Sie sind auf Seite 1von 17

s

PEMBATASAN WEWENANG BAWASLU PASCA PUTUSAN


MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019

PIJAR AGNI W.A.M


MUTIA FEBIANA
SALSADILLA SINTA DEWI

KOMPETISI DEBAT PENEGAKAN HUKUM PEMILU ANTAR PERGURUAN


TINGGI SE-INDONESIA KE-II TAHUN 2022

UNVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO


PURWOREJO
JANUARI 2022
I. PENDAHULUAN

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 146-02-10/PHPU.DPR-


DPRD/XVII/2019 telah memangkas dan membatasi kewenangan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam hal menangani pelanggaran pemilu.
Pasalnya, dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menegaskan
bahwasanya terhadap berbagai permasalahan hukum pemilu yang
ditemukan atau dilaporkan dan memengaruhi hasil pemilu harus telah
diselesaikan sebelum ditetapkannya hasil pemilihan umum atau
rekapitulasi secara nasional, termasuk juga dalam hal pelaksanaan atau
tindak lanjut penyelesaian berbagai permasalahan hukum pemilu. .
Sedangkan Bawaslu dalam memutus sebuah dugaan pelanggaran
yang kemudian menjadi sebuah pelanggaran dan menetapkan tindak
lanjut atas hal tersebut memerlukan waktu yang tidak sebentar. Hal ini
secara langsung memengaruhi kewenangan Bawaslu terkait penanganan
pelanggaran hukum pemilu. Pasalnya putusan ini membuat kerja Bawaslu
dibatasi oleh waktu yang sangat sempit melihat banyaknya kasus
pelanggaran yang mungkin terjadi. Keterbatasan waktu dan
ketidakwenangan Bawaslu menangani kasus pelanggaran setelah
ditetapkannya hasil pemilihan umum secara nasional menurut putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut mencederai keadilan pemilu yaitu hak
rakyat untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan
mendapatkan putusan atas pengaduan yang mereka buat.
Hak yang seharusnya didapat oleh pihak-pihak yang merasa
dirugikan atas adanya pelanggaran tersebut malah jadi terhalang dengan
adanya putusan MK No. 146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 yang
berisi pemberian batasan waktu dalam pemrosesan perkara pelanggaran
pemilu. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas mengenai pembatasan
terhadap wewenang Bawaslu pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.
146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019. Serta mencari solusi agar
keadilan pemilu dapat tercipta dalam pemilu di Indonesia.

