Sie sind auf Seite 1von 27

Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 51 No.

3 (2021): 574-600
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

POLITIK HUKUM PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI INDONESIA


Aditya Rahmadhony*, Mardiana Dwi Puspitasari**, Maria Gayatri***,
Iwan Setiawan****
*, **, *** Peneliti Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
**** Perancang Peraturan Perundang-undangan Badan Kependudukan dan KB Nasional
Korespondensi: dhietdhon@gmail.com; mardianadwipuspitasari@gmail.com;
gayatrimarciano@gmail.com; iwanbkkbn@yahoo.com
Naskah dikirim: 20 September 2020
Naskah diterima untuk diterbitkan: 21 Desember 2020

Abstract
Regime or government change has specific legal political characteristics, including
the Political Law of Family Planning. Each period of government has different views
and policies on the implementation of the national family planning program as one of
the programs in population control in Indonesia. This study aims to determine the
effect of legal politics on the success of the family planning program in Indonesia by
analyzing statutory regulations in the form of policy rules relating to the family
planning program at each government period. The research method used is juridical-
normative research through a literature review approach by analyzing policies in the
form of laws and regulations and other literatures related to family planning
programs. Data collection techniques are through library research and problem
approaches through the statue approaches, historical approaches, and comparative
approaches. The results show that there is a relationship between the politics of law or
policies issued by a regime and family planning program intervention.
Keywords: political law, family planning program, population growth rate, total
fertility rate.

Abstrak
Perubahan rezim atau pemerintahan mempunyai ciri politik hukum tersendiri,
termasuk Politik Hukum Keluarga Berencana (KB). Setiap masa pemerintahan
mempunyai pandangan dan kebijakan yang berbeda terhadap penyelenggaran program
KB nasional sebagai program pengendalian kuantitas penduduk di Indonesia. Studi ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh politik hukum terhadap keberhasilan Program
KB di Indonesia dengan menganalisis peraturan perundang-undangan dalam bentuk
aturan kebijakan yang berkaitan dengan program KB pada setiap masa pemerintahan.
Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis-normatif melalui
pendekatan literatur review dengan menganalisis kebijakan-kebijakan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur lainnya yang berkaitan dengan
program KB. Teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library
research) dan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan (statue
approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara politik hukum atau
kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu rezim dalam mengintervensi suatu program
terhadap capaian program yang akan dicapai.
Kata Kunci: politik hukum, program keluarga berencana, laju pertumbuhan penduduk,
angka kelahiran total.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no3.3124
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 575

I. PENDAHULUAN

Situasi kependudukan mempunyai peran yang besar terhadap keberhasilan


pembangunan di Indonesia, hal ini dikarenakan penduduk merupakan pelaksana dan
sasaran pembangunan itu sendiri. 1 Pertambahan jumlah penduduk yang tinggi di
Indonesia menjadi tantangan tersendiri dalam proses pembangunan. Berdasarkan hasil
Sensus Penduduk pertama kali yang dilaksanakan pada tahun 1961 tercatat jumlah
penduduk Indonesia 97.085.348 dan berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 jumlah
penduduk Indonesia meningkat menjadi 237.641.326 jiwa. Untuk itu, sangat
diperlukan upaya dalam pengendalian jumlah penduduk dan peningkatan kualitas
penduduk di Indonesia. Sebagai jalan keluar terhadap kondisi tersebut, salah satu
keputusan strategisnya adalah perlunya kebijakan yang mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk yaitu dengan Program Keluarga Nasional.
Sebagai negara hukum, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia harus berdasarkan atas hukum. Hukum digunakan sebagai kebijakan dasar
bagi penyelenggara negara dalam menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang
akan dibentuk. Ternyata hukum tidak steril dari sub sitem kemasyarakatan lainnya,
terutama politik. Politik seringkali melakukan intervensi atas pembentukan hukum dan
bahkan pelaksanaan hukum. Sebagaimana pengertian politik hukum menurut Padmo
Wahjono dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara
negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di
dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.2
Pascakemerdekaan negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, terjadi
dinamika penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan rezim atau pemerintahan dalam
perjalanannya mempunyai ciri politik hukum tersendiri, tidak terkecuali terhadap
kebijakan keluarga berencana. Sejak pemerintahan Presiden Soekarno berkuasa
sampai dengan pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat korelasi antara bentuk
kekuasaan yang digunakan oleh kepala negarannya dengan produk hukum yang
dihasilkan. 3 Hasilnya produk hukum yang dikeluarkan pun juga bergantung dari
bentuk konfigurasi politik tersebut.4 Lebih lanjut dikatakan oleh Mahfud MD,5 bahwa
politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal
policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Indonesia
adalah negara hukum, segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus dalam
bentuk produk hukum. Baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun
dalam bentuk aturan kebijakan.
Berkaitan dengan politik hukum program Keluarga Berencana (KB), terdapat
perbedaan politik hukum yang ditempuh atau diambil oleh masing-masing rezim yang
berkuasa sejak masa Presiden Soekarno sampai dengan pemerintahan Presiden Joko
Widodo. Setiap masa pemerintahan mempunyai pandangan dan kebijakan yang
berbeda terhadap penyelenggaran program KB secara nasional sebagai salah satu
program dalam pengendalian penduduk di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh politik hukum terhadap keberhasilan program KB di Indonesia,

1
Departemen Penerangan RI dan BKKBN. “Program Penerangan di Bidang Kependudukan dan
Keluarga Berencana Menjelang Tahun 1990”, (Jakarta: Departemen Penerangan RI dan BKKBN,
1982), hal. 7.
2
https://media.neliti.com/media/publications/177590-ID-none.pdf, diakses tanggal 25 Agustus
2020.
3
Ryan Muthiara Wasti, “Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum Pada Masa
Pemerintahan Soeharto Di Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan 45, no. 1 (2016): 76.
4
Ibid
5
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum di Indonesia”, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998),
hal. 1.
576 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

dengan menganalisis peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk aturan


kebijakan yang berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan terkait program KB pada
setiap masa pemerintahan.

II. PEMBAHASAN

2.1. Politik Hukum Program KB Masa Orde Lama


Pascaproklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, tepatnya pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
dalam salah satu keputusannya memilih Soekarno dan Muhammad Hatta sebegai
Presiden dan Wakil Presiden. Era Kepemimpinan Soekarno terjadi dalam dua fase
periode, yaitu periode Demokrasi Liberal (1945–1959) dan Periode Demokrasi
Terpimpin (1959–1967). Akan tetapi menurut Moh. Mahfud MD, 6 pada periode
Demokrasi Liberal (1945–1959) kedudukan pemerintah masih relatif lemah, lemahnya
eksekutif merupakan konsekuensi logis dari terlalu kuatnya partai-partai. Secara
praktis konfigurasi liberal demokratis ini ditandai oleh dominannya parlemen dalam
spektrum politik, sehingga selama kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 yang terjadi adalah instabilitas pemerintahan, karena
pemerintah seringkali dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi.7 Sehingga pada masa
ini pemerintahan tidak bisa berjalan dengan efektif, dikarenakan hal tersebut maka
pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dektrit Presiden sebagai
awal mula periode Demokrasi Terpimpin. Perubahan demokrasi liberal menjadi
demokrasi terpimpin mempengaruhi karakter produk hukum yang dihasilkan bersifat
responsive menjadi produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatif.
Pada masa Demokrasi Liberal maupun Demokrasi Terpimpin, isu kependudukan
pada masa itu belum dianggap penting dan strategis. Terutama terhadap isu untuk
pengendalian jumlah penduduk melalui Program KB. Menurut Adioetomo,8 Presiden
Soekarno tidak setuju dengan ide keluarga berencana karena dianggap mengancam
moral bangsa, Soekarno sebagai pendukung pronatalist. Bahwa penduduk yang
banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebagai sumber daya yang berharga
untuk kepentingan revolusi melawan kapitalisme barat. Akan tetapi, permasalahan
kependudukan yang terjadi pada masa itu adalah ketidakmeratan penduduk di seluruh
wilayah Indonesia. Pulau jawa menjadi pulau yang terpadat, menurut Soekarno
transmigrasi adalah sebuah solusi dan upaya untuk meratakan penduduk dan juga
untuk meratakan kekuatan nasional ke seluruh wilayah nusantara.9
Untuk mempertahankan segenap wilayah dan untuk melaksanakan
pembangunan, diperlukan jumlah penduduk yang memadai dari segi kuantitas maupun
kualitas. Oleh karena itu, pada saat awal kemerdekaan, jumlah penduduk yang besar
masih diperlukan sebagai potensi bangsa dalam pembangunan.10 Selain itu, Indonesia
sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan,
menyebabkan ketergantungan pada hasil pertanian. Sementara itu, banyak lahan yang
luas belum mampu digarap menjadi lahan yang menghasilkan. Hal ini menimbulkan
kebutuhan tenaga manusia yang banyak, itulah mengapa penduduk yang besar
diperlukan. Sikap pemerintah secara tidak langsung membiarkan pertumbuhan
6
Ibid, hal. 54.
7
Liky Faizal, “Produk Hukum Di Indonesia Perspektif Politik Hukum,” Jurnal ASAS (2017).
8
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. “100 Tahun Demografi Indonesia: Mengubah Nasib
Menjadi Harapan”, (Jakarta: BKKBN dan LDFEUI, 2009), hal. 84 – 85.
9
Wening Udasmoro, “Konsep Nasionalisme Dan Hak Reproduksi Perempuan: Analisis Gender
Terhadap Program Keluarga Berencana Di Indonesia,” Humaniora 16, no. 2 (2004): 147–154.
10
BKKBN, “Sejarah Perkembangan Gerakan KB di Indonesia,” (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional, Jakarta, 1990), hal 11.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 577

