Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Konten Penelitian
Konten Penelitian
3 (2021): 574-600
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Abstract
Regime or government change has specific legal political characteristics, including
the Political Law of Family Planning. Each period of government has different views
and policies on the implementation of the national family planning program as one of
the programs in population control in Indonesia. This study aims to determine the
effect of legal politics on the success of the family planning program in Indonesia by
analyzing statutory regulations in the form of policy rules relating to the family
planning program at each government period. The research method used is juridical-
normative research through a literature review approach by analyzing policies in the
form of laws and regulations and other literatures related to family planning
programs. Data collection techniques are through library research and problem
approaches through the statue approaches, historical approaches, and comparative
approaches. The results show that there is a relationship between the politics of law or
policies issued by a regime and family planning program intervention.
Keywords: political law, family planning program, population growth rate, total
fertility rate.
Abstrak
Perubahan rezim atau pemerintahan mempunyai ciri politik hukum tersendiri,
termasuk Politik Hukum Keluarga Berencana (KB). Setiap masa pemerintahan
mempunyai pandangan dan kebijakan yang berbeda terhadap penyelenggaran program
KB nasional sebagai program pengendalian kuantitas penduduk di Indonesia. Studi ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh politik hukum terhadap keberhasilan Program
KB di Indonesia dengan menganalisis peraturan perundang-undangan dalam bentuk
aturan kebijakan yang berkaitan dengan program KB pada setiap masa pemerintahan.
Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis-normatif melalui
pendekatan literatur review dengan menganalisis kebijakan-kebijakan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur lainnya yang berkaitan dengan
program KB. Teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library
research) dan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan (statue
approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara politik hukum atau
kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu rezim dalam mengintervensi suatu program
terhadap capaian program yang akan dicapai.
Kata Kunci: politik hukum, program keluarga berencana, laju pertumbuhan penduduk,
angka kelahiran total.
I. PENDAHULUAN
1
Departemen Penerangan RI dan BKKBN. “Program Penerangan di Bidang Kependudukan dan
Keluarga Berencana Menjelang Tahun 1990”, (Jakarta: Departemen Penerangan RI dan BKKBN,
1982), hal. 7.
2
https://media.neliti.com/media/publications/177590-ID-none.pdf, diakses tanggal 25 Agustus
2020.
3
Ryan Muthiara Wasti, “Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum Pada Masa
Pemerintahan Soeharto Di Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan 45, no. 1 (2016): 76.
4
Ibid
5
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum di Indonesia”, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998),
hal. 1.
576 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
II. PEMBAHASAN
11
Ibid.
12
Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk 1961 Republik Indonesia, 1962, hal. 3.
578 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
13
Indonesia, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 1660
Tahun 1958.
14
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. Op.Cit, hal. 103.
15
Vitriyana Kusuma Dewi and Gayung Kasuma, “Perempuan Masa Orde Baru: Studi Kebijakan
PKK Dan KB Tahun 1968-1983,” VERLEDEN 4, no. 2 (2014): 157–172.
16
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. Op.Cit, hal. 108.
17
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
18
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966
Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 579
Indonesia. 19 Menurut Moh. Mahfud MD, 20 pada periode ini militer tampil sebagai
pemeran utama dalam pentas politik pada awal Orde Baru, suatu era yang dipakai
sebagai nama resmi pengganti era demokrasi terpimpin (1959-1966) yang kemudian
disebut Orde Lama.
Sejak menemukan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971,
Indonesia mulai menampilkan konfigurasi politik yang otoriter birokratis yang
diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan. Oleh karena itu, produk
hukum pun menjadi konservatif/ortodoks. 21 Hal ini didukung juga dengan adanya
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan memberikan
kekuasaan yang sangat besar terhadap Presiden (executive heavy), UUD 1945 menjadi
alat untuk melegitimasi suatu rezim dalam menjalankan pemerintahannya secara
otoriter. 22 Memasuki masa Orde Baru, segala bentuk kebijakan pembangunan
termasuk program KB mengarah kepada sentralistik. Masa ini sebagai masa yang
cerah bagi program KB, dalam Pidatonya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPRGR) pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto sebagai Pejabat
Presiden Republik Indonesia, menyatakan bahwa:23
“Dalam rangkaian jangkauan pandangan ke depan, maka kita perlu secara berani
melihat pertumbuhan jumlah penduduk yang menurut angka-angka
perbandingan akan melampaui keseimbangannya dengan produksi yang dapat
kita cukupi, baik dari hasil sendiri maupun dari impor. Oleh karena itu kita harus
menaruh perhatian yang serius mengenai usaha-usaha pembatasan kelahiran,
dengan konsepsi keluarga berencana, yang dapat dibenarkan oleh moral agama
dan moral pancasila. Masalah ini adalah prinsipil, menyangkut kesejahteraan
rakyat, bahkan menyangkut nasib generasi kita yang akan datang. Oleh karena
itu harus diusahakan masak-masak dan berencana pula.”
