratic yang mengutamakan kinerja pada hasil akhir atau tujuan
atau visi organisasi dan bukan pada mendanai input dan menjalankan proses (lihat gaebler
dan osborne 1992). Pada saat ini tuntutan akan terselenggaranya good governance semakin
mendesak untuk diakomodasikan dalam standar penilaian kinerja pemerintahan. Dalam
rangka otonomi daerah nilai good governance dapat diketahui sebagai kunci utama
karena nilai-nilai terkandung dalam menekankan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas
pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah.
Proses ini membutuhkan penerapan prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan
terpadu. Adapun prinsipprinsip good governance adalah:
1.        Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan
pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar
setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka
mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi
agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan
umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk
merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk
menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif
dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
2.        Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua
pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi ham dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Berdasarkan kewenangannya, pemerintah daerah harus mendukung
tegaknya supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan
perundangundangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Di samping itu pemerintah daerah perlu mengupayakan adanya peraturan daerah
yang bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah
daerah, dewan perwakilan rakyat daerah (dprd) maupun masyarakat perlu menghilangkan
kebiasaan yang dapat menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme (kkn).
3.        Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh
informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah
daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang
disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur
komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi
lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan
informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat
ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama
waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai
kepada masyarakat.
4.        Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjamin agar
kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung, seperti mereka yang miskin dan lemah,
tetap terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu diberikan
kepada kaum minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan
disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum minoritas baik dalam
lembaga eksekutif dan legislatif.
5.        Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap
aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah daerah perlu membangun jalur komunikasi
untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa
forum masyarakat, talk show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan
masyarakat, pemerintah daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara
periodik mengumpulkan pendapat masyarakat.
6.        Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan
mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa
memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya. Tujuan penyusunan visi
dan strategi adalah untuk memberikan arah pembangunan secara umun sehingga dapat
membantu dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi yang
dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka dan transparan, dengan
didukung dengan partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, serta
kalangan dunia usaha. Pemerintah daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum
konsultasi masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh
masyarakat.
7.        Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala
bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada
semua tingkatan harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja
kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator
yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan
apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
8.        Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat
luas. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu memberi peluang bagi
masyarakat dan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi,
dan pengawasan kerja, sesuai bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan adanya
auditor independen dari luar dan hasil audit perlu dipublikasikan kepada masyarakat.
9.        Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat
dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab.
Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung mekanisme
penganggaran serta pengawasan yang rasional dan transparan. Lembagalembaga yang
bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus menginformasikan tentang biaya dan jenis
pelayananya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakanteknik manajemen modern untuk
administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai
tingkat keluruhan/desa.
10.    Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan
agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional yang dapat efektif memenuhi kebutuhan
masyarakat. Ini perlu didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif, sistem
pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian, promosi, dan penggajian
staf yang wajar. Penerapan otonomi daerah dengan mengacu pada prinsip-prinsip good
governance tersebut difasilitasi oleh pemerintah pusat dengan meningkatkan alokasi anggaran
penerimaan dan belanja negara (apbn) yang disalurkan ke daerah. Secara umum, sumber
pendapatan daerah terutama berasal dari:
1)      Dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus (dak) dan
Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam
2)      Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan retribusi daerah.
Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh dana
perimbangan. Dana perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat sejak
digulirkan pada tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal maupun dari persentasenya
terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan Pendapatan Domestik Neto (PDN).
menunjukkan pekembangan dana perimbangan tahun 2003-2006. Dau adalah komponen dana
perimbangan yang paling besar. Dau merupakan transfer dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang berbentuk block grant. Dau dihitung berdasarkan formula
kesenjangan fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak tahun
2001, formula dau telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula dau untuk tahun 2006
disusun berdasarkan uu no. 33/2004 ditunjukkan oleh gambar 1. Dau masih menjadi sumber
utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata, persentase dau terhadap apbd berkisar
antara 70-80 persen.
Dana perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). Dak merupakan
dana yang bersumber dari apbn yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan
untuk Membantu daerah dalam membiayai:
Kebutuhan khusus (UU No. 25 tahun 2000 dan pp no. 104 tahun 2000)
Kegiatan khusus (UU No. 33 tahun 2004, pp no. 55 tahun 2005, dan nota keuangan dan rapbn
2006)
DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai dari dana
tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Hal-hal yang
termasuk kebutuhan khusus yaitu:
Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi umum dan/atau
kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
Kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil.

