Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
II. PEMBAHASAN
Di dalam keadilan terdapat aspek filosofis yaitu norma hukum, nilai, moral,
dan etika. Keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi
hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur
sistem hukum positif. Tanpa keadilan sebuah aturan tidak pantas menjadi
hukum. Namun di sisi lain, pemikiran kritis memandang bahwa keadilan
tidak lain hanya sebuah fatamorgana, seperti orang melihat langit yang
seolah-olah kelihatan akan tetapi tidak pernah menjangkaunya, bahkan
juga tidak pernah mendekatinya. Walaupun harus diakui bahwa hukum
tanpa keadilan akan terjadi kesewenang-wenangan. (Satjipto
Rahardjo,2006:19)
Sebuah pemilu akan sah memperoleh legitimasi (kepercayaan rakyat)
jika dilaksakan secara adil. Pemilu yang adil ialah salah satu kewajiban
konstitusional yang dimmuat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Konstitusi tidak memberi panduan lebih luas terkait bagaimana pemilu
yang adil. Oleh sebab itu, menelaah landasan filosofis pemilu menjadi
begitupenting guna merumuskan tolak ukur adil atau tidaknya pemilu.
( Jurnal Cita Hukum)
Berasarkan standar yang dirumuskan oeh IDEA konsep keadilan
pemilu atau electoral justice mencakup cara dan mekanisme yang
tersedia di suatu negara tertentu. Komunitas lokal atau di tingkat regional
atau internasional untuk menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan
keputusan terkait dengan kerangka hukum, melindungi atau memulihkan
hak pilih, dan memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih
mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti
persidangan, dan mendapatkan putusan. (Centre for Electoral Reform,
2010:5)
Dengan demikian, keadilan pemilu dikonsepsikan sebagai kondisi
di mana
seluruh prosedur dan tindakan penyelenggara dilakukan sesuai regulasi
pemilu.
Pada saat yang sama, regulasi pemilu juga menyediakan mekanisme
pemulihan terhadap hak pilih dilanggar. Kerangka hukum pemilu mesti
mengatur prosedur penyelesaian pelanggaran yang terjadi prasyarat
mewujudkan keadilan pemilu dapat dipenuhi.
Adapun Ramlan Surbakti berpandangan, keadilan pemilu tidak
hanya terbatas pada tersedianya kerangka hukum pemilu semata,
melainkan juga mencakup kesetaraan hak pilih, badan penyelenggara
yang independen, integritas pemungutan suara, dan penyelesaian
pelanggaran atau sengketa tepat waktu. Menurut Ramlan Surbakti
keadilan pemilu setidaknya dapat dimaknakan dalam 7 (tujuh) aspek yakni
kesetaraan antarwarga negara, kepastian hukum, persaingan bebas dan
adil, partisipasi seluruh pemangku kepentingan, badan penyelenggara
pemilu yang profesional, independen, dan imparsial, integritas
pemungutan, penghitungan, tabulasi, dan pelaporan suara pemilu, dan
penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu (Fahmi, 2016).
Ia menekankan, keadilan pemilu membutuhkan kepastian dan
jaminan hukum terhadap semua proses pemilu. Sementara itu, The United
Nations Democracy Fund (UNDEF) mengidentifikasi sebelas prinsip
pemilu berkeadilan. Prinsip dimaksud adalah integritas, partisipasi,
penegakan hukum, imparsial, profesionalisme, independen, transparansi,
time line, tanpa kekerasan, regularity, dan penerimaan.
Namun definisi demikian baru sampai pada taraf “keadilan” dalam
pengertian hukum sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen. Keadilan
dinilai dari aspek kecocokan tindakan dengan hukum positif terutama
kecocokan dengan undang-undang. Pemilu dianggap adil jika
pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang ada. Dalam konteks itu,
makna adil hanyalah kata lain dari “benar”. Sebab, penerapan hukum
akan dikatakan “tidak adil” jika sebuah norma umum diterapkan pada satu
kasus tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis lainnya yang muncul.