Hasil dari pidato pada Sidang DPR GR, kemudian DR. KH. Idham Chalid selaku
Menteri Kesejahteraan Rakyat (Menkesra) pada Kabinet Pembangunan I
menindaklanjuti dengan membentuk panitia Ad Hoc yang bertugas mempelajari dan
mengkaji program KB dijadikan Program Nasional. Pada tanggal 7 September 1968,
Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1968 kepada Menkesra
yang intinya untuk melakukan pembimbingan, koordinasi, dan mengawasi segala
aspirasi masyarakat di bidang Keluarga Berencana serta mengusahakan terbentuknya
suatu Badan/Lembaga sebagai wadah untuk menghimpun segela kegiatan di bidang
Keluarga Berencana, yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Akhirnya
pada tanggal 17 Oktober 1968 terbentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional
(LKBN) berdasarkan Surat Keputusan Menkesra Nomor 36/KPTS/Kesra/X/1968,
sebagai Lembaga Semi Pemerintah. Sebagai wujud keseriusan pemerintah Orde Baru
terhadap program KB, Jenderal Soeharto yang pada saat itu masih sebagai Pejabat
Presiden menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia pada tanggal 11 Desember
1967, yang berisi sebagai berikut:24
19
Putri Kusuma Dwi Putri and others, ‘Kelembagaan Dan Capaian Program Keluarga Berencana
(KB): Dari Era Sentralisasi Ke Desentralisasi’, Jurnal Kependudukan Indonesia, 14.1 (2019), 1–12
<https://doi.org/https://doi.org/10.14203/jki.v14i1.335>.
20
Moh. Mahfud MD, Op.Cit. hal. 196.
21
Ibid
22
Aditya Rahmadhony, “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia,” Palar (Pakuan Law Review) 06, no. 12 (2020): 92–119.
23
Pidato Pejabat Presiden Republik Indonesia Dimuka Sidang DPR GR Pada Tanggal 16
Agustus 1967 di Jakarta, http://soeharto.co/1967-08-16-pidato-pejabat-presiden-soeharto-di-muka-
sidang-dpr-gr/, hal. 48. Diakses pada tanggal 23 Juli 2020.
24
Turbay Ayala and Lord Caradon, “Declaration on Population: The World Leaders Statement,”
Studies in Family Planning 1, no. 26 (July 10, 1968): 1–3, http://www.jstor.org/stable/1965194.
580 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
Keputusan Presiden Nomor 319 Tahun 1968 tentang Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA), pada Bab I diuraikan mengenai tujuan, sasaran, dan
kebijaksanaan, bahwa:
“Program keluarga berencana tidak saja penting untuk mengurangi kecepatan
pertumbuhan penduduk sehingga berguna juga bagi kenaikan pendapatan per
jiwa penduduk, akan tetapi program ini juga bermanfaat bagi peningkatan
kesehatan ibu khususnya, dan keluarga pada umumnya.”
Sehingga berdasarkan REPELITA tersebut, pemerintah mengambil suatu
kebijaksanaan dan langkah-langkah strategis. Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 319 Tahun 1968 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun, terlampir pada
Bab IX mengenai Kesehatan dan Keluarga Berencana. Sebagai langkah awal
penerapan kebijakan, program KB dilaksanakan di pulau Jawa dan Bali sebagai
sasaran pertama. Karena terdapat 66 persen penduduk yang tinggal di atas tanah yang
hanya seluas 7 (tujuh) persen dari seluruh luas wilayah Indonesia. Pelaksanaan
program dimulai di Ibu Kota Provinsi, kemudian di Ibu Kota Kabupaten/Kota, dan
dalam tahun-tahun terakhir REPELITA diluaskan sampai tingkat kecamatan. Sasaran
selanjutnya untuk menghindari terjadinya lebih kurang 600.000 sampai dengan
700.000 kelahiran, dengan jalan mencapai 3.000.000 akseptor (“eligible women” yang
menerima program KB).26
Pada awal penyelenggaraannya, program KB merupakan program yang
diselenggarakan oleh masyarakat dengan bantuan, dukungan, serta perlindungan
sepenuhnya dari Pemerintah melalui Lembaga Keluarga Berencana Nasional
Indonesia. Akan tetapi, karena kekurangan fasilitas, tenaga, dan sistem pengelolaan,
organisasi baru ini dianggap tidak cukup memadai. 27 Untuk itu, sebagai upaya
penguatan program KB, pemerintah Orde Baru membentuk suatu badan sebagai
bentuk komitmen terhadap program KB di Indonesia. Presiden Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1970 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
yang segala penganggarannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Presiden menjadi penanggung jawab langsung dalam
penyelenggaraan Program KB.