2.3. Hubungan antara good governance dengan otonomi daerah


Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan
pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum,
transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 tahun 2004
telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang
diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen
penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama
lainnya, yaitu :
1.      Urusan pemerintahan
2.      Kelembagaan
3.      Personil
4.      Keuangan
5.      Perwakilan
6.      Pelayanan public
7.      Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan
serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 tahun 2004. Namun disamping penataan
terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang
akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan
nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di indonesia secara keseluruhan yaitu penataan
otonomi khusus nad, dari papua penataan daerah dari wilayah perbatasan, serta
pemberdayaan masyarakat.setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-
langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari
mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang
ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian good governance rakyat sangat berperan, dalam
pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran
negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas.
Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang
sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang
menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami
kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk
mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala
daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU No. 25 tahun 1999). Peraturan daerah
pun telah masuk dalam tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (uu no 10 tahun
2004), pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran
pemerintahan diatur dalam pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas
dilaksanakan dengan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada dprd, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh
yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata.
Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 tahun 1999 dimana
penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh dprd seringkali tidak
berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada
indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan
daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka
stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh
masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: pemberian
informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah
daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan,
penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau
instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak
memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat
yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat
dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung
tombak pelaksanaan konsep good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di
indonesia.

2.4. Optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah melalui good governance


            Good Governance dapat ditinjau sebagai bentuk pergeseran paradigma
konsep goverment (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan). Secara
epistemologis, perubahan paradigma goverment berwujud pada pergeseran Mindset dan
orientasi birokrasi sebagai unit pelaksana dan penyedia layanan bagi masyarakat, yang
semula birokrat melayani kepentingan kekuasaan menjadi birokrat yang berorientasi pada
pelayanan publik.
            Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban regulasi yang dapat menciptakan
suasana yang kondusif bagi masyarakat. Akan tetapi, sebelum lebih jauh kita  menelaah kiat-
kiat dalam menciptakan regulasi yang kondusif, tidak ada salahnya apabila kita memulainya
dengan memahami terlebih dahulu beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik.
            Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik dengan pemerintahan yang
mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi fakir
miskin, menyediakan sembako murah, memberikan iklik investasi yang kondusif dan
bermacam kebaikan lainnya. Dengan kata lain, pemerintah dianggap baik apabila ia mampu
melindungi dan melayani masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan umum
yang berkualitas merupakan ukuran untuk menilai sebuah pemerintahan yang baik,
sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan  pemerintahan  yang miskin
inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (Bad
Governance).
            Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat dengan masalah pengelolaan
manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan Stake Holder (pemangku
kepentingan). Oleh karena itu, good governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang
cara memperkuat hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa
kesetaraan. Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang
harus ada. Sebab, hubungan yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat
menghambat kelancaran proses pembangunan.

BAB III
PEMBAHASAN

Analisis Penerapan Prinsip Good Governance di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu


Satu Pintu di Kota Samarinda
 Partisipasi
Partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pemerintah diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat lebih
mengenal warganya berikut cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya,
cara atau jalan keluar yang disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya dan sebagainya.
Dalam hal ini banyaknya kritik dan saran yang masuk mempengaruhi proses penyusunan
dan pengambilan keputuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Hal
tersebut sangat penting mengingat masyarakat merupakan objek dari penyelenggaraan
layanan publik. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat yang menilai secara langsung
dari kualitas layanan tersebut. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat berarti kebijakan
yang dihasilkan murni keinginan dan kebutuhan masyarakat sehingga akan terbina hubungan
yang harmonis diantara keduanya.
Penerapan prinsip partisipasi dalam pelayanan publik di Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu Kota Samarinda bisa dilihat dari peranan masyarakat yang ikut serta
dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Seperti keterlibatan masyarakat dalam
menilai dan mengevaluasi kualitas pelayanan public.
Dengan penyediaan saluran komunikasi masyarakat seperti kotak kritik dan saran,
website resmi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Samarinda, Indeks
Kepuasan Masyarakat, serta penyediaan saluran komunikasi masyarakat agar dapar
mengutarakan pendapatnya, secara tidak langsung partisipasi di Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu di Kota Samarinda telah terlaksana.
 Penegakan Hukum
Adanya jaminan hukum bagi masyarakat, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan
bebas dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan kepercayaan yang perlu kita
berikan berupa keamanan fisik, financial dan kepercayaan pada diri sendiri.
Rule of law atau aturan hukum dapat dinilai berdasarkan : yang pertama, adanya penegakan
hukum secara utuh dalam berbagai aspek pemerintahan daerah, kedua, adanya peraturan
hukum serta perundang-undangan yang jelas dan tegas serta yang mengikat seluruh aparat
pemerintahan daerah tanpa terkecuali, dan terakhir adanya lembaga peradilan dan hukum
yang kredibel dan bebas KKN.
Dapat dikemukakan bahwa penerapan prinsip rule of law atau aturan hukum di Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu di Kota Samarinda telah mencapai tingkat rata-rata
atau cukup baik. Realitas ini sesuai dengan hasil wawancara terhadap staff yang menyatakan
bahwa penerapan prinsip aturan hukum telah diupayakan dengan dilakukannya penegakan
hukum yang dilakukan oleh oknum tertentu dan pelayanan kepada masyarakat selalu
dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
Faktor-faktor yang mendukung antara lain adanya dukungan dari pemerintah
penyelenggara serta adanya koordinasi terkait meliputi lembaga hukum dan peradilan serta
unsur masyarakat lainnya dan adanya peraturan hukum serta sanksi yang diterapkan secara
tegas dan tidak memihak.
 Transparansi
Segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan seperti persyaratan, biaya dan waktu
yang diperlukan, cara pelayanan serta hak dan kewajiban penyelenggaraan dan penggunaan
layanan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah dipahami oleh masyarakat. Untuk
mengukur tingkat transparansi pelayanan publik dapat dilihat dari tiga aspek.
Pertama adalah mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaran pelayanan publik.
Kedua yaitu menunjuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat
dipahami oleh pengguna layanan. Kemudian yang ketiga adalah kemudahan untuk
memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik.
Bagan Alur yang telah disediakan cukup membantu dan memudahkan masyarakat dalam
memahami prosedur pelayanan. prinsip transparansi yang diterapkan di Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Samarinda telah terlaksana dengan baik. Namun
kurangnya penjelasan mengenai tindaklanjut berkas yang kurang lengkap kepada masyarakat
menyebabkan terjadinya kesalahpahaman pada masyarakat.
Segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan seperti persyaratan, biaya dan waktu
yang diperlukan, cara pelayanan, serta hak dan kewajiban penyelenggaraan dan penggunan
layanan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah dipahami oleh masyarakat, maka
praktek pelayanan ini dapat dinilai memiliki transparansi yang baik.
 Akuntabilitas
Dengan adanya akuntabilitas, maka proses pelayanan publik di Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu di Kota Samarinda harus berjalan sesuai dengan aturan yang
ada. Akuntabilitas yang baik akan bermuara kepada pelayanan yang berkualitas. Dengan
begitu akuntabilitas menjadi prasyarat demi terwujudnya kepemerintahan yang baik atau
good governance.
Dengan demikian pertanggung jawaban merupakan bentuk akuntabilitas pemerintah,
dimana aparatur pemerintah harus mempertanggung jawababkan pelaksanaan kewenangan
yang diberikan di bidang tugasnya. Akuntabilitas terutama berkaitan erat dengan pertanggung
jawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan atau
program yang telah ditetapkan. Dengan adanya tanggung jawab kepada pemerintah atas
kinerja pegawai Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu di Kota Samarinda maka
dapat menjadi fungsi control pemerintah sehingga nantinya diharapkan akan timbulnya
kepercayaan dari masyarakat.
Dengan demikian prinsip akuntabilitas dalam pelayanan publik di Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Samarinda telah berjalan dengan baik. Standar
Operasional Prosedur yang ada telah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Bentuk
pertanggungjawaban khususnya terhadap waktu dan biaya pelayanan untuk menjamin
masyarakat telah diwujudkan dengan baik.
 Efektivitas dan Efisiensi
Efektivitas dan efisiensi dapat diartikan sebagai perbandingan yang terbaik antara input
dan outout. Efektivitas dan efisiensi pelayanan dapat diukur dari waktu, biaya dan tenaga
yang digunakan untuk menyelesaikan suatu bentuk pelayanan publik. Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Samarinda sebagai instansi teknis Pemerintah Kota
Samarinda dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat prosedur dan tata cara
pelayanan telah diatur dan ditentukan sedemikian rupa agar dalam pelaksanaan pelayanannya
dapat terukur, sehingga dalam prosedur pelayanannya dibuat sesederhana mungkin.
Prinsip efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan publik di Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu Kota Samarinda telah diterapkan dengan baik. Komitmen Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Samarindauntuk mewujudkan pelayanan
publik yang efisien dibuktikan dengan kebijakan yang sangat membantu dan memudahkan
masyarakat. Kecepatan waktu dan kesederhanaan prosedur membuat masyarakat dapat lebih
menghemat waktu, biaya dan tenaga dalam proses pengurusan dokumen.
Dengan begitu, kualitas pelayanan yang diharapkan masyarakat tidak mustahil untuk
diwujudkan. Daya Tanggap Responsivitas merupakan kemampuan pemerintah untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda prioritas, dan mengembangkannya ke
dalam program-program yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena
itu responsivitas menunjuk pada kesesuaian antara program dan kegiatan yang ada dengan
aspirasi atau kebutuhan masyarakat.
Responsivitas juga dapat diukur dari sejauh mana daya tanggap petugas pelayanan dalam
merespon kebutuhan ataupun keluhan masyarakat. Daya tanggap petugas Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu di Kota Samarinda terhadap masyarakat cukup baik namun
perlu ditingkatkan lagi. Petugas sebagai pengendalian dan fasilitator dalam menyediakan
pelayanan perizinan diharapkan agar lebih peka lagi dalam mendengarkan dan menanggapi
permintaan maupun keluhan dari masyarakat. Faktor Pendukung Penerapan Prinsip Good
Governance di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu di Kota Samarinda 1. Sumber
Daya Manusia (SDM), 2. Sarana dan Prasarana Sarana, 3. Partisipasi Peranan masyarakat, 4.
Penegakan Hukum
BAB IV
KESIMPULAN