penduduk yang cepat “pronatalis” dan belum mempertimbangkan pandangan jauh


kedepan.11
Diwaktu Undang-undang Dasar Sementara 1950 masih berlaku, maka ketentuan-
ketentuan tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Transmigrasi diatur di dalam
Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 1958 dan No. 13 tahun 1959. Setelah terjadinya
Dektrit Presiden 5 Juli 1959, salah satu isinya adalah memberlakukan kembali
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) maka terjadi perubahan terhadap
produk hukum tentang transmigrasi. Oleh karena telah terjadi keadaan memaksa
mengenai pengaturan pokok-pokok penyelenggaraan transmigrasi, pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Penyelenggaraan Transmigrasi, sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945.
Kemudian dalam rangka menyukseskan pelaksanaan transmigrasi pemerintah Orde
Lama mengeluarkan suatu kebijakan yaitu dengan adanya “Gerakan Nasional
Transmigrasi”, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1965 tentang Gerakan
Nasional Transmigrasi. Tujuan penyelenggaraan transmigrasi pada masa Orde Lama
menitik beratkan pada memindahkan penduduk dari Pulau Jawa, Madura, dan Bali
yang padat penduduknya ke daerah yang kurang padat penduduknya, mengusahakan
tanah yang belum termanfaatkan, memperluas dan meningkatkan kegiatan
pembangunan ekonomi terutama produksi pangan, dan memperkokoh pertahanan
negara, persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada masa Orde Lama, Indonesia tidak mempunyai politik hukum berupa
kebijakan pengendalian penduduk dengan cara pembatasan kelahiran melalui Program
Keluarga Berencana. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 1961,
jumlah penduduk Indonesia sebanyak 97.085.348 jiwa, dengan jumlah penduduk
terpadat berada di pulau Jawa dan Madura sebanyak 63.059.575 jiwa. 12 Data tersebut
menunjukan kepadatan penduduk masih terpusat di pulau Jawa dan Madura serta
masih tidak meratanya penyebaran penduduk di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut,
maka Soekarno lebih memilih program transmigrasi untuk pengendalian kepadatan
penduduk. Pemilihan transmigrasi sebagai program pengendalian kepadatan penduduk,
karena Indonesia masih membutuhkan banyak sumber daya manusia untuk digunakan
dalam pembukaan dan penggalian sumber-sumber kekayaan alam yang tersedia
dengan melakukan penyebaran penduduk yang lebih merata.
Keadaan menjadi lebih sulit bagi program KB untuk menjadi suatu kebijakan
pengendalian kepadatan penduduk, Pemerintah Soekarno mengesahkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang
Hukum Pidana. berdasarkan Pasal 283 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menyatakan, bahwa:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak sembilan ribu rupiah. Barang siapa menawarkan, memberikan
untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan
tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk
mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa,
dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh
belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.

11
Ibid.
12
Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk 1961 Republik Indonesia, 1962, hal. 3.
578 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

Kemudian diatur pada Pasal 534 KUHP:13


Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk
mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta
menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan
tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan (diensten)
yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau
pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Upaya promosi dan penyebaran informasi mengenai pengendalian penduduk
melalui pembatasan kelahiran di Indonesia terhambat dengan adanya Pasal 283 ayat (1)
dan Pasal 534 KUHP. Bahwa kegiatan dalam bentuk promosi dengan cara
menawarkan, memberikan, dan mempertunjukkan sarana atau alat untuk mencegah
kehamilan (alat kontrasepsi) diancam dengan pidana penjara atau pidana denda.
Ketentuan inilah yang menghambat dan menjadi tantangan berat bagi perkembangan
program KB di masa Orde Lama. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
yang didirikan tanggal 23 Desember 1957, terus bergerak secara diam-diam dengan
upaya-upaya permulaan gerakan keluarga berencana dibatasi hanya dalam
menyediakan informasi tentang maksud dan tujuan keluarga berencana, meminta
pandangan dari pemuka agama, dan menyediakan pelayanan dalam bentuk penyebaran
informasi KB serta pelayanan kontrasepsi khususnya diberikan di klinik-klinik KB.14
Menurut Vitriyana dan Gayung,15 Fischer tidak mampu meyakinkan Soekarno
dengan menggunakan argumen berdasarkan hubungan antara pertumbuhan penduduk
dan pembangunan ekonomi, namun Soekarno dapat menerima argumen tentang
membatasi jarak kelahiran untuk melindungi kesehatan ibu, mengurangi beban
keluarga dan mengurangi angka kematian dari ibu dan anak. Soekarno mempunyai
keyakinan sendiri tentang arti jumlah penduduk, karena dari sisi kepentingan
“revolusi”, jumlah penduduk yang banyak dibayangkan sebagai sebuah kekuatan yang
hebat.16

2.2. Politik Hukum Program KB Masa Orde Baru


Setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengadakan
Sidang Umum pada tahun 1967, dengan sebuah keputusan mencabut kekuasaan
pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan menetapkan Jenderal Soeharto
sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.17
Kemudian pada tanggal 27 Maret 1968, Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai Presiden
Republik Indonesia berdasarkan Pasal 1 Ketetapan MPRS Nomor
XLIV/MPRS/1968. 18 Peralihan pemerintahan dari masa Presiden Soekarno menuju
masa Presiden Soeharto adalah tonggak sejarah penting dalam politik KB di

13
Indonesia, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 1660
Tahun 1958.
14
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. Op.Cit, hal. 103.
15
Vitriyana Kusuma Dewi and Gayung Kasuma, “Perempuan Masa Orde Baru: Studi Kebijakan
PKK Dan KB Tahun 1968-1983,” VERLEDEN 4, no. 2 (2014): 157–172.
16
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. Op.Cit, hal. 108.
17
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
18
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966
Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 579

Indonesia. 19 Menurut Moh. Mahfud MD, 20 pada periode ini militer tampil sebagai
pemeran utama dalam pentas politik pada awal Orde Baru, suatu era yang dipakai
sebagai nama resmi pengganti era demokrasi terpimpin (1959-1966) yang kemudian
disebut Orde Lama.
Sejak menemukan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971,
Indonesia mulai menampilkan konfigurasi politik yang otoriter birokratis yang
diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan. Oleh karena itu, produk
hukum pun menjadi konservatif/ortodoks. 21 Hal ini didukung juga dengan adanya
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan memberikan
kekuasaan yang sangat besar terhadap Presiden (executive heavy), UUD 1945 menjadi
alat untuk melegitimasi suatu rezim dalam menjalankan pemerintahannya secara
otoriter. 22 Memasuki masa Orde Baru, segala bentuk kebijakan pembangunan
termasuk program KB mengarah kepada sentralistik. Masa ini sebagai masa yang
cerah bagi program KB, dalam Pidatonya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPRGR) pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto sebagai Pejabat
Presiden Republik Indonesia, menyatakan bahwa:23
“Dalam rangkaian jangkauan pandangan ke depan, maka kita perlu secara berani
melihat pertumbuhan jumlah penduduk yang menurut angka-angka
perbandingan akan melampaui keseimbangannya dengan produksi yang dapat
kita cukupi, baik dari hasil sendiri maupun dari impor. Oleh karena itu kita harus
menaruh perhatian yang serius mengenai usaha-usaha pembatasan kelahiran,
dengan konsepsi keluarga berencana, yang dapat dibenarkan oleh moral agama
dan moral pancasila. Masalah ini adalah prinsipil, menyangkut kesejahteraan
rakyat, bahkan menyangkut nasib generasi kita yang akan datang. Oleh karena
itu harus diusahakan masak-masak dan berencana pula.”
Hasil dari pidato pada Sidang DPR GR, kemudian DR. KH. Idham Chalid selaku
Menteri Kesejahteraan Rakyat (Menkesra) pada Kabinet Pembangunan I
menindaklanjuti dengan membentuk panitia Ad Hoc yang bertugas mempelajari dan
mengkaji program KB dijadikan Program Nasional. Pada tanggal 7 September 1968,
Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1968 kepada Menkesra
yang intinya untuk melakukan pembimbingan, koordinasi, dan mengawasi segala
aspirasi masyarakat di bidang Keluarga Berencana serta mengusahakan terbentuknya
suatu Badan/Lembaga sebagai wadah untuk menghimpun segela kegiatan di bidang
Keluarga Berencana, yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Akhirnya
pada tanggal 17 Oktober 1968 terbentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional
(LKBN) berdasarkan Surat Keputusan Menkesra Nomor 36/KPTS/Kesra/X/1968,
sebagai Lembaga Semi Pemerintah. Sebagai wujud keseriusan pemerintah Orde Baru
terhadap program KB, Jenderal Soeharto yang pada saat itu masih sebagai Pejabat
Presiden menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia pada tanggal 11 Desember
1967, yang berisi sebagai berikut:24

19
Putri Kusuma Dwi Putri and others, ‘Kelembagaan Dan Capaian Program Keluarga Berencana
(KB): Dari Era Sentralisasi Ke Desentralisasi’, Jurnal Kependudukan Indonesia, 14.1 (2019), 1–12
<https://doi.org/https://doi.org/10.14203/jki.v14i1.335>.
20
Moh. Mahfud MD, Op.Cit. hal. 196.
21
Ibid
22
Aditya Rahmadhony, “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia,” Palar (Pakuan Law Review) 06, no. 12 (2020): 92–119.
23
Pidato Pejabat Presiden Republik Indonesia Dimuka Sidang DPR GR Pada Tanggal 16
Agustus 1967 di Jakarta, http://soeharto.co/1967-08-16-pidato-pejabat-presiden-soeharto-di-muka-
sidang-dpr-gr/, hal. 48. Diakses pada tanggal 23 Juli 2020.
24
Turbay Ayala and Lord Caradon, “Declaration on Population: The World Leaders Statement,”
Studies in Family Planning 1, no. 26 (July 10, 1968): 1–3, http://www.jstor.org/stable/1965194.
580 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

a. Bahwa masalah populasi harus diakui sebagai elemen utama dalam


perencanaan nasional jangka panjang jika pemerintah ingin mencapai tujuan
ekonomi mereka dan memenuhi aspirasi rakyat mereka;
b. Bahwa sebagian besar orang tua ingin memiliki pengetahuan dan sarana
untuk merencanakan keluarga mereka; bahwa kesempatan untuk menentukan
jumlah dan jarak anak-anak adalah hak asasi manusia;
c. Bahwa perdamaian abadi dan bermakna akan tergantung pada ukuran yang
cukup besar pada bagaimana tantangan pertumbuhan populasi dipenuhi;
d. Tujuan keluarga berencana adalah memperkaya kehidupan manusia, bukan
pembatasannya; keluarga berencana itu, dengan memastikan peluang yang
lebih besar bagi setiap orang, membebaskan manusia untuk mencapai
martabat individu dan mencapai potensi penuhnya;
e. Bahwa keluarga berencana adalah kepentingan vital bangsa dan keluarga,
kami, yang bertanda tangan di bawah ini, dengan sungguh-sungguh berharap
bahwa para pemimpin di seluruh dunia akan berbagi pandangan kami dan
bergabung dengan kami dalam tantangan besar ini untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan orang di mana-mana.
Berdasarkan hal tersebut, masalah kependudukan merupakan unsur utama dalam
perencanaan nasional jangka panjang untuk mencapai pembangunan ekonomi yang
sejahtera. Keluarga berencana adalah kepentingan vital bangsa dan keluarga dalam
merencanakan penentuan jumlah anak, serta menjaga jarak atau menjarangkan
kelahiran sebagai hak asasi manusia. Pemerintah Orde Baru merancang Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang Pertama (1969-1994) yang dilaksanakan melalui
serangkain Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dimana program KB
masuk ke dalam Arah Pembangunan Jangka Panjang yang terdapat pada butir ke 8
(delapan) Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), bahwa:
“Agar Pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat
terlaksana dengan cepat, harus dibarengi dengan pengaturan pertumbuhan
jumlah penduduk melalui program keluarga berencana, yang mutlak harus
dilaksanakan dengan berhasil, karena kegagalan pelaksanaan keluarga berencana
akan mengakibatkan hasil usaha pembangunan menjadi tidak berarti dan dapat
membahayakan generasi yang akan datang. Pelaksanaan keluarga berencana
ditempuh dengan cara-cara sukarela, dengan mempertimbangkan nilai-nilai
Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu
diperlukan pula usaha penyebaran penduduk yang lebih wajar melalui
transmigrasi sebagai sarana dalam meningkatkan kegiatan pembangunan secara
merata di seluruh Tanah Air.”
Berdasarkan Arah Pembangunan Jangka Panjang (1969-1994), kemudian
dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun dalam bentuk GBHN,
sebagai politik hukum perencanaan pembangunan nasional secara umum, khususnya
juga termasuk program KB yang mutlak harus berhasil dan dilaksanakan dengan
sukarela dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat.
1. Periode Pembangunan Lima Tahun I (PELITA I) Tahun 1969/1970 –
1973/1974
Bila pada periode tahap perintisan program KB masih terbatas pada pendekatan
individual maka pada PELITA I sebagai awal program, tantangan terhadap ide
keluarga berencana masih sangat kuat, pendekatan kesehatan melalui pendekatan
klinik (clinical approach) dianggap paling tepat dan sangat menonjol, karena mudah
diterima oleh orang banyak. 25 Kebijakan keluarga berencana tercantum di dalam
25
Soetedjo Moeljodiharjo, dkk. “Bunga Rampai Gerakan KB Nasional: Mewujudkan Keluarga
Kecil Bahagia dan Sejahtera”, (Jakarta: BKKBN, 2008), hal. 42.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 581