Lebih kurang 2 (dua) tahun Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 berlaku,
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1972 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), dalam rangka memperluas kemampuan fasilitas dan sumber yang tersedia,
serta perlunya penyempurnaan organisasi untuk menggiatkan dan mengefektifkan
koordinasi. Pada masa ini, BKKBN dijadikan lembaga Pemerintah Non Departemen
yang berkedudukan di bawah Presiden yang dipimpin oleh Ketua BKKBN. Walaupun
BKKBN pada tingkat daerah masih dibentuk sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
Akan tetapi, keberadaan lembaga BKKBN di tingkat daerah, sudah jelas terlihat
bentuk kelembagaannya dibandingkan dengan yang diatur oleh Keputusan Presiden
Nomor 8 Tahun 1970 yang masih dalam bentuk Koordinator Daerah.
2. Periode Pembangunan Lima Tahun II (PELITA II) Tahun 1974/1975 –
1978/1979
Pengaruh yang nyata dari pelaksanaan program KB terhadap tingkat kelahiran
tidaklah mungkin dapat diukur dalam jangka waktu lima tahun. Namun demikian
sebagai ukuran sementara dapat dilihat dari kemajuan perkembangan jumlah akseptor
baru setiap tahunnya. Mendekati akhir masa PELITA I telah tercatat 2.528.000 orang
26
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/repelita-i---buku-ii/, diakses pada tanggal 20 Juli 2020.
27
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. Op.Cit, hal. 118.
582 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
akseptor baru, dari jumlah sasaran 3.000.000 orang akseptor berdasarkan target pada
masa PELITA I.28 Pada periode PELITA II, pembinaan dan pendekatan program yang
semula berorientasi pada kesehatan mulai dipadukan dengan sektor-sektor
pembangunan lainnya, yang lebih dikenal dengan “Pendekatan Integratif” melalui
Beyond Family Planning Program.29 Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang
terlampir pada Arah dan Kebijakan Pembangunan di dalam Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bahwa:
“Pelaksanaan program Keluarga Berencana terutama di Jawa dan Bali perlu
ditingkatkan, khususnya agar dapat mencapai masyarakat pedesaan seluas-
luasnya. Kesempatan untuk melaksanakan Keluarga Berencana di daerah-daerah
lain perlu mulai dikembangkan sehingga membantu peningkatan kesejahteraan
keluarga di daerah-daerah tersebut melalui tersedianya fasilitas-fasilitas
Keluarga Berencana. Sasaran Keluarga Berencana hendaknya meliputi seluruh
lapisan masyarakat atas dasar sukarela. Oleh karena kesediaan untuk
melaksanakan Keluarga Berencana pada akhirnya adalah suatu proses perubahan
sikap hidup masyarakat, maka dalam Pelita kedua kegiatan pendidikan dan
pelatihan para tenaga pelaksana teknis program Keluarga Berencana, melainkan
akan makin dikembangkan pula usaha-usaha pendidikan masalah kependudukan.
Untuk tercapainya tujuan dan sasaran-sasaran program Keluarga Berencana
dalam Pelita kedua, maka koordinasi antar Departemen, kegiatan-kegiatan
penerangan, penelitian mengenai motivasi dan sebagainya, serta kegiatan-
kegiatan lainnya yang menunjang pelaksanaan program Keluarga Berencana
perlu lebih ditingkatkan lagi.”
Program KB pada Pelita kedua difokuskan di pulau Jawa dan Bali, sasaran KB
dilakukan kepada seluruh lapisan masyarakat atas dasar sukarela. Pada tahun 1973 –
1975 dirintis Pendidikan Kependudukan melalui sekolah-sekolah sebagai pilot project,
kemudian pada tahun 1976 dimulailah proses kelembagaan pendidikan kependudukan
ke dalam kurikulum yang terpadu di sekolah-sekolah di Indonesia. 30 Periode Pelita
kedua, kelembagaan BKKBN semakin disempurnakan dan dikembangkan sebagai
lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1978 tentang
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. BKKBN dipimpin oleh Kepala dan
mempunyai struktur secara vertikal dalam bentuk Perwakilan BKKBN pada tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
3. Periode Pembangunan Lima Tahun III (PELITA III) Tahun 1979/1980 –
1983/1984
Politik Hukum program KB pada periode PELITA III terdapat pada kebijakan
Pola Pembangunan Nasional PELITA III, terlampir di dalam Ketetapan Majelis
Permusyawatan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara, bahwa:
a. Program Keluarga Berencana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
Ibu dan Anak dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia yang menjadi
dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan
kelahiran sekaligus dalam rangka menjamin terkendalikan pertumbuhan
penduduk Indonesia.
b. Pelaksanaan program Keluarga Berencana diusahakan diperluas ke seluruh
wilayah dan lapisan masyarakat termasuk daerah-daerah pemukiman.