(Fahmi, 2016:169)
Hak konstitusi ialah hak asasi warga negara yang dijamin oleh UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak memilih dan dipilih
merupakah hak konstitusi warga negara. Oleh sebab itu, negara
mempunyai kewajiban guna memenuhi konstitusi tersebut. Bentuk
kewajian dalam negara ini yaitu, adanya perlindungan hak asasi manusia
(HAM) adanya peradilan yang bebas dan atas dasar hukum (asas
legalitas). Jika dilihat dari masanya, pemilihan umum di negara kita daftar
pemilih banyak digunakan oleh berbagai pihak , terutama dalam sengketa
hasil pemilu di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK). Daftar pemilih
tampaknya menjadi bukti kuat terjadinya berbagai pelanggaran pemilu,
termasuk pelanggaran administrasi, sengketa pemilu dan atau tindak
pidana pemilu. Maka sebab itu, wajib hukumnya sebagai penyelenggara
pemilu menjaga dan menjamin yang menjadi Hak Konstitusi Warga
Negara dalam memilih dan dipilih.
Perlindungan hukum ialah upaya yang dilakukan oleh badan
eksekutif atau legislatif guna memberikan nilai keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan terhadap suatu perbuatan yang memiliki dampak secara
langsung maupun tidak. Untuk mendorong partisipasi dari masyrakat
dalam mengungkap tindak pidana, perlu diciptakannya lingkungan yang
kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan
kepada setiap masyarakat yang mengetahui atau menemukan suatu hal
yang terkait, dan dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah
terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Namun
pelapor tersebut harus diberi jaminan perlindugan hukum dan keamanan
yang memadai atas laporannya. Sehingga, ia tidak merasa terancam baik
hak maupun jiwanya.
Secara kelembagaan, pengawas Pemilu terdiri atas Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota. Pasal 95 huruf a, b, dan huruf c
UU No. 7 Tahun 2017 mengatur bahwa Bawaslu berwenang menerima
dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya
pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Pemilu, memeriksa, mengkaji dan memutus
pelanggaran administrasi Pemilu, memeriksa, mengkaji, dan memutus
pelanggaran politik uang. Penggunaan wewenang oleh Bawaslu, Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam penanganan penindakan
pelanggaran Pemilu mengacu pada konsep teknis wewenang
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Administrasi
Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014 (UU.AP) Pasal 15 ayat (1) UU.AP,
yang mengatur bahwa wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dibatasi oleh: masa atau tenggang waktu wewenang, wilayah atau daerah
berlakunya wewenang, dan cakupan bidang atau materi wewenang.
(Hukum Ebook:35)
Masa atau tenggang waktu penanganan penindakan pelanggaran
tergantung waktu ditemukannya perbuatan/peristiwa oleh jajaran
pengawas pemilu atau waktu diketahui terjadinya perbuatan/ peristiwa
oleh pelapor. Bawaslu berwenang menerima, memeriksa dan memutus
pelanggaran administrasi apabila jajaran pengawas menemukan dugaan
pelanggaran tidak melebihi 7 (tujuh) hari kerja atau apabila pelapor
mengetahui dugaan pelanggaran tidak melebihi 7 (tujuh) hari kerja.
Apabila temuan dugaan pelanggaran oleh jajaran pengawas Pemilu atau
laporan yang disampaikan pelapor telah melebihi waktu 7 (tujuh) hari
kerja, suatu temuan atau laporan dugaan pelanggaran Pemilu telah lewat
waktu atau menjadi daluarsa, sehingga Bawaslu tidak berwenang untuk
memeriksa dan memutusnya.
Berdasarkan tempat atau wilayah berlakunya wewenang, Bawaslu
dapat melakukan penanganan penindakan pelanggaran Pemilu yang
terjadi di seluruh wilayah Indonesia dan pelanggaran pemilu di luar negeri,
meskipun struktur kelembagaan Bawaslu membawahi Bawaslu Provinsi,
dan Bawaslu Kabupaten / Kota. Penanganan penindakan pelanggaran
Pemilu oleh Bawaslu tergantung sifat pelanggaran yang terjadi misalnya
pertimbangan besarnya intervensi kepada jajaran pengawas Pemilu,
domisili pihak pelapor dan/atau terlapor, serta tingkat kesulitan dugaan
pelanggaran. Selain itu, Bawaslu dapat pula mengambil alih proses
penanganan penindakan yang dilakukan jajaran pengawas Pemilu atau
menerima pelimpahan dari jajaran pengawas Pemilu dengan beberapa
pertimbangan tersebut.