Keputusan Presiden Nomor 319 Tahun 1968 tentang Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA), pada Bab I diuraikan mengenai tujuan, sasaran, dan
kebijaksanaan, bahwa:
“Program keluarga berencana tidak saja penting untuk mengurangi kecepatan
pertumbuhan penduduk sehingga berguna juga bagi kenaikan pendapatan per
jiwa penduduk, akan tetapi program ini juga bermanfaat bagi peningkatan
kesehatan ibu khususnya, dan keluarga pada umumnya.”
Sehingga berdasarkan REPELITA tersebut, pemerintah mengambil suatu
kebijaksanaan dan langkah-langkah strategis. Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 319 Tahun 1968 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun, terlampir pada
Bab IX mengenai Kesehatan dan Keluarga Berencana. Sebagai langkah awal
penerapan kebijakan, program KB dilaksanakan di pulau Jawa dan Bali sebagai
sasaran pertama. Karena terdapat 66 persen penduduk yang tinggal di atas tanah yang
hanya seluas 7 (tujuh) persen dari seluruh luas wilayah Indonesia. Pelaksanaan
program dimulai di Ibu Kota Provinsi, kemudian di Ibu Kota Kabupaten/Kota, dan
dalam tahun-tahun terakhir REPELITA diluaskan sampai tingkat kecamatan. Sasaran
selanjutnya untuk menghindari terjadinya lebih kurang 600.000 sampai dengan
700.000 kelahiran, dengan jalan mencapai 3.000.000 akseptor (“eligible women” yang
menerima program KB).26
Pada awal penyelenggaraannya, program KB merupakan program yang
diselenggarakan oleh masyarakat dengan bantuan, dukungan, serta perlindungan
sepenuhnya dari Pemerintah melalui Lembaga Keluarga Berencana Nasional
Indonesia. Akan tetapi, karena kekurangan fasilitas, tenaga, dan sistem pengelolaan,
organisasi baru ini dianggap tidak cukup memadai. 27 Untuk itu, sebagai upaya
penguatan program KB, pemerintah Orde Baru membentuk suatu badan sebagai
bentuk komitmen terhadap program KB di Indonesia. Presiden Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1970 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
yang segala penganggarannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Presiden menjadi penanggung jawab langsung dalam
penyelenggaraan Program KB.
Lebih kurang 2 (dua) tahun Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 berlaku,
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1972 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), dalam rangka memperluas kemampuan fasilitas dan sumber yang tersedia,
serta perlunya penyempurnaan organisasi untuk menggiatkan dan mengefektifkan
koordinasi. Pada masa ini, BKKBN dijadikan lembaga Pemerintah Non Departemen
yang berkedudukan di bawah Presiden yang dipimpin oleh Ketua BKKBN. Walaupun
BKKBN pada tingkat daerah masih dibentuk sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
Akan tetapi, keberadaan lembaga BKKBN di tingkat daerah, sudah jelas terlihat
bentuk kelembagaannya dibandingkan dengan yang diatur oleh Keputusan Presiden
Nomor 8 Tahun 1970 yang masih dalam bentuk Koordinator Daerah.
2. Periode Pembangunan Lima Tahun II (PELITA II) Tahun 1974/1975 –
1978/1979
Pengaruh yang nyata dari pelaksanaan program KB terhadap tingkat kelahiran
tidaklah mungkin dapat diukur dalam jangka waktu lima tahun. Namun demikian
sebagai ukuran sementara dapat dilihat dari kemajuan perkembangan jumlah akseptor
baru setiap tahunnya. Mendekati akhir masa PELITA I telah tercatat 2.528.000 orang

26
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/repelita-i---buku-ii/, diakses pada tanggal 20 Juli 2020.
27
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. Op.Cit, hal. 118.
582 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

akseptor baru, dari jumlah sasaran 3.000.000 orang akseptor berdasarkan target pada
masa PELITA I.28 Pada periode PELITA II, pembinaan dan pendekatan program yang
semula berorientasi pada kesehatan mulai dipadukan dengan sektor-sektor
pembangunan lainnya, yang lebih dikenal dengan “Pendekatan Integratif” melalui
Beyond Family Planning Program.29 Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang
terlampir pada Arah dan Kebijakan Pembangunan di dalam Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bahwa:
“Pelaksanaan program Keluarga Berencana terutama di Jawa dan Bali perlu
ditingkatkan, khususnya agar dapat mencapai masyarakat pedesaan seluas-
luasnya. Kesempatan untuk melaksanakan Keluarga Berencana di daerah-daerah
lain perlu mulai dikembangkan sehingga membantu peningkatan kesejahteraan
keluarga di daerah-daerah tersebut melalui tersedianya fasilitas-fasilitas
Keluarga Berencana. Sasaran Keluarga Berencana hendaknya meliputi seluruh
lapisan masyarakat atas dasar sukarela. Oleh karena kesediaan untuk
melaksanakan Keluarga Berencana pada akhirnya adalah suatu proses perubahan
sikap hidup masyarakat, maka dalam Pelita kedua kegiatan pendidikan dan
pelatihan para tenaga pelaksana teknis program Keluarga Berencana, melainkan
akan makin dikembangkan pula usaha-usaha pendidikan masalah kependudukan.
Untuk tercapainya tujuan dan sasaran-sasaran program Keluarga Berencana
dalam Pelita kedua, maka koordinasi antar Departemen, kegiatan-kegiatan
penerangan, penelitian mengenai motivasi dan sebagainya, serta kegiatan-
kegiatan lainnya yang menunjang pelaksanaan program Keluarga Berencana
perlu lebih ditingkatkan lagi.”
Program KB pada Pelita kedua difokuskan di pulau Jawa dan Bali, sasaran KB
dilakukan kepada seluruh lapisan masyarakat atas dasar sukarela. Pada tahun 1973 –
1975 dirintis Pendidikan Kependudukan melalui sekolah-sekolah sebagai pilot project,
kemudian pada tahun 1976 dimulailah proses kelembagaan pendidikan kependudukan
ke dalam kurikulum yang terpadu di sekolah-sekolah di Indonesia. 30 Periode Pelita
kedua, kelembagaan BKKBN semakin disempurnakan dan dikembangkan sebagai
lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1978 tentang
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. BKKBN dipimpin oleh Kepala dan
mempunyai struktur secara vertikal dalam bentuk Perwakilan BKKBN pada tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
3. Periode Pembangunan Lima Tahun III (PELITA III) Tahun 1979/1980 –
1983/1984
Politik Hukum program KB pada periode PELITA III terdapat pada kebijakan
Pola Pembangunan Nasional PELITA III, terlampir di dalam Ketetapan Majelis
Permusyawatan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara, bahwa:
a. Program Keluarga Berencana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
Ibu dan Anak dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia yang menjadi
dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan
kelahiran sekaligus dalam rangka menjamin terkendalikan pertumbuhan
penduduk Indonesia.
b. Pelaksanaan program Keluarga Berencana diusahakan diperluas ke seluruh
wilayah dan lapisan masyarakat termasuk daerah-daerah pemukiman.

28
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/repelita-ii---buku-iii/, diakses tanggal 3 Agustus 2020.
29
Soetedjo Moeljodiharjo, dkk. Op.Cit. hal. 43.
30
Ibid
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 583

c. Jumlah peserta KB ditingkatkan atas dasar kesadaran dan secara sukarela. Di


samping itu dipelihara kelestarian peserta KB yang telah sampai saat ini.
Untuk itu perlu tersedia fasilitas KB yang semakin meningkat dan dapat
dijangkau oleh masyarakat luas. Demikian pula perlu didorong peranan dan
tanggung jawab masyarakat melalui organisasi-organisasi masyarakat dan
pemuka-pemuka masyarakat, untuk memelihara peserta KB yang telah ada
dan meningkatkan jumlah peserta KB baru.
d. Penerangan dan pendidian mengenai masalah kependudukan untuk seluruh
lapisan masyarakat, terutama generasi muda, perlu ditingkatkan agar makin
disadari pentingnya masalah kependudukan pada umumnya dan masalah
mengendalikan keluarga kecil sebagai cara hidup yang layak.
Pendekatan kebijakan program KB pada periode PELITA III dilakukan melalui
pendekatan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan dilakukan secara sukarela,
melalui pendekatan organisasi masyarakat dan penggerakan pemuka-pemuka atau
tokoh-tokoh masyarakat dalam penyelenggaraan program KB. Pada periode ini pun
ditekankan pada kelestarian dan memelihara peserta KB aktif yang telah ada dan
meningkatkan jumlah peserta KB baru. Selain itu, dikembangkan strategi operasional
yang disebut Panca Karya dan Catur Bhava Utama, yang bertujuan mempertajam
segementasi sasaran dan memperkuat penunjang dan dukungan program, sehingga
diharapkan dapat mempercepat penurunan fertilitas.31
Sebagai upaya untuk mensukseskan dan membudayakan program
Kependudukan dan Keluarga Berencana, pemerintah Orde Baru mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1982 tentang Pemberian Penghargaan Bagi
Peserta Keluarga Berencana Lestari, dengan memberikan penghargaan kepada
pasangan suami dan istri usia subur peserta Keluarga Berencana Lestari, berupa
lencana dan piagam. Penghargaan diberikan kepada Pasangan Usia Subur (PUS) yang
secara terus-menerus dan aktif menjadi peserta keluarga berencana, berupa Lencana
Keluarga Berencana Lestari dan piagam penghargaan yang ditandatangani langsung
oleh Presiden. Kebijakan tersebut merupakan bentuk komitmen dan upaya pemerintah
Orde Baru, dalam rangka mempertahankan atau melestarikan peserta KB aktif dan
untuk lebih banyak menjaring peserta KB baru.
4. Periode Pembangunan Lima Tahun IV (PELITA IV) Tahun 1984/1985 –
1988/1989
Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, dikemukakan bahwa kebijaksanaan
kependudukan yang menyeluruh dan terpadu perlu dilanjutkan dan makin
ditingkatkan, serta diarahkan untuk menunjang peningkatan taraf hidup, kesejahteraan
dan kecerdasan bangsa serta tujuan-tujuan pembangunan lainnya. Pelaksanaan
kebijaksanaan dan program-program kependudukan yang meliputi antara lain
pengendalian kelahiran, penurunan tingkat kematian anak-anak, perpanjangan harapan
hidup, penyebaran penduduk dan tenaga kerja yang lebih serasi dan seimbang,
pengembangan potensi penduduk sebagai modal pembangunan perlu makin
ditingkatkan.
Penyelenggaraan program KB nasional secara operasional kemudian diuraikan
pada Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1984 tentang Rencana Pembangunan
Lima Tahun Keempat (REPELITA IV) 1984/1985 – 1988/1989, sebagai berikut: 1)
Mendorong pasangan usia subur yang istrinya belum berusia 30 tahun dan atau
jumlah anak kurang dari 3 orang agar mempunyai anak maksimal 2 orang; 2)
Membantu pasangan usia subur yang istrinya lebih dari 30 tahun atau anaknya 3