28
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/repelita-ii---buku-iii/, diakses tanggal 3 Agustus 2020.
29
Soetedjo Moeljodiharjo, dkk. Op.Cit. hal. 43.
30
Ibid
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 583
31
Soetedjo Moeljodiharjo, dkk. Op.Cit. hal. 43-44.
584 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
orang atau lebih agar tidak menambah anak yang dimilikinya; 3) Mengarahkan
generasi muda untuk menghayati nilai keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera serta
mendorong mereka untuk lebih banyak bergiat dalam bidang pendidikan, ke-
trampilan, kepramukaan, olah raga, kesenian dan sebagainya; 4) Memperkuat proses
pelembagaan secara fisik dalam usaha keluarga berencana sehingga secara kelompok
proses penanganan program semakin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kegiatan masyarakat sendiri; dan 5) Memperkuat proses pelembagaan yang bersifat
mental spiritual dan lebih bersifat dukungan psikologis. Berdasarkan program
REPELITA IV, konsep “keluarga dua anak” diperkenalkan sesuai dengan arah baru
untuk memperkuat keluarga berencana.32
Periode PELITA IV program KB dilakukan melalui pendekatan koordinasi
aktif, yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat mapun daerah dan adanya peran serta
masyarakat atau organisasi masyarakat secara aktif. Hal ini diperkuat berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1983 tentang Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional. Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1983 semakin
mempertegas keberadaan BKKBN sebagai Badan Koordinasi, yang menerapkan
prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kebijakan penyelenggaraan program
KB secara nasional. Untuk memperkuat pola koordinasi tersebut, dibuatlah sebuah
Unit Pelaksana Program Keluarga Berencana Nasional yang terdiri dari
Departemen/Instansi yang atas dasar fungsional mengadakan usaha-usaha dan
mengambil bagian dalam penyelenggaraan program KB nasional baik di pusat
maupun di daerah dan dalam bentuk perkumpulan/organisasi masyarakat serta
pelaksana-pelaksana lainnya atas dasar sukarela berdasarkan kemampuan sendiri.
Unit Pelaksana disetiap Departemen/Instansi pemerintah tingkat pusat, oleh
Menteri/Kepala Instansi bersangkutan ditunjuk pejabat Eselon I yang mempunyai
kaitan kerja dengan kegiatan keluarga berencana sebagai Pimpinan Unit Pelaksana.
Untuk lebih memperlancar koordinasi dan hubungan kerjasama, Unit Pelaksana wajib
melaporkan dalam rapat secara berkala antar Pimpinan BKKBN dengan masing-
masing Unit Pelaksana.
5. Periode Pembangunan Lima Tahun V (PELITA V) Tahun 1989/1990 –
1993/1994
GBHN Tahun 1989/1990–1993/1994 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1988 memberikan mandat kepada pemerintah selaku penerima mandat
(mandataris MPR), untuk melakukan upaya-upaya peningkatan penyelenggaraan
program KB pada periode PELITA V untuk semakin ditingkatkan dan diperluas ke
seluruh lapisan masyarakat terutama ditargetkan kepada penduduk usia muda serta ke
seluruh wilayah Tanah Air termasuk daerah pemukiman baru dan transmigrasi.
Sebagai tindak lanjut GBHN, pada PELITA V pemerintah mengeluarkan
kebijakan strategis dalam rangka penguatan pelaksanaan penyelenggaraan program
KB. Selain dimasukkan ke dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1989 tentang
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/90-1993/94, tetapi
juga hal yang terpenting adalah pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, sebagai bentuk keseriusan komitmen pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan program KB secara nasional.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 dibuat karena belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara menyeluruh mengenai perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Secara politik hukum program
KB pada PELITA V diadakan untuk meningkatkan kebijakan-kebijakan program KB
32
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. Op.Cit, hal. 170.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 585
Dalam GBHN 1993 dan arahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 terlihat
jelas bahwa sasaran pembangunan kependudukan harus diarahkan pada peningkatan
kualitas penduduk, pengendalian laju pertumbuhan penduduk, pengarahan mobilitas
penduduk, dan pembangunan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera.33 Kebijakan
penyelenggaraan program KB pada periode PJP II lebih mengutamakan pendekatan
pembangunan keluarga sejahtera dan kesehatan reproduksi. Program KB pada periode
33
Haryono Suyono, “Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Berencana: Implikasi Program Aksi
Kairo Di Indonesia,” Populasi 8, no. 1 (2016): 1–16. hal. 2.
588 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
PELITA VI berada pada masa “puncak keemasannya”, hal ini didukung oleh politik
hukum yang kuat pemerintah Orde Baru pada saat itu dengan mengeluarkan berbagai
peraturan perundang-undangan maupun aturan kebijakan dalam mendukung program
KB. Penyelenggaraan program KB menjadi suatu “Gerakan Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera Nasional”, yang dilaksanakan secara menyeluruh
dan terpadu dengan program pembangunan lainnya. BKKBN mengkoordinasikan
penyelenggaraan gerakan KB oleh beberapa Kementerian, Pemerintah Daerah, dan
sukarelawan atau dapat juga disebut Unit-unit Pelaksana dan pelaksana.