Menyangkut bidang atau materi wewenang, Bawaslu melakukan
penanganan penindakan pelanggaran yang termasuk pelanggaran bidang
kepemiluan atau terkait langsung dengan perbuatan/peristiwa kepemiluan
yang terjadi dalam tahapan Pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan
daftar Pemilih sampai pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
DPRD kabupaten/ Kota serta atau berakhirnya pelantikan Presiden/ wakil
Presiden. (Hukum Ebook:35)
Yang menjadi konsen utama dalam artikel ini adalah mengenai batasan
waktu atau tenggang waktu penanganan penin dakan pelanggaran oleh
Bawaslu. Sehingga, kita perlu menganalisis dan mengkaji kembali isian
dari pasal 454 ayat (6) UU Pemilu. Pasal 454 ayat (6) UU Pemilu
mengatur bahwa laporan pelanggaran Pemilu disampaikan paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan pelanggaran Pemilu.
Bila kita telaah lebih dalam ketentuan 7 (tujuh) hari kerja ini merupakan
hal penting dalam penindakan pelanggaran pemilu karena berimplikasi
hukum pada legalitas suatu laporan atau temuan dugaan pelanggaran
pemilu, sehingga diperlukan tolok ukur mengenai hal ini. Ketentuan 7
(tujuh) hari berkaitan dengan batasan waktu penyampaian laporan oleh
pelapor atau menetapkan informasi awal menjadi temuan oleh pengawas
pemilu, yakni selama kuruh waktu 7 (tujuh) hari.
Mengenai hari kerja, sudah menjadi ketentuan nasional dan praktek kerja-
kerja kelembagaan atau institusi negara bahwa hari kerja meliputi semua
hari terkecuali hari Sabtu dan Minggu. Selain itu, hari kerja erat pula
kaitannya dengan sifat tanggal yaitu bukan tanggal merah (hari libur
nasional), sehingga hari kerja tidak termasuk hari libur atau hari diliburkan
berdasarkan kebijakan pemerintah. Khusus mengenai hari yang
diliburkan, dalam penyelenggaraan pemilu khususnya untuk pelaksanaan
pemungutan suara yang menjadi kewenangan KPU untuk menentukan
serta menetapkan hari diliburkan, terhadap hari yang diliburkan untuk
pelaksanaan pemungutan suara tidak berlaku dalam penyampaian
laporan dan penetapan informasi awal menjadi temuan. Hal ini didasari
oleh pertimbangan bahwa hari yang diliburkan untuk pemungutan suara
menjadi hari untuk menyampaikan laporan atau menetapkan temuan,
karena pemungutan suara merupakan tahapan pemilu yang menjadi objek
pengawasan termasuk melakukan penindakan terhadap dugaan
pelanggaran Pemilu.
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kriteria 7
(tujuh) hari kerja untuk penyampaian laporan atau menetapkan temuan
dugaan pelanggaran Pemilu meliputi: Penyampaian laporan atau
penetapan temuan selama kurun waktu 7 (tujuh) hari dengan batasan hari
penyampaian laopran atau penetapan temuan hari Senin s/d Jumat,
bukan tanggal merah, dan termasuk hari yang diliburkan untuk
melaksanakan pemungutan suara.
Lalu untuk mengetahui secara pasti kapan berakhirnya suatu
pelanggaran dapat dilaporkan kita perlu melihat kapan dimulainya
perhitungan 7 (tujuh) hari kerja tersebut. Perhitungan 7 (tujuh) hari kerja
tersebut dalam rumusan pasal 454 ayat (6) UU Pemilu dimulai ‘sejak
diketahui terjadinya dugaan pelanggaran Pemilu’. Konsep semacam ini
sangatlah abstrak karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan tegas.
Hal ini membuat awal dari dimulainya tengat 7(tujuh) hari kerja bisa
menjadi kapan saja tergantung dari keinginan si pelapor.
Berdasarkan kedua analisis ini dapat disimpulkan bahwa
penanganan pelanggaran pemilu sejatinya tidak memiliki batasan atau
tenggang dikarenakan ketidakpastian hukum (unlegal certainty) yang
terdapat dalam pengaturan pasal 454 ayat (6) UU Pemilu.
Dokumen (Regulasi) :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019