31
Soetedjo Moeljodiharjo, dkk. Op.Cit. hal. 43-44.
584 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

orang atau lebih agar tidak menambah anak yang dimilikinya; 3) Mengarahkan
generasi muda untuk menghayati nilai keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera serta
mendorong mereka untuk lebih banyak bergiat dalam bidang pendidikan, ke-
trampilan, kepramukaan, olah raga, kesenian dan sebagainya; 4) Memperkuat proses
pelembagaan secara fisik dalam usaha keluarga berencana sehingga secara kelompok
proses penanganan program semakin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kegiatan masyarakat sendiri; dan 5) Memperkuat proses pelembagaan yang bersifat
mental spiritual dan lebih bersifat dukungan psikologis. Berdasarkan program
REPELITA IV, konsep “keluarga dua anak” diperkenalkan sesuai dengan arah baru
untuk memperkuat keluarga berencana.32
Periode PELITA IV program KB dilakukan melalui pendekatan koordinasi
aktif, yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat mapun daerah dan adanya peran serta
masyarakat atau organisasi masyarakat secara aktif. Hal ini diperkuat berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1983 tentang Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional. Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1983 semakin
mempertegas keberadaan BKKBN sebagai Badan Koordinasi, yang menerapkan
prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kebijakan penyelenggaraan program
KB secara nasional. Untuk memperkuat pola koordinasi tersebut, dibuatlah sebuah
Unit Pelaksana Program Keluarga Berencana Nasional yang terdiri dari
Departemen/Instansi yang atas dasar fungsional mengadakan usaha-usaha dan
mengambil bagian dalam penyelenggaraan program KB nasional baik di pusat
maupun di daerah dan dalam bentuk perkumpulan/organisasi masyarakat serta
pelaksana-pelaksana lainnya atas dasar sukarela berdasarkan kemampuan sendiri.
Unit Pelaksana disetiap Departemen/Instansi pemerintah tingkat pusat, oleh
Menteri/Kepala Instansi bersangkutan ditunjuk pejabat Eselon I yang mempunyai
kaitan kerja dengan kegiatan keluarga berencana sebagai Pimpinan Unit Pelaksana.
Untuk lebih memperlancar koordinasi dan hubungan kerjasama, Unit Pelaksana wajib
melaporkan dalam rapat secara berkala antar Pimpinan BKKBN dengan masing-
masing Unit Pelaksana.
5. Periode Pembangunan Lima Tahun V (PELITA V) Tahun 1989/1990 –
1993/1994
GBHN Tahun 1989/1990–1993/1994 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1988 memberikan mandat kepada pemerintah selaku penerima mandat
(mandataris MPR), untuk melakukan upaya-upaya peningkatan penyelenggaraan
program KB pada periode PELITA V untuk semakin ditingkatkan dan diperluas ke
seluruh lapisan masyarakat terutama ditargetkan kepada penduduk usia muda serta ke
seluruh wilayah Tanah Air termasuk daerah pemukiman baru dan transmigrasi.
Sebagai tindak lanjut GBHN, pada PELITA V pemerintah mengeluarkan
kebijakan strategis dalam rangka penguatan pelaksanaan penyelenggaraan program
KB. Selain dimasukkan ke dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1989 tentang
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/90-1993/94, tetapi
juga hal yang terpenting adalah pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, sebagai bentuk keseriusan komitmen pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan program KB secara nasional.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 dibuat karena belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara menyeluruh mengenai perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Secara politik hukum program
KB pada PELITA V diadakan untuk meningkatkan kebijakan-kebijakan program KB

32
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. Op.Cit, hal. 170.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 585

pada PELITA sebelumnya dalam rangka mengendalikan laju pertumbuhan penduduk


melalui penurunan angka kelahiran, penurunan tingkat kematian ibu dan anak,
menunda usia perkawinan, pembinaan ketahanan keluarga, serta mewujudkan keluarga
kecil yang sejahtera. Kebijaksanaan kependudukan lebih diarahkan pada peningkatan
kualitas penduduk, karena penduduk merupakan pelaku utama dan sasaran
pembanguan nasional.
6. Periode Pembangunan Lima Tahun VI (PELITA VI) Tahun 1994/1995 –
1998/1999
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 mengamanatkan bahwa dalam
PJP II pembangunan kependudukan diarahkan pada peningkatan kualitas penduduk
dan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, serta perwujudan keluarga kecil,
bahagia, dan sejahtera. Pada PELITA VI dilakukan pendekatan baru, melalui
pendekatan keluarga dan peningkatan kesejahteraan penduduk yang bertujuan untuk
menggalakan partisipasi masyarakat dalam gerakan KB nasional. Pada periode
tersebut banyak sekali politik hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan untuk mendukung penyelenggaraan program KB secara nasional,
sebagai berikut:

Tabel 1. Produk Hukum pada PELITA VI

No Produk Hukum Uraian


1 Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 Sebagai tindak lanjut Pembangunan
tetang Garis-Garis Besar Haluan Jangka Panjang (PJP) I, PELITA VI
Negara merupakan proses kelanjutan,
peningkatan, perluasan, dan
pembaharuan dari Pembangunan Jangka
Panjang 25 Tahun Pertama. Pada periode
ini program KB dimasukan ke dalam sub
sektor Kependudukan dan Keluarga
Sejahtera yang diarahkan pada
peningkatan kualitas penduduk dan
pengendalian laju pertumbuhan
penduduk, serta perwujudan keluarga
kecil bahagia dan sejahtera. Upaya
persebaran penduduk melalui program
transmigrasi secara swakarsa lebih
ditingkatkan kembali. Sebagai wujud
operasional dari adanya Tap MPR No.
II/MPR/1993, diterbitkan Keputusan
Presiden Nomor 17 Tahun 1994 tentang
Rencana Pembangunan Lima Tahun
Keenam (REPELITA VI) Tahun
1994/1995-1998/1999.
2 Keputusan Presiden No. 44 Tahun Terjadi perubahan kelembagaan pada
1993 tentang Kedudukan, Tugas periode awal PJP II, penyelenggaraan
Pokok, Fungsi, Susunan program KB nasional. Secara
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri kelembagaan, BKKBN menjadi lembaga
Negara dan Keputusan Presiden setingkat Kementerian, disatukan dengan
No. 109 Tahun 1993 tentang Badan Kementerian Negera Kependudukan.
Koordinasi Keluarga Berencana Saat itu Prof. Dr. Haryono Suyono
Nasional menjadi Menteri Negara
586 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

Kependudukan/Kepala BKKBN. Fungsi


sebagai Badan Koordinasi masih
dilakukan dalam mengkoordinasikan
kegiatan seluruh instansi Pemerintah
yang berhubungan dengan kependudukan
pada pelaksanaan program Pemerintah
secara menyeluruh.
3 Peraturan Pemerintah No. 21 Sebagai peraturan pelaksana dari UU No.
Tahun 1994 tentang 10 Tahun 1992, dalam rangka
Penyelenggaraan Pembangunan penyelenggaraan pembangunan keluarga
Keluarga Sejahtera sejahtera diwujudkan melalui
pengembangan kualitas keluarga dan
keluarga berencana dan diselenggarakan
secara menyeluruh dan terpadu oleh
Pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Dengan dilakukan pendekatan 8
(delapan) fungsi keluarga: fungsi
keagamaan, sosial budaya, cinta kasih,
melindungi, reproduksi, sosialisasi dan
pendidikan, ekonomi, dan pembinaan
lingkungan.
4 Peraturan Pemerintah No. 27 Pengelolaan Perkembangan
Tahun 1994 tentang Pengelolaan Kependudukan, ditujukan pada
Perkembangan Kependudukan terwujudnya keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan antara kuantitas, kualitas,
dan pesebaran penduduk dengan
lingkungan hidup guna menunjang
pelaksanaan pembangunan yang
berkelanjutan.
5 Keputusan Presiden Nomor 90 Pemerintah Orde Baru mengeluarkan
Tahun 1995 tentang Perlakuan kebijakan bagi Keluarga Prasejahtera dan
Pajak Penghasilan Atas Bantuan Keluarga Sejahtera I, dengan
Yang Diberikan Untuk Pembinaan memberikan bantuan melalui pajak
Keluarga Prasejahtera dan penghasilan yang diberikan oleh Wajib
Keluarga Sejahtera I Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang
Pribadi yang berasal dari penghasilan
setelah Pajak Penghasilan yang
diperolehnya dalam 1 (satu) tahun pajak
yang berjumlah Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) ke atas yang
dipotong sampai setinggi-tingginya 2%
(dua persen) dari penghasilan. Hal ini
dilakukan dalam rangka peningkatan dan
mempercepat pelaksanaan pemerataan
pendapatan dan pengentasan kemiskinan
bagi Keluarga Prasejahtera dan Keluarga
Sejahtera I.
6 Keputusan Presiden No. 3 Tahun Dalam rangka menunjang kelancaran
1996 tentang Pembentukan Dana program penyelenggaraan Kredit Usaha
Bantuan Presiden Bagi Keluarga Sejahtera bagi keluarga
Penyelenggaraan Kredit Usaha Prasejahtera dan Sejahtera I (non-IDT) di
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 587