1994 beserta hasil telaahan dan kajian pelaksanaan Program Aksi Kependudukan
dalam sidang khusus ke-21 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York
Tahun 1999. Program Aksi Kependudukan yang dilakukan bukan hanya untuk
program KB saja, akan tetapi dilaksanakan secara menyeluruh meliputi pengelolaan
informasi kependudukan, administrasi kependudukan, dan pengarahan perkembangan
kependudukan. Pengelolaan Program Aksi Kependudukan yang meliputi ruang
lingkup tersebut di atas dilakukan melalui komisi kependudukan. Di tingkat pusat
dibentuk oleh Menteri Negara Kependudukan/Kepala Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional dan di tingkat daerah dibentuk oleh Bupati/Walikota.
2. Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS) Tahun 2000–2004 yang ditandatangani oleh Presiden
Abdurrahman Wahid sesuai dengan amanat TAP/IV/MPR/1999 tentang Garis Besar
Haluan Negara tahun 1999-2004. Sebagai pedoman penyelenggaraan negara untuk
melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan
pembangunan. Kebijakan mengenai program Keluarga Berencana termasuk ke dalam
salah satu agenda pokok pembangunan yang terdapat pada butir ke 4 (empat) yaitu
membangun kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya. Tujuan pembangunan
program KB di dalam PROPENAS 2000–2004 adalah dengan meningkatnya kualitas
program KB dalam memenuhi hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, serta
menurunnya pertumbuhan penduduk Indonesia agar terwujud keluarga kecil yang
bahagia dan sejahtera.
Dalam rangka penguatan kelembagaan, pemerintah melakukan stategi kebijakan
meliputi peningkatan mutu pelayanan KB, perluasan cakupan pelayanan KB yang
menjangkau seluruh pelosok Indonesia, penajaman segmentasi sasaran, kemandirian
program KB, penyediaan alat dan obat serta pelayanan KB yang bermutu, integrasi
program KB dalam pemenuhan hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, serta
kesetaraan jender dengan meningkatkan partisipasi pria dalam ber-KB. Untuk
mewujudkan itu semua, terdapat sasaran utama kinerja program KB antara lain: 1)
menurunnya pasangan usia subur (PUS) yang tidak terlayani KB menjadi sekitar 6
persen; 2) meningkatnya partisipasi pria dalam ber-KB menjadi sekitar 10 persen; 3)
menurunnya tingkat kelahiran yaitu angka TFR menjadi 2,4 per perempuan.34 Untuk
mendukung kebijakan tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2000 tentang Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional. Dengan tujuan Program KB dan pembangunan keluarga serta
pemberdayaan perempuan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dengan
meningkatkan peran serta semua pihak secara terkoordinasi, terintegrasi, dan
tersinkronisasi. BKKBN dipimpin oleh seorang Kepala yang dijabat oleh Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan.
Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid berfokus pada pelaksanaan
pengarusutamaan gender (PUG) di Indonesia. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2000, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, PUG dilaksanakan
di sembilan sektor pembangunan salah satunya sektor Keluarga Berencana. Untuk
mendukung PUG masuk ke dalam sektor Keluarga Berencana, Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN mengeluarkan suatu keputusan berupa
Surat Keputusan Nomor 10/HK-010/B5/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
BKKBN, dengan membentuk 3 (tiga) unit kerja sekelas eselon II yaitu Pusat Pelatihan
34
Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000-2004, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2000 Nomor
206, Lampiran.
590 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
Gender, Direktorat Partispasi Pria, dan Direktorat Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi, dan
Anak. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid hanya berlangsung 18 bulan yang
berakhir pada tanggal 23 Juli 2001, kemudian digantikan oleh Megawati
Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia.
3. Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Kebijakan Presiden Megawati dalam bidang Kelurga Berencana secara umum
masih melanjutkan pemerintahan sebelumnya yaitu menurunkan fertilitas, peningkatan
kualitas pelayanan, dan peningkatan kesertaan KB Pria. PROPENAS 2000-2004
masih digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pembanguan lima tahunan yang
responsif gender, khususnya untuk sektor Keluarga Berencana pelaksanaan
pengarusutamaan gender mengusung beberapa isu, antara lain Isu kesehatan ibu, Isu
kematian bayi, isu kemiskinan, isu kesehatan reproduksi; dan Isu kesertaan dan
keadilan gender.35
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dalam rangka mendukung terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan.
Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN di Kabupaten/Kota dan
di Propinsi DKI Jakarta diserahkan kepada pemerintah daerah terhitung mulai tanggal
1 Januari 2004, sedangkan untuk tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN
di Provinsi masih dilaksanakan oleh pemerintah sampai ada ketentuan lebih lanjut
kecuali untuk Propinsi DKI Jakarta. 36 Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, membatasi jumlah
kelembagaan berbentuk dinas sebanyak 14 dan delapan lembaga berbentuk badan dan
kantor. Keadaan demikian menjadi sebuah persoalan bagi pelaksanaan program KB di
lapangan, desentralisasi di era otonomi daerah akan membawa perubahan pada
kewenangan dan struktur organisasi pengelola KB di daerah serta hubungan kerja
yang bersifat hierarki antara BKKBN pusat dengan pengelola KB di tingkat daerah.37
Kepastian dilembagakannya program KB di tingkat Kabupaten/Kota masih
belum dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Politik hukum untuk
melindungi program KB yang dilaksanakan di tingkat Kabupaten/kota belum terlihat
pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003. Peraturan Pemerintah tersebut
hanya mengatur jumlah kelembagaan yang boleh dibentuk, pada prinsipnya
dimaksudkan memberikan keleluasaan yang luas kepada daerah untuk menetapkan
kebutuhan organisasi sesuai dengan penilaian daerah masing-masing. Tidak ada
rumusan yang jelas mengenai pembagian urusan kelembagaan daerah, semuanya
sesuai dengan penilaian daerah masing-masing. Dengan demikian apabila kepala
daerah tidak mempunyai komitmen atau pengetahuan tentang program KB, maka
secara kebijakan, kelembagaan, anggaran, dan sumber daya tidak mendapatkan
dukungan berarti. Kepala daerah lebih memilih urusan-urusan yang dapat
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daripada mengurusi program KB.
4. Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Pada masa ini, semangat disentralisasi mengalami babak baru, dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, meskipun konsekuensi Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
35
Direktorat KP3, Evaluasi Pengarusutamaan Gender Di Sembilan Sektor Pembangunan Tahun
2006 (Jakarta: BAPPENAS DAN KEMENPP, 2006), hal. 2.
36
Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Sebagaimana Telah Beberapa Kali
Diubah Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003, Pasal 114 ayat (2) dan (3).
37
Sri Sunarti Purwaningsih, “Desentralisasi Program Keluarga Berencana: Tantangan Dan
Persoalan Kasus Provinsi Kalimantan Barat,” Jurnal Kependudukan Indonesia VII, no. 2 (2012): 109–
125. Hal. 113.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 591
38
Diakses pada https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/9841/kampung-kb-inovasi-
strategis-memberdayakan-masyarakat/0/artikel_gpr, tanggal 27 Agustus 2020.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 593
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Angka Kelahiran Total pada setiap
masa pemerintahan
Capaian Program KB
Laju Angka
Konfigurasi
No Pemerintahan Masa Pertumbuhan Kelahiran
Politik
Penduduk Total
(LPP) (AKT)
Demokrasi (1945-1959) 2.15% -
Soekarno (1945- Liberal
1. 1967) - Orde
Lama Demokrasi (1959-1967) 2.13% -
Terpimpin
39
Wilson Rajagukguk and Omas Bulan Samosir, "Dinamika Demografi Indonesia 1950-2100."
(Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015). hal. 16.
40
Terence H Hull, “Caught in Transit: Questions About the Future of Indonesian Fertility
Indonesian Family Planning in a Changing Political Order,” no. 1985 (2001): 409–424. hal. 410.
594 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
Capaian Program KB
Laju Angka
Konfigurasi
No Pemerintahan Masa Pertumbuhan Kelahiran
Politik
Penduduk Total
(LPP) (AKT)
- Repelita I 2.31% 5.6
& II
(1969- 1.98% 4.6
1979)
- Repelita 1.44% 2.8
Soeharto (1967- Otoriter
III & IV
2. 1998) - Orde Birokratik/
(1979-
Baru sentralistik
1989)
- Repelita
V & VI
(1989-
1997)
Demokratis
3. B.J. Habibie (Transisi (1998-1999) - -
desentralisasi)
Abdurrahman Demokratis/
4. (1999-2001) 1.49% 2.3
Wahid desentralisasi
Megawati Demokratis/
5. (2001-2004) - 2.6
Soekarnoputri desentralisasi
1.49% 2.6
Susilo Bambang Demokratis/
6. (2004-2014)
Yudhoyono desentralisasi
1.49% 2.6
1.36% 2.4
Demokratis/ (2014-
7. Joko Widodo
desentralisasi sekarang)
1.31% 2.4
Sumber: BPS, SDKI 2012, SDKI 2017, SKAP 2019
Masifnya gerakan KB pada masa Orde Baru tidak lepas dari adanya sistem
politik dibawah kepemimpinan Soeharto yang memiliki karakteristik unik, Presiden
melakukan kontrol yang besar terhadap para menteri serta gubernur dalam sistem
kesatuan Indonesia. 41 Pemerintah provinsi dan kabupaten diberikan insentif besar
untuk meningkatkan prevalensi kontrasepsi dan memiliki otonomi untuk
menyesuaikan input program keluarga berencana dengan kebutuhan dan kondisi
setempat. 42 Departemen/Instansi pemerintah pusat sebagai unit pelaksana, wajib
menyampaikan laporan tertulis secara berkala dan sewaktu-waktu kepada Kepala
BKKBN mengenai kegiatan-kegiatan gerakan keluarga berencana dan pembangunan
keluarga sejahtera nasional yang dilaksanakannya. Sebagai bentuk komitmen
pemerintah Orde Baru terhadap program KB, pemerintah mempublikasikan program-
programnya melalui berbagai media. Salah satunya adalah pada tahun 1970-1979
beredar uang logam dengan gambar program sosial yang menjadi agenda pemerintah
zaman Orde Baru seperti program Keluarga Berencana dan Tabanas, karena pada
41
Jeremy Shiffman, “Political Management in the Indonesian Family Planning Program,”
International Family Planning Perspectives 30, no. 1 (2004): 27–33. hal. 27.