II. PEMBAHASAN

2.1. KONSEP KEADILAN PEMILU (ELECTORAL JUSTICE)

Di dalam keadilan terdapat aspek filosofis yaitu norma hukum, nilai, moral,
dan etika. Keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi
hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur
sistem hukum positif. Tanpa keadilan sebuah aturan tidak pantas menjadi
hukum. Namun di sisi lain, pemikiran kritis memandang bahwa keadilan
tidak lain hanya sebuah fatamorgana, seperti orang melihat langit yang
seolah-olah kelihatan akan tetapi tidak pernah menjangkaunya, bahkan
juga tidak pernah mendekatinya. Walaupun harus diakui bahwa hukum
tanpa keadilan akan terjadi kesewenang-wenangan. (Satjipto
Rahardjo,2006:19)
Sebuah pemilu akan sah memperoleh legitimasi (kepercayaan rakyat)
jika dilaksakan secara adil. Pemilu yang adil ialah salah satu kewajiban
konstitusional yang dimmuat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Konstitusi tidak memberi panduan lebih luas terkait bagaimana pemilu
yang adil. Oleh sebab itu, menelaah landasan filosofis pemilu menjadi
begitupenting guna merumuskan tolak ukur adil atau tidaknya pemilu.
( Jurnal Cita Hukum)
Berasarkan standar yang dirumuskan oeh IDEA konsep keadilan
pemilu atau electoral justice mencakup cara dan mekanisme yang
tersedia di suatu negara tertentu. Komunitas lokal atau di tingkat regional
atau internasional untuk menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan
keputusan terkait dengan kerangka hukum, melindungi atau memulihkan
hak pilih, dan memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih
mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti
persidangan, dan mendapatkan putusan. (Centre for Electoral Reform,
2010:5)
Dengan demikian, keadilan pemilu dikonsepsikan sebagai kondisi
di mana
seluruh prosedur dan tindakan penyelenggara dilakukan sesuai regulasi
pemilu.
Pada saat yang sama, regulasi pemilu juga menyediakan mekanisme
pemulihan terhadap hak pilih dilanggar. Kerangka hukum pemilu mesti
mengatur prosedur penyelesaian pelanggaran yang terjadi prasyarat
mewujudkan keadilan pemilu dapat dipenuhi.
Adapun Ramlan Surbakti berpandangan, keadilan pemilu tidak
hanya terbatas pada tersedianya kerangka hukum pemilu semata,
melainkan juga mencakup kesetaraan hak pilih, badan penyelenggara
yang independen, integritas pemungutan suara, dan penyelesaian
pelanggaran atau sengketa tepat waktu. Menurut Ramlan Surbakti
keadilan pemilu setidaknya dapat dimaknakan dalam 7 (tujuh) aspek yakni
kesetaraan antarwarga negara, kepastian hukum, persaingan bebas dan
adil, partisipasi seluruh pemangku kepentingan, badan penyelenggara
pemilu yang profesional, independen, dan imparsial, integritas
pemungutan, penghitungan, tabulasi, dan pelaporan suara pemilu, dan
penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu (Fahmi, 2016).
Ia menekankan, keadilan pemilu membutuhkan kepastian dan
jaminan hukum terhadap semua proses pemilu. Sementara itu, The United
Nations Democracy Fund (UNDEF) mengidentifikasi sebelas prinsip
pemilu berkeadilan. Prinsip dimaksud adalah integritas, partisipasi,
penegakan hukum, imparsial, profesionalisme, independen, transparansi,
time line, tanpa kekerasan, regularity, dan penerimaan.
Namun definisi demikian baru sampai pada taraf “keadilan” dalam
pengertian hukum sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen. Keadilan
dinilai dari aspek kecocokan tindakan dengan hukum positif terutama
kecocokan dengan undang-undang. Pemilu dianggap adil jika
pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang ada. Dalam konteks itu,
makna adil hanyalah kata lain dari “benar”. Sebab, penerapan hukum
akan dikatakan “tidak adil” jika sebuah norma umum diterapkan pada satu
kasus tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis lainnya yang muncul.
(Fahmi, 2016:169)

Akademisi Ramlan Surbakti pernah mengemukakan bahwa pengawasan


pemilu yang efektif dapat dipercaya sebagai instrumen yang mampu
menghadirkan jaminan atas pelaksanaan pemilu yang demokratis.
Instrumen tersebut harus mampu menjamin dan mempromosikan
transparansi, akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas dari pelaksanaan
pemilu.
Sistem keadilan pemilu ialah instrumen terpenting untuk penegakan
hukum dan menjamin sepenuhnya dalam penerapan prinsip demokrasi
melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Sistem keadilan
pemilu ditingkatkan untuk mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan
dalam pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk untuk
membenahi ketidakberesan tersebut dan memberikan sanksi terhadap
pelaku pelanggaran. Setiap tindakan, prosedur, dan atau keputusan
menyangkut proses pemilu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
termasuk di kategori ketidakberesan. Mengingat, bagaimana
ketidakberesan dalam proses pemilu dapat menimbulkan sengketa.
Sistem keadilan pemilu berfungsi untuk mencegah terjadinya
ketidakberesan dan menjamin pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Oleh
sebab itu, desain sistem keadilan pemilu yang akurat sangat begitu
penting untuk menjamin legitimasi demokrasi dan kredibilitas proses
pemilu.
Konsep keadilan pemilu pun tidak hanya terbatas dalam
penegakan hukum, akan tetapi juga sebagai salah satu faktor yang perlu
diperhatikan dalam merancang dan menjalankan seluruh tahapan pemilu.
Keadilan pemilu juga salah satu faktor yang memengaruhi perilaku para
pemangku kepentingan dalam proses tersebut. Dikarenakan sistem
keadilan pemilu begitu dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya, konteks
sejarah, dan politik di setiap Negara, maka sistem dan praktiknya di
seluruh dunia berbeda-beda.
Meskipun demikian, sistem keadilan pemilu perlu mengikuti
berbagai norma dan nilai tertentu agar proses pemilu lebih kredibel dan
memiliki legitimasi tinggi. Norma dan nilai tersebut, dapat bersumber dari
budaya dan kerangka hukum yang ada disetiap Negara atau juga dari
instrumen hukum internasional. Kita bisa melihat di negara Arab dimana
sebelum 2015 lalu hanya penduduk pria saja yang dapat ikut andil dalam
pemilu. Lalu di Gambia pemilih menyalurkan hak pilihnya menggunakan
gundu yang dimasukkan dalam gentong. Dan di Jerman sendiri setiap
pemilih memiliki dua suara yaitu untuk memilih wakil rakyat(pemilihan
langsung) dan partai politik(pemilihan proporsional)
Sistem keadilan pemilu perlu dilihat berjalan secara efektif serta
menunjukkan independensi dan imparsialitas guna mewujudkan keadilan,
transparansi, aksesbilitas, serta kesetaraan dan inklusivitas. Apabila
sistem dipandang tidak kokoh atau kuat dan tidak berjalan dengan baik
maka kredibilitasnya akan berkurang dan dapat mengakibatkan adanya
para pemilih memperetanyakan partisipasi mereka dalam proses pemilu,
atau juga menolak hasil akhir pemilu. Dengan begitu, keadilan pemilu
yang efektif dan tepat waktu menjadi elemen kunci dalam menjaga
kredibilitas proses pemilu.
2.2. KEWENANGAN BAWASLU DALAM PENANGANAN
PELANGGARAN PEMILU