Keluarga Sejahtera 27 Propinsi, dipandang perlu membentuk


Dana Bantuan Presiden yang berasal dari
penyisihan sebagian hasil pengembangan
Dana Reboisasi. Dibentuk melalui
penyisihan sebagian bunga Dana
Reboisasi sebesar Rp. 100.000.000.000,-
(seratus miliar rupiah) sebagai pinjaman
tanpa bunga.
7 Instruksi Presiden No. 3 Tahun Presiden mengintruksikan kepada
1996 tentang Pembangunan Menteri Negara Perencanaan
Keluarga Sejahtera dalam rangka Pembangunan Nasional/Ketua Badan
Peningkatan Penanggulangan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Kemiskinan Menteri Kependudukan/Kepala Badan
Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional, Menteri Dalam Negeri, Para
Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya
untuk merencanakan program
Pembangunan Keluarga Sejahtera,
menyusun pedoman umum dan petunjuk
teknis pelaksanaan yang menyeluruh dan
terpadu guna kelancaran dan keterpaduan
pelaksanaan program Pembangunan
Keluarga Sejahtera sebagai upaya
nasional untuk meningkatkan
penanggulangan kemiskinan pada
umumnya.
8 Keputusan Presiden No. 92 Tahun Pada Ketetapan Presiden No. 90 Tahun
1996 tentang Perubahan Keputusan 1995, penarikan pajak terhadap badan
Presiden Nomor 90 Tahun 1995 maupun orang pribadi belum diwajibkan
tentang Perlakuan Pajak untuk memberikan bantuan dalam rangka
Penghasilan Atas Bantuan Yang pembinaan Keluarga Prasejahtera dan
Diberikan Untuk Pembinaan Sejahtera I. Sedangkan untuk Ketetapan
Keluarga Prasejahtera dan Presiden No. 92 Tahun 1996, pemerintah
Keluarga Sejahtera I mewajibkan bagi Wajib Pajak Badan
maupun Orang Pribadi untuk
memberikan bantuan pembinaan
Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I
sebesar 2% (dua persen) dari laba atau
penghasilan setelah Pajak Penghasilan
dalam 1 (satu) tahun pajak.
Sumber: Peraturan Perundang-undangan

Dalam GBHN 1993 dan arahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 terlihat
jelas bahwa sasaran pembangunan kependudukan harus diarahkan pada peningkatan
kualitas penduduk, pengendalian laju pertumbuhan penduduk, pengarahan mobilitas
penduduk, dan pembangunan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera.33 Kebijakan
penyelenggaraan program KB pada periode PJP II lebih mengutamakan pendekatan
pembangunan keluarga sejahtera dan kesehatan reproduksi. Program KB pada periode

33
Haryono Suyono, “Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Berencana: Implikasi Program Aksi
Kairo Di Indonesia,” Populasi 8, no. 1 (2016): 1–16. hal. 2.
588 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

PELITA VI berada pada masa “puncak keemasannya”, hal ini didukung oleh politik
hukum yang kuat pemerintah Orde Baru pada saat itu dengan mengeluarkan berbagai
peraturan perundang-undangan maupun aturan kebijakan dalam mendukung program
KB. Penyelenggaraan program KB menjadi suatu “Gerakan Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera Nasional”, yang dilaksanakan secara menyeluruh
dan terpadu dengan program pembangunan lainnya. BKKBN mengkoordinasikan
penyelenggaraan gerakan KB oleh beberapa Kementerian, Pemerintah Daerah, dan
sukarelawan atau dapat juga disebut Unit-unit Pelaksana dan pelaksana.

2.3. Politik Hukum Program KB Masa Orde Reformasi


Krisis ekonomi tahun 1998 sebagai akibat dimulainya keruntuhan rezim Orde
Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Agenda perubahan dilakukan
sebagai tuntutan dari reformasi, salah satu yang terpenting adalah pelaksanaan
otonomi daerah seluas-luasnya. Orde Baru menanamkan sistem kekuasaan yang
sentralistik, segala keputusan dan kebijakan berasal dari pemerintah pusat. Pemerintah
daerah hanya mengikuti dan melaksanakan kebijakan yang telah diberikan oleh
pemerintah pusat. Akan tetapi pada masa otonomi daerah, terjadi perubahan yang
sangat besar khususnya dalam pengambilan kebijakan berdasarkan hak, wewenang,
dan kewajiban masing-masing daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintah serta kepentingan masyarakat. Perubahan sistem sentralisasi menjadi
sistem desentralisasi, turut mempengaruhi politik hukum program KB di Indonesia.
Hal ini tergambar dari berbagai bentuk kebijakan dan komitmen terkait
penyelenggaraan program KB yang lahir dari masing-masing masa pemerintahan,
dimulai dari Presiden B. J. Habibie sampai dengan Presiden Joko Widodo.
1. Presiden B. J. Habibie (1998-1999)
Amanat GBHN tahun 1999-2004 berdasarkan Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1999, yaitu untuk melaksanakan reformasi di segala bidang. Khususnya
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, Pemerintahan B. J.
Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, mengatur pengalihan
kewenangan pusat menjadi kewenangan daerah, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lainnya. Kemudian Pasal 129 ayat (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, instansi vertikal di daerah selain yang disebutkan pada Pasal 7
ayat (1) menjadi perangkat daerah yang segala kekayaannya dialihkan menjadi milik
daerah. Dengan demikian, adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
menyebabkan instansi vertikal BKKBN ditingkat daerah mengalami perubahan.
Dalam rangka meningkatkan kepastian hukum dan menunjang reformasi,
Presiden Habibie mengeluarkan sebuah Keputusan Presiden Nomor 98 Tahun 1998
tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan
Pajak Penghasilan Atas Bantuan yang Diberikan Untuk Pembinaan Keluarga
Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I sebagaimana Telah Diubah Dengan Keputusan
Presiden Nomor 92 Tahun 1996. Sehingga pajak penghasilan yang dibebankan kepada
wajib pajak badan dan wajib pajak perorangan untuk bantuan keluarga prasejahtera
dan keluarga sejahtera dicabut dan tidak berlaku lagi. Selain itu, Presiden Habibie
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1998 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara dengan
menempatkan Menteri Negara Kependudukan merangkap sebagai Kepala BKKBN.
Presiden B. J. Habibie juga mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Program Aksi Kependudukan, sebagai rencana aksi dari
Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Tahun
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 589

1994 beserta hasil telaahan dan kajian pelaksanaan Program Aksi Kependudukan
dalam sidang khusus ke-21 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York
Tahun 1999. Program Aksi Kependudukan yang dilakukan bukan hanya untuk
program KB saja, akan tetapi dilaksanakan secara menyeluruh meliputi pengelolaan
informasi kependudukan, administrasi kependudukan, dan pengarahan perkembangan
kependudukan. Pengelolaan Program Aksi Kependudukan yang meliputi ruang
lingkup tersebut di atas dilakukan melalui komisi kependudukan. Di tingkat pusat
dibentuk oleh Menteri Negara Kependudukan/Kepala Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional dan di tingkat daerah dibentuk oleh Bupati/Walikota.
2. Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS) Tahun 2000–2004 yang ditandatangani oleh Presiden
Abdurrahman Wahid sesuai dengan amanat TAP/IV/MPR/1999 tentang Garis Besar
Haluan Negara tahun 1999-2004. Sebagai pedoman penyelenggaraan negara untuk
melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan
pembangunan. Kebijakan mengenai program Keluarga Berencana termasuk ke dalam
salah satu agenda pokok pembangunan yang terdapat pada butir ke 4 (empat) yaitu
membangun kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya. Tujuan pembangunan
program KB di dalam PROPENAS 2000–2004 adalah dengan meningkatnya kualitas
program KB dalam memenuhi hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, serta
menurunnya pertumbuhan penduduk Indonesia agar terwujud keluarga kecil yang
bahagia dan sejahtera.
Dalam rangka penguatan kelembagaan, pemerintah melakukan stategi kebijakan
meliputi peningkatan mutu pelayanan KB, perluasan cakupan pelayanan KB yang
menjangkau seluruh pelosok Indonesia, penajaman segmentasi sasaran, kemandirian
program KB, penyediaan alat dan obat serta pelayanan KB yang bermutu, integrasi
program KB dalam pemenuhan hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, serta
kesetaraan jender dengan meningkatkan partisipasi pria dalam ber-KB. Untuk
mewujudkan itu semua, terdapat sasaran utama kinerja program KB antara lain: 1)
menurunnya pasangan usia subur (PUS) yang tidak terlayani KB menjadi sekitar 6
persen; 2) meningkatnya partisipasi pria dalam ber-KB menjadi sekitar 10 persen; 3)
menurunnya tingkat kelahiran yaitu angka TFR menjadi 2,4 per perempuan.34 Untuk
mendukung kebijakan tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2000 tentang Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional. Dengan tujuan Program KB dan pembangunan keluarga serta
pemberdayaan perempuan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dengan
meningkatkan peran serta semua pihak secara terkoordinasi, terintegrasi, dan
tersinkronisasi. BKKBN dipimpin oleh seorang Kepala yang dijabat oleh Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan.
Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid berfokus pada pelaksanaan
pengarusutamaan gender (PUG) di Indonesia. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2000, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, PUG dilaksanakan
di sembilan sektor pembangunan salah satunya sektor Keluarga Berencana. Untuk
mendukung PUG masuk ke dalam sektor Keluarga Berencana, Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN mengeluarkan suatu keputusan berupa
Surat Keputusan Nomor 10/HK-010/B5/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
BKKBN, dengan membentuk 3 (tiga) unit kerja sekelas eselon II yaitu Pusat Pelatihan

34
Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000-2004, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2000 Nomor
206, Lampiran.
590 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