Gagasan otonomi daerah memiliki kaitan sangat erat dengan demokratisasi kehidupan
politik dan pemerintahan di daerah. Agar otonomi daerah dapat berjalan seperti apa yang
dicita-citakan, maka daerah harus memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sebagai suatu sistem negara kesatuan. Dalam hal ini demokrasi yang
berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Bukan seperti di negara lain yang secara
jelas mengedapkan demokrasi liberal. Dimana pasar lebih banyak berperan dalam negara
dibanding pemerintah. Meskipun dalam praktiknya negara juga menggunakan kekuasaanya
dalam mengatur pasar. Dengan diberlakukannya otonomi daerah yang menggunakan asas
desentralisasi, bukan berarti daerah bisa secara bebas menentukan apa yang menjadi
keinginan daerah. Keinginan daerah itu bisa terwujud dengan adanya kebijakan dari
pemerintah pusat. Kebijakan yang dibuat terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang ramah
terhadap pasar. Demokrasi di Indonesi bukan demokrasi yang bebas namun menjunjung
tinggi keadilan masyarakat dan kesejahteraan rakyat.
1.  Good governance menjadi tolak ukur dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Terselenggaranya good governance menjadi syarat mutlak dalam mewujudkan aspirasi
masyarakat untuk mencapai tujuan dan cita-cita bangsa. Tujuan dan cita-cita tersebut
setidaknya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dari good governance sebagai
implementasi dari kebijakan pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a)      Partisipasi
b)      Penegakan Hukum
c)      Transparansi
d)     Kesetaraan
e)      Daya tanggap
f)       Wawasan kedepan
g)      Akuntabilitas
h)       Pengawasan
i)         Efisiensi dan efektifitas Profesionalisme