Hak konstitusi ialah hak asasi warga negara yang dijamin oleh UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak memilih dan dipilih
merupakah hak konstitusi warga negara. Oleh sebab itu, negara
mempunyai kewajiban guna memenuhi konstitusi tersebut. Bentuk
kewajian dalam negara ini yaitu, adanya perlindungan hak asasi manusia
(HAM) adanya peradilan yang bebas dan atas dasar hukum (asas
legalitas). Jika dilihat dari masanya, pemilihan umum di negara kita daftar
pemilih banyak digunakan oleh berbagai pihak , terutama dalam sengketa
hasil pemilu di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK). Daftar pemilih
tampaknya menjadi bukti kuat terjadinya berbagai pelanggaran pemilu,
termasuk pelanggaran administrasi, sengketa pemilu dan atau tindak
pidana pemilu. Maka sebab itu, wajib hukumnya sebagai penyelenggara
pemilu menjaga dan menjamin yang menjadi Hak Konstitusi Warga
Negara dalam memilih dan dipilih.
Perlindungan hukum ialah upaya yang dilakukan oleh badan
eksekutif atau legislatif guna memberikan nilai keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan terhadap suatu perbuatan yang memiliki dampak secara
langsung maupun tidak. Untuk mendorong partisipasi dari masyrakat
dalam mengungkap tindak pidana, perlu diciptakannya lingkungan yang
kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan
kepada setiap masyarakat yang mengetahui atau menemukan suatu hal
yang terkait, dan dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah
terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Namun
pelapor tersebut harus diberi jaminan perlindugan hukum dan keamanan
yang memadai atas laporannya. Sehingga, ia tidak merasa terancam baik
hak maupun jiwanya.
Secara kelembagaan, pengawas Pemilu terdiri atas Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota. Pasal 95 huruf a, b, dan huruf c
UU No. 7 Tahun 2017 mengatur bahwa Bawaslu berwenang menerima
dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya
pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Pemilu, memeriksa, mengkaji dan memutus
pelanggaran administrasi Pemilu, memeriksa, mengkaji, dan memutus
pelanggaran politik uang. Penggunaan wewenang oleh Bawaslu, Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam penanganan penindakan
pelanggaran Pemilu mengacu pada konsep teknis wewenang
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Administrasi
Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014 (UU.AP) Pasal 15 ayat (1) UU.AP,
yang mengatur bahwa wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dibatasi oleh: masa atau tenggang waktu wewenang, wilayah atau daerah
berlakunya wewenang, dan cakupan bidang atau materi wewenang.
(Hukum Ebook:35)
Masa atau tenggang waktu penanganan penindakan pelanggaran
tergantung waktu ditemukannya perbuatan/peristiwa oleh jajaran
pengawas pemilu atau waktu diketahui terjadinya perbuatan/ peristiwa
oleh pelapor. Bawaslu berwenang menerima, memeriksa dan memutus
pelanggaran administrasi apabila jajaran pengawas menemukan dugaan
pelanggaran tidak melebihi 7 (tujuh) hari kerja atau apabila pelapor
mengetahui dugaan pelanggaran tidak melebihi 7 (tujuh) hari kerja.
Apabila temuan dugaan pelanggaran oleh jajaran pengawas Pemilu atau
laporan yang disampaikan pelapor telah melebihi waktu 7 (tujuh) hari
kerja, suatu temuan atau laporan dugaan pelanggaran Pemilu telah lewat
waktu atau menjadi daluarsa, sehingga Bawaslu tidak berwenang untuk
memeriksa dan memutusnya.
Berdasarkan tempat atau wilayah berlakunya wewenang, Bawaslu
dapat melakukan penanganan penindakan pelanggaran Pemilu yang
terjadi di seluruh wilayah Indonesia dan pelanggaran pemilu di luar negeri,
meskipun struktur kelembagaan Bawaslu membawahi Bawaslu Provinsi,
dan Bawaslu Kabupaten / Kota. Penanganan penindakan pelanggaran
Pemilu oleh Bawaslu tergantung sifat pelanggaran yang terjadi misalnya
pertimbangan besarnya intervensi kepada jajaran pengawas Pemilu,
domisili pihak pelapor dan/atau terlapor, serta tingkat kesulitan dugaan
pelanggaran. Selain itu, Bawaslu dapat pula mengambil alih proses
penanganan penindakan yang dilakukan jajaran pengawas Pemilu atau
menerima pelimpahan dari jajaran pengawas Pemilu dengan beberapa
pertimbangan tersebut.
Menyangkut bidang atau materi wewenang, Bawaslu melakukan
penanganan penindakan pelanggaran yang termasuk pelanggaran bidang
kepemiluan atau terkait langsung dengan perbuatan/peristiwa kepemiluan
yang terjadi dalam tahapan Pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan
daftar Pemilih sampai pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
DPRD kabupaten/ Kota serta atau berakhirnya pelantikan Presiden/ wakil
Presiden. (Hukum Ebook:35)