Gender, Direktorat Partispasi Pria, dan Direktorat Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi, dan
Anak. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid hanya berlangsung 18 bulan yang
berakhir pada tanggal 23 Juli 2001, kemudian digantikan oleh Megawati
Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia.
3. Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Kebijakan Presiden Megawati dalam bidang Kelurga Berencana secara umum
masih melanjutkan pemerintahan sebelumnya yaitu menurunkan fertilitas, peningkatan
kualitas pelayanan, dan peningkatan kesertaan KB Pria. PROPENAS 2000-2004
masih digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pembanguan lima tahunan yang
responsif gender, khususnya untuk sektor Keluarga Berencana pelaksanaan
pengarusutamaan gender mengusung beberapa isu, antara lain Isu kesehatan ibu, Isu
kematian bayi, isu kemiskinan, isu kesehatan reproduksi; dan Isu kesertaan dan
keadilan gender.35
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dalam rangka mendukung terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan.
Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN di Kabupaten/Kota dan
di Propinsi DKI Jakarta diserahkan kepada pemerintah daerah terhitung mulai tanggal
1 Januari 2004, sedangkan untuk tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN
di Provinsi masih dilaksanakan oleh pemerintah sampai ada ketentuan lebih lanjut
kecuali untuk Propinsi DKI Jakarta. 36 Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, membatasi jumlah
kelembagaan berbentuk dinas sebanyak 14 dan delapan lembaga berbentuk badan dan
kantor. Keadaan demikian menjadi sebuah persoalan bagi pelaksanaan program KB di
lapangan, desentralisasi di era otonomi daerah akan membawa perubahan pada
kewenangan dan struktur organisasi pengelola KB di daerah serta hubungan kerja
yang bersifat hierarki antara BKKBN pusat dengan pengelola KB di tingkat daerah.37
Kepastian dilembagakannya program KB di tingkat Kabupaten/Kota masih
belum dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Politik hukum untuk
melindungi program KB yang dilaksanakan di tingkat Kabupaten/kota belum terlihat
pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003. Peraturan Pemerintah tersebut
hanya mengatur jumlah kelembagaan yang boleh dibentuk, pada prinsipnya
dimaksudkan memberikan keleluasaan yang luas kepada daerah untuk menetapkan
kebutuhan organisasi sesuai dengan penilaian daerah masing-masing. Tidak ada
rumusan yang jelas mengenai pembagian urusan kelembagaan daerah, semuanya
sesuai dengan penilaian daerah masing-masing. Dengan demikian apabila kepala
daerah tidak mempunyai komitmen atau pengetahuan tentang program KB, maka
secara kebijakan, kelembagaan, anggaran, dan sumber daya tidak mendapatkan
dukungan berarti. Kepala daerah lebih memilih urusan-urusan yang dapat
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daripada mengurusi program KB.
4. Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Pada masa ini, semangat disentralisasi mengalami babak baru, dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, meskipun konsekuensi Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

35
Direktorat KP3, Evaluasi Pengarusutamaan Gender Di Sembilan Sektor Pembangunan Tahun
2006 (Jakarta: BAPPENAS DAN KEMENPP, 2006), hal. 2.
36
Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Sebagaimana Telah Beberapa Kali
Diubah Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003, Pasal 114 ayat (2) dan (3).
37
Sri Sunarti Purwaningsih, “Desentralisasi Program Keluarga Berencana: Tantangan Dan
Persoalan Kasus Provinsi Kalimantan Barat,” Jurnal Kependudukan Indonesia VII, no. 2 (2012): 109–
125. Hal. 113.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 591

Pemerintahan Daerah masih berjalan, yaitu Penyerahan Personil, Peralatan,


Pembiayaan dan Dokumen (P3D) dari Pemerintah Pusat ke pada Pemerintah
Kabupaten/Kota. Secara konsepsi, otonomi daerah telah mengubah cara pengelolaan
daerah yang semula berifat komando pusat (top down) menjadi mengindentifikasi
kebutuhan daerah (bottom up).
Sebagai tindak lanjut Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Urusan Keluarga Berencana dan
Keluarga Sejahtera merupakan urusan wajib berkaitan dengan pelayanan dasar. Wadah
organisasi perangkat daerah dilakukan perumpunan berdasarkan kedekatan fungsi,
bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera dirumpunkan dengan bidang
Pemeberdayaan Perempuan. Akan tetapi pertimbangan kebutuhan dan kemampuan
daerah dalam penggabungan organisasi perangkat daerah menjadi hal yang utama,
maka dari itu, muncul perumpunan yang secara urusan tidak berkaitan erat.
Pada akhir masa periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
tahun 2009, diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Ditetapkannya Undang-
Undang Nomor 52 Tahun 2009, membawa berbagai implikasi terhadap kebijakan
khususnya dari sisi kelembagaan, perubahan organisasi akibat perubahan nomenklatur
merupakan salah satu perubahan yang fundamental. Karena dengan perubahan
nomenklatur menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
membawa perubahan terhadap tugas dan fungsi organisasi organisasi yang lebih luas.
Perubahan tersebut dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010
tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang menyatakan
bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional merupakan Lembaga
Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
presiden dengan tugas pemerintahan di bidang pengendalian penduduk dan
penyelenggaraan keluarga berencana.
Presiden SBY mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Hari Keluarga Nasional, yang menetapkan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga
Nasional. Meskipun Peringatan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) sudah
diperingati setiap tahunnya sejak tahun 1973, akan tetapi Ketetapannya baru ada
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 2014. Lima tahun setelah
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah
Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga sebagai peraturan
pelaksanaannya.
Tampaknya pada akhir periode pemerintahannya, perhatian SBY terhadap isu
kependudukan semakin besar. Selain menetapkan Keputusan Presiden Nomor 39
Tahun 2014 tentang Hari Keluarga Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 87
Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,
Keluarga Berecana, dan Sistem Informasi Keluarga, juga menetapkan Peraturan
Presiden Nomor 153 Tahun 2014 tentang Grand Design Pembangunan Kependudukan.
Komitmen pemerintah tersebut terlihat dalam dokumen Buku 2 Grand Design
Pembangunan Kependudukan 2011-2035, pemerintah saat itu menyadari kompleknya
permasalahan kependudukan. Sementara itu, dalam skala nasional ada dua aspek
penting yang perlu dicatat. Pertama adalah perubahan pemerintahan dari Orde Baru ke
Orde Reformasi yang diawali dengan krisis multidimensional tahun 1998. Krisis
592 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

ekonomi telah menyebabkan menurunnya kemampuan ekonomi pemerintah untuk


mendukung kebijakan kependudukan, khususnya program keluarga berencana,
sebagaimana dilakukan pada masa Orde Baru.
5. Joko Widodo (2014 – sekarang)
Berdasarkan program Nawa Cita sebagai Agenda Prioritas Pembangunan yang
digagas Pemerintahan Jokowi, BKKBN sesuai dengan tugas dan fungsinya mendapat
mandat untuk mewujudkan Agenda Prioritas Pembangunan (Nawacita) Pemerintah
periode 2015-2019, terutama pada Agenda Prioritas ke-3 “Membangun Indonesia dari
Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam rangka Negara
Kesatuan”, Agenda Prioritas ke-5 “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia”
serta Agenda Prioritas ke-8 ”Revolusi Karakter Bangsa” melalui Pembangunan
Kependudukan dan Keluarga Berencana.
Pemerintahan Jokowi merasakan beberapa permasalahan yang perlu mendapat
perhatian khusus, antara lain stagnasi pencapaian program dan semakin melemahnya
implementasi Program KB di lini lapangan. Presiden mengamanatkan kepada BKKBN
agar dapat menyusun suatu kegiatan/program yang dapat memperkuat upaya
pencapaian target/sasaran Pembangunan Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga
Berencana 2015-2019, dapat menjadi ikon BKKBN serta dapat secara langsung
bersentuhan dan memberikan manfaat kepada masyarakat Indonesia di seluruh
tingkatan wilayah.
Sehubungan dengan itu, maka untuk menjawab tantangan tersebut digagaslah
program Kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB). Melalui wadah Kampung
KB ini nantinya diharapkan pelaksanaan program KKBPK dan program-program
pembangunan lainnya dapat berjalan secara terpadu dan bersamaan. Hal ini sesuai
dengan amanat yang tertuang dalam Agenda Prioritas Pembangunan terutama agenda
prioritas ke 3 yaitu “Memulai pembangunan dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan". Sejak dicanangkan oleh
Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Januari 2016, disusul kemudian dengan
dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor No. 440/70/SJ/2016
tanggal 11 Januari 2016 tentang Pencanangan dan pembentukan Kampung KB,
Kampung KB terus tumbuh pesat. Semangat membentuk dan mendirikan Kampung
KB di seluruh Nusantara telah menghasilkan ratusan Kampung KB.38
Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa
implikasi terhadap pengelolaan tata pemerintahan pusat dan daerah. Perubahan urusan
yang semula Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera berubah menjadi urusan
Pengendalian Penduduk, yang dikategorikan sebagai urusan wajib bukan pelayanan
dasar. Bentuk kelembagaan di daerah pun mengalami perubahan. Sebagaimana yang
dimaksud Pasal 217 ayat (1) yang menyatakan bahwa ”Dinas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 209 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d dibentuk untuk melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah”. Pembentukan Dinas ini
dilakukan berdasarkan pemetaan untuk menentukan tipe/besaran dinas. Ketentuan ini
membuat semua daerah merestrukturisasi perangkat daerahnya. Selain itu, isu yang
penting lainnya sebagai implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, adalah
proses pengalihan Penyuluh Keluarga Berencana (Penyuluh KB) yang semula sebagai
PNS Kabupaten dan Kota menjadi PNS BKKBN dan pembenahan seluruh perangkat
daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

38
Diakses pada https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/9841/kampung-kb-inovasi-
strategis-memberdayakan-masyarakat/0/artikel_gpr, tanggal 27 Agustus 2020.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 593

III. HUBUNGAN POLITIK HUKUM PROGRAM KB DENGAN CAPAIAN


KEBERHASILAN PROGRAM

Perubahan politik hukum program keluarga berencana berpengaruh terhadap


kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja. Pendekatan
Orde Lama membangun bangsa dalam perspektif kuantitas penduduk, semakin banyak
penduduk maka akan semakin kuat sebuah negara. Upaya Soekarno untuk menekan
kepadatan penduduk yaitu melalui program transmigrasi, dikarenakan wilayah
Indonesia yang luas diperlukan banyak orang untuk menggarapnya. Hal ini dapat
terlihat pada tabel 2, pada awal kemerdekaan laju pertumbuhan penduduk sekitar 2
persen. Akan tetapi kebijakan pronatalis yang diambil oleh Soekarno, menyebabkan
kenaikan laju pertumbuhan penduduk menjadi 2.31% pada akhir jabatannya. Keadaan
ini berpengaruh juga terhadap tingginya Total Fertility Rate (Angka Kelahiran Total)
sekitar 5.6 hasil Sensus Penduduk tahun 1971, artinya jumlah anak yang dimiliki
setiap perempuan di Indonesia sekitar 5 hingga 6 anak. Menurut Wilson dan Omas,39
hal ini dapat disebabkan pasangan suami istri melanjutkan untuk mempunyai
keturunan atau pasangan suami istri yang baru menikah mulai mempunyai keturunan
setelah perang, tingkat kelahiran yang tinggi di Indonesia pada masa lalu juga
disebabkan karena struktur perekonomian yang bersifat tradisional yang memerlukan
banyak tenaga kerja di sektor pertanian yang mengakibatkan keluarga-keluarga
memilih mempunyai anak banyak supaya ada cukup tenaga kerja untuk bekerja di
sektor pertanian.
Berbeda dengan Orde Lama, pada masa Orde Baru pembangunan nasional lebih
kepada pendekatan membangun kualitas dan kesejahteraan manusianya. Soeharto
memandang bahwa pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat
dapat terlaksana dengan cepat, harus dibarengi dengan pengaturan pertumbuhan
jumlah penduduk melalui program keluarga berencana. Perubahan dari Orde Lama ke
Orde Baru pada 1965/1967 melibatkan penataan kembali kekuasaan politik
sedemikian rupa sehingga hambatan utama keluarga berencana (politik Islam dan
perencanaan ekonomi nasionalistik) digantikan oleh kekuatan yang mendukung
pengendalian kelahiran (otoritarianisme sekuler dan modernisasi perencanaan
teknokratis).40