2.      Good Governance dala Otonomi Daerah


Pemberlakuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam otonomi sudah
sangat lama, yaitu sejak tahun 2001 (menggunakan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah) dan pada tahun 2004 (menggunakan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 sebagai revisi Undang-undang sebelumnya) sampai sekarang. Dalam dua
Undang-undang tentang Pemerintah Daerah tersebut telah diberlakukan sistem desentralisasi
sebagai konsekuensi terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lalu yaitu
sistem kebijakan sentralistik. Dengan adanya perubahan sistem kebijakan ini, pemerintah
daerah mempunyai kewenangan besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan
kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dalam
perwujudan otonomi darah tersebut harus dibarenagi dengan sistem pemerintahan yang baik
dan bersih dari KKN. Maka terhadap pergeseran kekuasaan tersebut aspirasi rakyat dan
kebutuhan rakyat di daerah dapat terealisasikan sesuai dengan amant Undang-Undang.
Masyarakat dilibatkan untuk menilai dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik.
Dengan penyediaan saluran komunikasi masyarakat seperti kotak kritik dan saran, website
resmi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Samarinda, Indeks Kepuasan
Masyarakat, serta penyediaan saluran komunikasi masyarakat agar dapar mengutarakan
pendapatnya. Secara tidak langsung partisipasi di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu
Pintu di Kota Samarinda telah terlaksana. Juga dari dilibatkannya masyarakat dalam menilai
kinerja pelayanan dengan adanya kuesioner untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat.
Selain itu dengan upaya-upaya perbaikan pelayanan yang dilakukan di Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Samarinda yang didasarkan atas saran dan kritik yang
masuk dari masyarakat tersebut membuktikan bahwa penerapan good governance prinsip
partisipasi sudah berjalan dengan baik.

Aturan hukum telah ditegakkan secara utuh dalam berbagai aspek dan didukung oleh
peraturan-peraturan hukum dan perundang-undangan yang mengikat aparat pemerintahan
tanpa terkecuali. Dengan diberikannya sanksi yang sesuai terhadap masyarakat maupun
oknum yang melanggar aturan perizinan tersebut. Adanya koordinasi terkait meliputi
lembaga hukum dan peradilan serta unsur masyarakat lainnya dan adanya peraturan hukum
serta sanksi yang diterapkan secara tegas dan tidak memihak. Selain itu dari adanya jaminan
hukum bagi masyarakat, serta adanya usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas dari
adanya bahaya, resiko dan keraguraguan merupakan bentuk dari nilai-nilai atas norma sosial
di masyarakat. Jaminan kepercayaan yang perlu diberikan berupa keamanan fisik, financial
dan kepercayaan. Kemudian dapat diketahui dari kepercayaan timbal-balik antara pemerintah
dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Keadilan juga dapat diartikan sebagai
perlakuan yang sama kepada semua masyarakat tanpa memandang atribut yang menempel
pada subjek tertentu
DAFTAR PUSTAKA
 1999. Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah , 2006.
 Peraturan Mentri Dalam Negeri No 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. , 2007.
 Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. ,
2008.
 Peraturan Daerah Kota Samarinda No 12 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah Kota Samarinda , 2008.
 Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Teknis Daerah Kota Samarinda.
 Moenir, 2001, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.
 Sinambela, LijanPoltak. 2006. Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta. PT. Bumi Aksara

Das könnte Ihnen auch gefallen