Yang menjadi konsen utama dalam artikel ini adalah mengenai batasan
waktu atau tenggang waktu penanganan penin dakan pelanggaran oleh
Bawaslu. Sehingga, kita perlu menganalisis dan mengkaji kembali isian
dari pasal 454 ayat (6) UU Pemilu. Pasal 454 ayat (6) UU Pemilu
mengatur bahwa laporan pelanggaran Pemilu disampaikan paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan pelanggaran Pemilu.
Bila kita telaah lebih dalam ketentuan 7 (tujuh) hari kerja ini merupakan
hal penting dalam penindakan pelanggaran pemilu karena berimplikasi
hukum pada legalitas suatu laporan atau temuan dugaan pelanggaran
pemilu, sehingga diperlukan tolok ukur mengenai hal ini. Ketentuan 7
(tujuh) hari berkaitan dengan batasan waktu penyampaian laporan oleh
pelapor atau menetapkan informasi awal menjadi temuan oleh pengawas
pemilu, yakni selama kuruh waktu 7 (tujuh) hari.
Mengenai hari kerja, sudah menjadi ketentuan nasional dan praktek kerja-
kerja kelembagaan atau institusi negara bahwa hari kerja meliputi semua
hari terkecuali hari Sabtu dan Minggu. Selain itu, hari kerja erat pula
kaitannya dengan sifat tanggal yaitu bukan tanggal merah (hari libur
nasional), sehingga hari kerja tidak termasuk hari libur atau hari diliburkan
berdasarkan kebijakan pemerintah. Khusus mengenai hari yang
diliburkan, dalam penyelenggaraan pemilu khususnya untuk pelaksanaan
pemungutan suara yang menjadi kewenangan KPU untuk menentukan
serta menetapkan hari diliburkan, terhadap hari yang diliburkan untuk
pelaksanaan pemungutan suara tidak berlaku dalam penyampaian
laporan dan penetapan informasi awal menjadi temuan. Hal ini didasari
oleh pertimbangan bahwa hari yang diliburkan untuk pemungutan suara
menjadi hari untuk menyampaikan laporan atau menetapkan temuan,
karena pemungutan suara merupakan tahapan pemilu yang menjadi objek
pengawasan termasuk melakukan penindakan terhadap dugaan
pelanggaran Pemilu.
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kriteria 7
(tujuh) hari kerja untuk penyampaian laporan atau menetapkan temuan
dugaan pelanggaran Pemilu meliputi: Penyampaian laporan atau
penetapan temuan selama kurun waktu 7 (tujuh) hari dengan batasan hari
penyampaian laopran atau penetapan temuan hari Senin s/d Jumat,
bukan tanggal merah, dan termasuk hari yang diliburkan untuk
melaksanakan pemungutan suara.
Lalu untuk mengetahui secara pasti kapan berakhirnya suatu
pelanggaran dapat dilaporkan kita perlu melihat kapan dimulainya
perhitungan 7 (tujuh) hari kerja tersebut. Perhitungan 7 (tujuh) hari kerja
tersebut dalam rumusan pasal 454 ayat (6) UU Pemilu dimulai ‘sejak
diketahui terjadinya dugaan pelanggaran Pemilu’. Konsep semacam ini
sangatlah abstrak karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan tegas.
Hal ini membuat awal dari dimulainya tengat 7(tujuh) hari kerja bisa
menjadi kapan saja tergantung dari keinginan si pelapor.
Berdasarkan kedua analisis ini dapat disimpulkan bahwa
penanganan pelanggaran pemilu sejatinya tidak memiliki batasan atau
tenggang dikarenakan ketidakpastian hukum (unlegal certainty) yang
terdapat dalam pengaturan pasal 454 ayat (6) UU Pemilu.