42
John W. Molyneaux and Paul J. Gertler, “The Impact of Targeted Family Planning Programs
in Indonesia,” Population and Development Review 26 (2000): 61–85. hal. 82 – 83.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 595
43
Puji Antari, Naomi Haswanto, and Alvanov Zpalanzani Mansoor, “Kajian Grafis Uang Logam
Indonesia Periode Tahun 1951-2009,” Jurnal Komunikasi Visual WIMBA 2, no. 1 (2015): 33–39,
http://jurnalwimba.com/index.php/wimba/article/view/44. hal. 37.
44
Dede Wahyu Firdausi, “Kebijakan Dwifungsi ABRI Dalam Perluasan Peran Militer Di Bidang
Sosial-Politik Tahun 1966-1998,” Jurnal UPI (2016): 1–13. hal. 6.
45
Hull, “Caught in Transit: Questions About the Future of Indonesian Fertility Indonesian
Family Planning in a Changing Political Order.” hal. 411.
46
Buku II Grand Design Pembangunan Kependudukan 2011-2035, Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, 2012
596 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
untuk masyarakat dengan melibatkan mitra dan lintas sektor terkait. Untuk
memperkuat kinerja program KB di lini lapangan, pemerintah berdasarkan Undang-
Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, melakukan proses pengalihan
terhadap Penyuluh Keluarga Berencana (PKB). PKB tersebut dialihkan kembali
sebagai pegawai BKKBN sejak proses desentralisasi tahun 2004, yang sebelumnya
merupakan pegawai pemerintah daerah kabupaten/kota.
Belum terkonfirmasi secara pasti apakah kebijakan membentuk kampung KB
dan pengalihan kembali para PKB menjadi pegawai BKKBN berdampak signifikan
terhadap capaian program KB, khususnya capaian terhadap laju pertumbuhan
penduduk dan angka kelahiran total (TFR). Akan tetapi, sejak dicanangkannya
kampung KB oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 dan adanya pengalihan
PKB menjadi pegawai BKKBN pada tahun 2018, terjadi penurunan terhadap LPP dan
TFR berdasarkan hasil proyeksi BPS terhadap laju pertumbuhan penduduk 2010-2016
berada pada angka 1.36% dan TFR menurut data SDKI 2017 50 dan SKAP 2019 51
berada pada angka 2.4 per wanita.
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa ada
keterkaitan antara politik hukum atau kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu rezim
dalam mengintervensi suatu program terhadap capaian program yang akan dicapai.
Hal ini terlihat pada pelaksanaan program Keluarga Berencana, sejak masa Soekarno,
Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono,
sampai dengan masa Joko Widodo terdapat perbedaan kebijakan. Soekarno dengan
sikap pronatalist-nya, berdampak pada tingginya laju pertumbuhan penduduk dan
tingkat kelahiran total, karena menurut Soekarno, di masa revolusi masih
membutuhkan penduduk yang banyak untuk menggarap negara Indonesia yang luas
ini. Kemudian Soekarno lebih memilih program transmigrasi, untuk mengurangi
kepadatan penduduk di pulau jawa dan bali.
Soeharto lebih memandang bahwa penduduk yang banyak akan membebani
perekonomian dan tujuan pembangunan, dikarenakan kegagalan pelaksanaan keluarga
berencana akan mengakibatkan hasil usaha pembangunan menjadi tidak berarti dan
dapat membahayakan generasi yang akan datang. Soeharto memiliki politik hukum
yang kuat dan masif untuk mengurangi jumlah penduduk melalui program KB,
terbukti dalam 20 tahun masa pemerintahannya (Periode Repelita I-IV/1969-1989)
dapat menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari yang sebelumnya 2.31% menjadi
1.98% dan angka kelahiran total dari 5.6 per wanita menjadi 4.6 per wanita. Tren
tersebut terus berlanjut sampai pada berakhirnya rezim Soeharto tahun 1997, laju
pertumbuhan penduduk terus menurun pada angka 1.44% dan angka kelahiran total
menjadi 2.8 per wanita.