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Angka Kelahiran Total pada setiap
masa pemerintahan
Capaian Program KB
Laju Angka
Konfigurasi
No Pemerintahan Masa Pertumbuhan Kelahiran
Politik
Penduduk Total
(LPP) (AKT)
Demokrasi (1945-1959) 2.15% -
Soekarno (1945- Liberal
1. 1967) - Orde
Lama Demokrasi (1959-1967) 2.13% -
Terpimpin

39
Wilson Rajagukguk and Omas Bulan Samosir, "Dinamika Demografi Indonesia 1950-2100."
(Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015). hal. 16.
40
Terence H Hull, “Caught in Transit: Questions About the Future of Indonesian Fertility
Indonesian Family Planning in a Changing Political Order,” no. 1985 (2001): 409–424. hal. 410.
594 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

Capaian Program KB
Laju Angka
Konfigurasi
No Pemerintahan Masa Pertumbuhan Kelahiran
Politik
Penduduk Total
(LPP) (AKT)
- Repelita I 2.31% 5.6
& II
(1969- 1.98% 4.6
1979)
- Repelita 1.44% 2.8
Soeharto (1967- Otoriter
III & IV
2. 1998) - Orde Birokratik/
(1979-
Baru sentralistik
1989)
- Repelita
V & VI
(1989-
1997)
Demokratis
3. B.J. Habibie (Transisi (1998-1999) - -
desentralisasi)
Abdurrahman Demokratis/
4. (1999-2001) 1.49% 2.3
Wahid desentralisasi
Megawati Demokratis/
5. (2001-2004) - 2.6
Soekarnoputri desentralisasi
1.49% 2.6
Susilo Bambang Demokratis/
6. (2004-2014)
Yudhoyono desentralisasi
1.49% 2.6
1.36% 2.4
Demokratis/ (2014-
7. Joko Widodo
desentralisasi sekarang)
1.31% 2.4
Sumber: BPS, SDKI 2012, SDKI 2017, SKAP 2019

Masifnya gerakan KB pada masa Orde Baru tidak lepas dari adanya sistem
politik dibawah kepemimpinan Soeharto yang memiliki karakteristik unik, Presiden
melakukan kontrol yang besar terhadap para menteri serta gubernur dalam sistem
kesatuan Indonesia. 41 Pemerintah provinsi dan kabupaten diberikan insentif besar
untuk meningkatkan prevalensi kontrasepsi dan memiliki otonomi untuk
menyesuaikan input program keluarga berencana dengan kebutuhan dan kondisi
setempat. 42 Departemen/Instansi pemerintah pusat sebagai unit pelaksana, wajib
menyampaikan laporan tertulis secara berkala dan sewaktu-waktu kepada Kepala
BKKBN mengenai kegiatan-kegiatan gerakan keluarga berencana dan pembangunan
keluarga sejahtera nasional yang dilaksanakannya. Sebagai bentuk komitmen
pemerintah Orde Baru terhadap program KB, pemerintah mempublikasikan program-
programnya melalui berbagai media. Salah satunya adalah pada tahun 1970-1979
beredar uang logam dengan gambar program sosial yang menjadi agenda pemerintah
zaman Orde Baru seperti program Keluarga Berencana dan Tabanas, karena pada

41
Jeremy Shiffman, “Political Management in the Indonesian Family Planning Program,”
International Family Planning Perspectives 30, no. 1 (2004): 27–33. hal. 27.
42
John W. Molyneaux and Paul J. Gertler, “The Impact of Targeted Family Planning Programs
in Indonesia,” Population and Development Review 26 (2000): 61–85. hal. 82 – 83.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 595

masa itu Presiden Soeharto sedang menggiatkan program pembangunan di


Indonesia.43
Keadaan politik yang relatif stabil dan kuatnya kekuasaan sentralistik pada masa
itu, menjadikan kontrol pelaksanaan pembangunan ada di dalam satu titik kekuasaan.
Peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melalui “Dwifungsi ABRI”
menjadi kekuatan dominan dalam pemerintahan, bahkan pada kurun waktu tersebut
dari presiden, menteri, gubernur, dan bupati/walikota hampir semua berasal dari
ABRI.44 Masa Orde Baru membangun politik hukum atau kebijakan yang kuat dan
masif, kemudian didukung oleh pelaksanaan pemerintahan yang otoriter birokratik
sebagai upaya untuk mengamankan pembangunan. Keadaan demikian menguntungkan
khususnya bagi program KB dalam mempengaruhi penurunan laju pertumbuhan
penduduk (LPP) dan angka kelahiran total (AKT) di Indonesia. Terbukti dalam 6
(enam) Repelita, dimulai dari Repelita I dan II (1969-1979) LPP 2.31% dan AKT 5.6
per wanita, dalam periode 10 tahun terjadi penurunan LPP menjadi 1.98% dan AKT
menjadi 4.6 per wanita pada Repelita III dan IV (1979-1989). Kemudian trend ini
berlanjut pada dua Repelita berikutnya, yaitu Repelita V dan VI (1989-1997) LPP
turun menjadi 1.44% dan 2.8 per wanita untuk AKT. Dibalik kontroversinya
kebijakan yang diambil Orde Baru saat itu, terdapat keberhasilan dalam memajukan
program KB dalam menekan laju pertumbuhan penduduk dan angka kelahiran total.
Sehingga pada tanggal 8 Juni 1989, Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan
tertinggi di bidang kependudukan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu United
Nations Population Award.
Pada awal runtuhnya rezim Orde Baru menuju Orde Reformasi, kondisi ekonomi
dan politik di Indonesia masih belum stabil. Hal ini terlihat sejak turunnya Soeharto
kemudian digantikan oleh wakilnya Habibie yang hanya 8 bulan menjabat, dilanjutkan
masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang kemudian dimakzulkan oleh parlemen
dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri telah menunjukkan masih adanya konflik
yang melemahkan elit nasional. Menurut Terence H. Hull, 45 dalam konteks yang
demikian, sulit bagi bangsa untuk fokus pada isu-isu seperti kebutuhan kesehatan
reproduksi perempuan, masalah pengukuran kesuburan, dan penggunaan kontrasepsi
ataupun kematian.
Krisis politik telah mempengaruhi fokus perhatian pemerintah yang lebih pada
kebijakan politik. Oleh karena itu kebijakan kependudukan di tahun-tahun awal
reformasi terabaikan. Sejalan dengan perubahan pemerintahan tersebut, pemerintah
melaksanakan otonomi daerah yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun, melaksanakan, serta melakukan
monitoring dan evaluasi pembangunan, termasuk di dalamnya kebijakan
kependudukan. Seperti halnya yang terjadi di pusat, pemerintah kabupaten/kota lebih
memfokuskan pada pembangunan politik dan ekonomi serta cenderung mengabaikan
pembangunan kependudukan. Akibatnya adalah komitmen politik menurun
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Oleh banyak kalangan, hal ini diklaim
sebagai salah satu faktor yang ikut mempengaruhi penurunan kinerja kebijakan
kependudukan di Indonesia.46

43
Puji Antari, Naomi Haswanto, and Alvanov Zpalanzani Mansoor, “Kajian Grafis Uang Logam
Indonesia Periode Tahun 1951-2009,” Jurnal Komunikasi Visual WIMBA 2, no. 1 (2015): 33–39,
http://jurnalwimba.com/index.php/wimba/article/view/44. hal. 37.
44
Dede Wahyu Firdausi, “Kebijakan Dwifungsi ABRI Dalam Perluasan Peran Militer Di Bidang
Sosial-Politik Tahun 1966-1998,” Jurnal UPI (2016): 1–13. hal. 6.
45
Hull, “Caught in Transit: Questions About the Future of Indonesian Fertility Indonesian
Family Planning in a Changing Political Order.” hal. 411.
46
Buku II Grand Design Pembangunan Kependudukan 2011-2035, Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, 2012
596 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

Terlebih di masa pemerintahan Megawati, BKKBN di tingkat kabupaten/kota


dan BKKBN Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 diserahkan ke daerah, dalam
rangka mewujudkan pelaksanaan desentralisasi. Beberapa kabupaten/kota tampaknya
tidak menganggap program KB sebagai prioritas penting, bahkan enam minggu
setelah kewenangan resmi dilimpahkan, lebih dari 50 kabupaten/kota masih belum
secara resmi memulai proses pengesahan peraturan daerah untuk menetapkan struktur
pemerintah daerah yang akan bertanggung jawab atas program KB di kabupaten
tersebut.47 Pada tahun 2007, jumlah Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) di seluruh
Indonesia hanya tersisa dua pertiga dari jumlah awal pada tahun 2001 sekitar 35.000
petugas.48 Akibatnya, keadaan tersebut berdampak kepada kenaikan angka kelahiran
total (Total Fertility Rate) pada angka 2.6 per wanita yang sebelumnya pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid berada di angka 2.3 per wanita.
Angka kelahiran total terus stagnan di angka 2.6 per wanita sejak awal
penyerahan kelembagaan BKKBN ke pemerintah daerah awal tahun 2004. Keadaan
demikian terus berlanjut pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
pemerintah menyadari keadaan tersebut yang kemudian menerbitkan Undang-Undang
Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga. Undang-Undang tersebut mempertegas keberadaan BKKBN sebagai
lembaga yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program kependudukan
dan keluarga berencana ditingkat nasional, untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota
dilaksanakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD).
Provinsi dan kabupaten/kota diamanatkan untuk membentuk BKKBD Provinsi
dan Kabupaten/Kota. Amanat pembentukan BKKBD ini tidak berjalan dengan mulus,
hal ini dikarenakan terdapat ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan
khususnya yang berkaitan dengan Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Kemudian diperkuat dengan adanya Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 061/1259/SJ tanggal 7 April 2011 dan SE Mendagri No.
061/294/SJ, tanggal 1 Februari 2012 yang berisi perintah, bahwa urusan pengendalian
penduduk dan KB tetap dimasukkan dalam rumpun urusan lain, seperti pemberdayaan
perempuan, perlindungan anak, atau catatan sipil. 49 Inilah yang menghambat dan
membuat ragu pemerintah daerah untuk membentuk BKKBD Provinsi dan BKKBD
Kabupaten/Kota. Meskipun di provinsi diamanatkan membentuk BKKBD, akan tetapi
lembaga vertikal BKKBN tetap ada dengan nomenklatur Perwakilan Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Provinsi. Pembentukan BKKBD di daerah
tidak dapat terwujud sesuai amanat Undang-Undang 52 Tahun 2009, dikarenakan lima
tahun kemudian terbitlah Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, dengan menempatkan urusan pengendalian penduduk dan keluarga berencana
termasuk ke dalam urusan pemerintahan konkuren wajib non pelayanan dasar.
Kebijakan program KB di masa Pemerintahan Joko Widodo, disesuaikan dengan
program Nawacita sebagai agenda prioritas pembangunan. Seperti halnya program
Nawacita ke 3 (tiga) yaitu “Memulai pembangunan dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan", BKKBN
mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan membuat kampung KB, dengan
tujuan untuk penguatan program KB yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh dan
47
Adrian C Hayes, “Towards a Policy Agenda for Population and Family Planning in Indonesia,
2004-2015,” Jurnal Kependudukan Indonesia 1, no. 1 (2016): 1–11. hal. 4.
48
Ukik Kusuma Kurniawan, Hadi Pratomo, and Adang Bachtiar, “Kinerja Penyuluhan Keluarga
Berencana Di Indonesia: Pedoman Pengujian Efektivitas Kinerja Pada Era Desentralisasi,” Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 5, no. 1 (2010): 3–8,
http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/view/155, hal. 4.
49
Moh. Hamudy, “Pembentukan Kelembagaan Keluarga Berencana Di Kabupaten Sukabumi
Dan Kota Bitung,” Jurnal Bina Praja 07, no. 01 (2015): 21–36. hal. 33.
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 597