2.3. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENANGANAN


PELANGGARAN PEMILU

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif


selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar
tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat
dengan penyelenggaraan Negara dan kehidupan politik. Dengan demikian
konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi
konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan,
dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga
sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal
Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah dengan jelas diatur dalam
Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonessia
Tahun 1945 dan secara khusus diatur kembali dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang diantaranya adalah
memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Perselisihan hasil pemilu
meliputi perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan
perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Dalam pasal 474 dan 475
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwasanya permohonan
pembatalan penetapan basil penghitungan perolehan suara oleh KPU
kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan batas pengajuan paling lama 3 x
24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan
suara hasil pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan
hasil pemilu bersifat final dan mengikat sesuai dengan pasal 79 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011.

2.4 TERHALANGNYA KEADILAN PEMILU

Georgina T Wood yang dikutip oleh Ramlan Surbakti menyatakan bahwa,


“suatu perangkat penting pengamanan integritas dan keadilan pemilu
terletak pada penyelesaian dan penegakan hukum yang adil”.
Penegakan terhadap sengketa Pemilu sebenarnya telah diwadahi
dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 (UU Pemilu). Sehingga,
pihak yang merasa dirugikan ataupun merasa proses penyelenggaran
pemilu tidak adil dapat mencari keadilan yang tidak mereka dapatkan
sesuai aturan hukum yang berlaku. Namun pada praktiknya,
dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 menyebabkan terhambatnya
penegakan pelanggaran administratif pemilu.
Pasalnya setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi ini
Bawaslu  harus berpacu dengan waktu untuk dapat menyelesaikan
pelanggaran tersebut sebelum dikeluarkannya putusan hasil pemilu oleh
KPU. Selain itu, putusan terasebut juga menyebabkan pelanggaran-
pelanggaran administratif yang ditemukan setelah dikeluarkannya putusan
hasil pemilu tidak dapat diproses. Hal ini dikarenakan putusan
rekomendasi, atau bentuk lain dari lembaga-lembaga lain yang dapat
berimplikasi pada hasil pemilihan umum yang telah ditetapkan tidak lagi
dimungkinkan dan akan dikesampingkan. Sedangkan secara wewenang
Mahkamah Konstitusi sendiri tidak berwenang untuk mengadili
pelanggaran-pelanggaran administratif pemilu.
Hal ini pada akhirnya akan mencederai keadilan pemilu karena
berdasarkan IDEA keadilan pemilu mencakup dimungkinkannya warga
yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan
pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.
III. PENUTUP