Masa peralihan sentralistik menuju masa desentralisasi merupakan masa yang
sulit bagi program KB. Di awal-awal masa reformasi, program KB tidak mendapatkan
perhatian yang serius dibandingkan masa Soeharto. Karena di masa periode Bj.
Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, masih terjadi konflik politik dikalangan
elit nasional. Kemudian terjadi peralihan kelembagaan BKKBN di tingkat
kabupaten/kota dan BKKBN Provinsi DKI Jakarta yang diserahkan ke pemerintah
50
BKKBN, “Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia 2017,” Jakarta: BKKBN (2018), hal.
76.
51
BKKBN, Survei Kinerja Dan Akuntabilitas Program KKBPK (SKAP) Keluarga 2019,
Jakarta: BKKBN, 2019, hal. 77.
598 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
4.2. Saran
Penelitian ini merekomendasikan perlunya upaya penguatan kelembagaan
program KB pada tingkat lini lapangan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sejak masa
Orde Baru kelembagaan program KB kuat dan masif, baik pelaksanaan ditingkat pusat
maupun ditingkat daerah. Keberadaan kelembagaan program KB sampai kepada
tingkat lini lapangan (desa), memberikan dampak yang besar terhadap pencapaian
program. Pada pemerintahan Joko Widodo, penguatan pada lini lapangan kembali
dilakukan. Adanya program Kampung KB dan pengalihan para Penyuluh KB menjadi
pegawai BKKBN, menjadi langkah awal dalam penguatan program KB ditingkat lini
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. “100 Tahun Demografi Indonesia: Mengubah
Nasib Menjadi Harapan”, (Jakarta: BKKBN dan LDFEUI, 2009).
Ayala, Turbay, and Lord Caradon. “Declaration on Population: The World Leaders
Statement.” Studies in Family Planning 1, no. 26 (July 10, 1968): 1–3.
http://www.jstor.org/stable/1965194.
Badan Pusat Statistik. Sensus Penduduk 1961 Republik Indonesia, 1962.
BKKBN, “Sejarah Perkembangan Gerakan KB di Indonesia,” (Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional, Jakarta, 1990).
______. “Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia 2017.” Jakarta: BKKBN (2018).
———. Survei Kinerja Dan Akuntabilitas Program KKBPK (SKAP) Keluarga 2019.
Jakarta: BKKBN, 2019.
Departemen Penerangan RI dan BKKBN. “Program Penerangan di Bidang
Kependudukan dan Keluarga Berencana Menjelang Tahun 1990”, (Jakarta:
Departemen Penerangan RI dan BKKBN, 1982).
Direktorat KP3. Evaluasi Pengarusutamaan Gender Di Sembilan Sektor
Pembangunan Tahun 2006. Jakarta: BAPPENAS DAN KEMENPP, 2006.
Faizal, Liky. “Produk Hukum Di Indonesia Perspektif Politik Hukum.” Jurnal ASAS
(2017).
Firdausi, Dede Wahyu. “Kebijakan Dwifungsi ABRI Dalam Perluasan Peran Militer
Di Bidang Sosial-Politik Tahun 1966-1998.” Jurnal UPI (2016): 1–13.
Hamudy, Moh. “Pembentukan Kelembagaan Keluarga Berencana Di Kabupaten
Sukabumi Dan Kota Bitung.” Jurnal Bina Praja 07, no. 01 (2015): 21–36.
Hayes, Adrian C. “Towards a Policy Agenda for Population and Family Planning in
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 599
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan
Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)
Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 1660
Tahun 1958.
600 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021
Lain-lain
https://media.neliti.com/media/publications/177590-ID-none.pdf, diakses tanggal 25
Agustus 2020.
Pidato Pejabat Presiden Republik Indonesia Dimuka Sidang DPR GR Pada Tanggal 16
Agustus 1967 di Jakarta, http://soeharto.co/1967-08-16-pidato-pejabat-presiden-
soeharto-di-muka-sidang-dpr-gr/, hal. 48. Diakses pada tanggal 23 Juli 2020.
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/repelita-i---buku-ii/, diakses pada tanggal 20 Juli 2020.
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/repelita-ii---buku-iii/, diakses tanggal 3 Agustus 2020.
Diakses pada https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/9841/kampung-kb-
inovasi-strategis-memberdayakan-masyarakat/0/artikel_gpr, tanggal 27 Agustus
2020
.