Berdasarkan hasil analisa pada bab sebelumnya dapat disimpulkan


bahwa penegakan keadilan pemilu sangat dapat terhambat dengan
adanya ketimpangan pada pengaturan karena adanya putusan tersebut.
Dimana Bawaslu sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan
pelanggaran administratif menjadi kesulitan untuk menegakkan keadilan
pemilu akibat adanya batasan waktu tersebut. Sedangkan Mahkamah
Konstitusi sendiri tidak dapat menyelesaikan pelanggaran tersebut karena
bukan kewenangan mereka.
Di masa yang akan datang nanti ketimpangan ini diyakini akan
menimbulkan ketidakadilan terhadap beberapa pihak. Oleh karena itu
perlu dilakukan upaya pembenahan pada pengaturan lembaga-lembaga
tersebut sehingga keadilan pemilu dapat ditegakkan. Kedepannya perlu
adanya revisi kembali mengenai undang-undang pemilu.
Alternatif lain adalah dengan melakukan revisi kembali pada
Undang-Undang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat final dan mengikat terutama terhadap pengaturan kewenangan
menguji sengketa hasil pemilu ataupun penarikan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 agar
kedepannya pemilihan umum yang yang berlandaskan keadilan pemilu
dapat terwujud dengan adanya fungsi lembaga Bawaslu yang
independen, mandiri, objektif, tepat sasaran, dan konstitusional.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto. (2006). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya.
Centre for Electoral Reform (Penyunting), (2010), Keadilan Pemilu :
Ringkasan Buku Acuan International IDEA, kerjasama International IDEA,
Bawaslu RI dan CETRO, Jakarta.
Riwanto, A., (2020). Model Pengintegrasian Penegakan Hukum Pilkada
Serentak Guna Mewujudkan Keadilan Substansif (Evaluasi Penegakan
Hukum Pilkada Serentak 2015-2020). Jurnal Adhyasta Pemilu.Vol.7 No.2.
Saleh, M. and Hadi, S., (2020). Pengawasan Terintegrasi Terhadap
Kampanye Prematur Petahana Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal
Adhyasta Pemilu. Vol. 7 No. 2.
Supriyadi, and Anandy, W., (2020). Dinamika Penegakan Pelanggaran
Administrasi (Studi Terhadap Kepatuhan Putusan dan Rekomendasi
Bawaslu Terkait Pelanggaran Administrasi Pemilu/Pilkada) . Jurnal
Adhyasta Pemilu. Vol.7 No.2.
Fahmi (2016). Menelusuri Konsep Keadilan Pemilihan Umum Menurut
UUD 1945. Jurnal Cita Hukum. Vol 4, No.2
Maulana, M. and Mustikaningsih, R., (2019). Ketidakpastian Hukum
Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Dalam Proses Rekapitulasi hasil.
Jakarta: kode Inisiatif.
Harmoko, R. and Afif, Z., (2021). Peranan Badan Pengawasan Pemilu
Terhadap Sengketa Pemilu Tahun 2019 (Studi Di Kantor Bawaslu
Kabupaten Batubara). Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan. Vol.7
(No.1).
Ibrahim, M., (2021). Batasan Kewenangan Bawaslu Provinsi Sulawesi
Barat Dalam Penanganan Pidana Pemilu Tahun 2019. Jurnal Noken:
Ilmu-Ilmu Sosial. Vol.6 (No.2).
Nugraha , M., (2020). Bawaslu Dan Penegakan Hukum Pemilu. Al Wasath
Jurnal Ilmu Hukum . Vol.1 (No.2).
Pasaribu, A., (2019). Tafsir Konstitusional atas Kemandirian
Penyelenggara Pemilu dan Pilkada. Jurnal Konstitusi. Vol.16 (No.2).
Fahm, K. dkk, (2020). Sistem Keadilan Pemilu dalam Penanganan
Pelanggaran dan Sengketa Proses Pemilu Serentak 2019 di Sumatera
Barat. Jurnal Konstitusi. Vol.17 (No.1).
Faiz, P., (2017). Memperkuat Prinsip Pemilu yang Teratur, Bebas, dan
Adil Melalui Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang. Jurnal
Konstitusi. Vol.14 (No.3).
Jamil, (2020). Evaluasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum
Dalam Perspektif Konstruksi Hukumnya. Perspektif. Vol.25 (No.1).
Aermadepa, (2019). Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu Oleh
Bawaslu, Tantangan Dan Masa Depa. JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan
Humaniora. Vol.1 (No.2).
Hantoro, N., (2015). Mewujudkan Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian
Perselisihan HasilPemilihan Kepala Daerah Dan Menghentikan Paktek
Hukum Liberal. Jurnal Negara Hukum. Vol.6 (No.2).
Bawaslupelalawan (2020) Hak Konstitusional Warga Harus Dijamin
Penyelenggara Pemilu. www.pelalawan.bawaslu.go.id
Beraubawaslu (2021). Perlindungan Hukum Bagi Pelapor Dan Saksi
Dalam Pemusaran Kepemiluan. www.berau.bawaslu.go.id
Silalahi, W., (2019). Konstitusionalitas Penyelesaian Sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019.
Budimansyah, (2018). Tinjauan Terhadap Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Jurnal
Hukum Media Bhakti. Vol.2 (No.2).
Satrio, A., (2015). Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus
Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics. Jurnal
Konstitusi. Vol.12 (No.1).
Nugraha , H., (2015). Redesain Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden di Indonesia. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. Vol.22
(No.3).
ROSIDI, and AHMAD, , (2018). Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Menyelesaikan Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah. Journal Ilmiah
Rinjani. Vol.6 (No.2).

Dokumen (Regulasi) :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019

Das könnte Ihnen auch gefallen