untuk masyarakat dengan melibatkan mitra dan lintas sektor terkait. Untuk
memperkuat kinerja program KB di lini lapangan, pemerintah berdasarkan Undang-
Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, melakukan proses pengalihan
terhadap Penyuluh Keluarga Berencana (PKB). PKB tersebut dialihkan kembali
sebagai pegawai BKKBN sejak proses desentralisasi tahun 2004, yang sebelumnya
merupakan pegawai pemerintah daerah kabupaten/kota.
Belum terkonfirmasi secara pasti apakah kebijakan membentuk kampung KB
dan pengalihan kembali para PKB menjadi pegawai BKKBN berdampak signifikan
terhadap capaian program KB, khususnya capaian terhadap laju pertumbuhan
penduduk dan angka kelahiran total (TFR). Akan tetapi, sejak dicanangkannya
kampung KB oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 dan adanya pengalihan
PKB menjadi pegawai BKKBN pada tahun 2018, terjadi penurunan terhadap LPP dan
TFR berdasarkan hasil proyeksi BPS terhadap laju pertumbuhan penduduk 2010-2016
berada pada angka 1.36% dan TFR menurut data SDKI 2017 50 dan SKAP 2019 51
berada pada angka 2.4 per wanita.

IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa ada
keterkaitan antara politik hukum atau kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu rezim
dalam mengintervensi suatu program terhadap capaian program yang akan dicapai.
Hal ini terlihat pada pelaksanaan program Keluarga Berencana, sejak masa Soekarno,
Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono,
sampai dengan masa Joko Widodo terdapat perbedaan kebijakan. Soekarno dengan
sikap pronatalist-nya, berdampak pada tingginya laju pertumbuhan penduduk dan
tingkat kelahiran total, karena menurut Soekarno, di masa revolusi masih
membutuhkan penduduk yang banyak untuk menggarap negara Indonesia yang luas
ini. Kemudian Soekarno lebih memilih program transmigrasi, untuk mengurangi
kepadatan penduduk di pulau jawa dan bali.
Soeharto lebih memandang bahwa penduduk yang banyak akan membebani
perekonomian dan tujuan pembangunan, dikarenakan kegagalan pelaksanaan keluarga
berencana akan mengakibatkan hasil usaha pembangunan menjadi tidak berarti dan
dapat membahayakan generasi yang akan datang. Soeharto memiliki politik hukum
yang kuat dan masif untuk mengurangi jumlah penduduk melalui program KB,
terbukti dalam 20 tahun masa pemerintahannya (Periode Repelita I-IV/1969-1989)
dapat menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari yang sebelumnya 2.31% menjadi
1.98% dan angka kelahiran total dari 5.6 per wanita menjadi 4.6 per wanita. Tren
tersebut terus berlanjut sampai pada berakhirnya rezim Soeharto tahun 1997, laju
pertumbuhan penduduk terus menurun pada angka 1.44% dan angka kelahiran total
menjadi 2.8 per wanita.
Masa peralihan sentralistik menuju masa desentralisasi merupakan masa yang
sulit bagi program KB. Di awal-awal masa reformasi, program KB tidak mendapatkan
perhatian yang serius dibandingkan masa Soeharto. Karena di masa periode Bj.
Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, masih terjadi konflik politik dikalangan
elit nasional. Kemudian terjadi peralihan kelembagaan BKKBN di tingkat
kabupaten/kota dan BKKBN Provinsi DKI Jakarta yang diserahkan ke pemerintah

50
BKKBN, “Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia 2017,” Jakarta: BKKBN (2018), hal.
76.
51
BKKBN, Survei Kinerja Dan Akuntabilitas Program KKBPK (SKAP) Keluarga 2019,
Jakarta: BKKBN, 2019, hal. 77.
598 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

daerah. Sehingga terjadi perbedaan pandangan dan komitmen, yang mengakibatkan


program KB terabaikan. Terbukti angka laju pertumbuhan penduduk dan angka
kelahiran total, berada pada posisi stagnan yaitu 1.49% (LPP) dan 2.6 per wanita
(AKT) yang bertahan dalam satu dekade. Penurunan terhadap LPP menjadi 1.36% dan
AKT menjadi 2.4 per wanita terjadi di masa Joko Widodo, kemungkinan hal ini terjadi
karena adanya dampak dari diterbitkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, sejak masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Undang-Undang ini menguatkan
kelembagaan KB ditingkat pusat dan daerah. Selain itu, di masa pemerintahan Joko
Widodo juga dicanangkan program Kampung KB disetiap daerah kabupaten/kota dan
adanya pengalihan para Penyuluh Keluarga Berencana menjadi pegawai BKKBN.

4.2. Saran
Penelitian ini merekomendasikan perlunya upaya penguatan kelembagaan
program KB pada tingkat lini lapangan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sejak masa
Orde Baru kelembagaan program KB kuat dan masif, baik pelaksanaan ditingkat pusat
maupun ditingkat daerah. Keberadaan kelembagaan program KB sampai kepada
tingkat lini lapangan (desa), memberikan dampak yang besar terhadap pencapaian
program. Pada pemerintahan Joko Widodo, penguatan pada lini lapangan kembali
dilakukan. Adanya program Kampung KB dan pengalihan para Penyuluh KB menjadi
pegawai BKKBN, menjadi langkah awal dalam penguatan program KB ditingkat lini
lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adioetomo, Sri Moertiningsih, dkk. “100 Tahun Demografi Indonesia: Mengubah
Nasib Menjadi Harapan”, (Jakarta: BKKBN dan LDFEUI, 2009).
Ayala, Turbay, and Lord Caradon. “Declaration on Population: The World Leaders
Statement.” Studies in Family Planning 1, no. 26 (July 10, 1968): 1–3.
http://www.jstor.org/stable/1965194.
Badan Pusat Statistik. Sensus Penduduk 1961 Republik Indonesia, 1962.
BKKBN, “Sejarah Perkembangan Gerakan KB di Indonesia,” (Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional, Jakarta, 1990).
______. “Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia 2017.” Jakarta: BKKBN (2018).
———. Survei Kinerja Dan Akuntabilitas Program KKBPK (SKAP) Keluarga 2019.
Jakarta: BKKBN, 2019.
Departemen Penerangan RI dan BKKBN. “Program Penerangan di Bidang
Kependudukan dan Keluarga Berencana Menjelang Tahun 1990”, (Jakarta:
Departemen Penerangan RI dan BKKBN, 1982).
Direktorat KP3. Evaluasi Pengarusutamaan Gender Di Sembilan Sektor
Pembangunan Tahun 2006. Jakarta: BAPPENAS DAN KEMENPP, 2006.
Faizal, Liky. “Produk Hukum Di Indonesia Perspektif Politik Hukum.” Jurnal ASAS
(2017).
Firdausi, Dede Wahyu. “Kebijakan Dwifungsi ABRI Dalam Perluasan Peran Militer
Di Bidang Sosial-Politik Tahun 1966-1998.” Jurnal UPI (2016): 1–13.
Hamudy, Moh. “Pembentukan Kelembagaan Keluarga Berencana Di Kabupaten
Sukabumi Dan Kota Bitung.” Jurnal Bina Praja 07, no. 01 (2015): 21–36.
Hayes, Adrian C. “Towards a Policy Agenda for Population and Family Planning in
Politik Hukum Program KB: Aditya Rahmadhony, Mardiana Dwi P., Maria Gayatri, Iwan Setiawan 599

Indonesia, 2004-2015.” Jurnal Kependudukan Indonesia 1, no. 1 (2016): 1–11.


Hull, Terence H. “Caught in Transit: Questions About the Future of Indonesian
Fertility Indonesian Family Planning in a Changing Political Order,” no. 1985
(2001): 409–424.
Kurniawan, Ukik Kusuma, Hadi Pratomo, and Adang Bachtiar. “Kinerja Penyuluhan
Keluarga Berencana Di Indonesia: Pedoman Pengujian Efektivitas Kinerja Pada
Era Desentralisasi.” Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 5, no. 1
(2010): 3–8. http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/view/155.
Kusuma Dewi, Vitriyana, and Gayung Kasuma. “Perempuan Masa Orde Baru: Studi
Kebijakan PKK Dan KB Tahun 1968-1983.” VERLEDEN 4, no. 2 (2014): 157–
172.
Mahfud MD, Moh, “Politik Hukum di Indonesia”, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
1998).
Moeljodiharjo, Soetedjo, dkk. “Bunga Rampai Gerakan KB Nasional: Mewujudkan
Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera”, (Jakarta: BKKBN, 2008).
Molyneaux, John W., and Paul J. Gertler. “The Impact of Targeted Family Planning
Programs in Indonesia.” Population and Development Review 26 (2000): 61–85.
Puji Antari, Naomi Haswanto, and Alvanov Zpalanzani Mansoor. “Kajian Grafis Uang
Logam Indonesia Periode Tahun 1951-2009.” Jurnal Komunikasi Visual WIMBA
2, no. 1 (2015): 33–39. http://jurnalwimba.com/index.php/wimba/article/view/44.
Purwaningsih, Sri Sunarti. “Desentralisasi Program Keluarga Berencana: Tantangan
Dan Persoalan Kasus Provinsi Kalimantan Barat.” Jurnal Kependudukan
Indonesia VII, no. 2 (2012): 109–125.
Putri, Putri Kusuma Dwi, Aida Vitayala Hubeis, Sarwititi Sarwoprasodjo, and Basita
Ginting. “Kelembagaan Dan Capaian Program Keluarga Berencana (KB): Dari
Era Sentralisasi Ke Desentralisasi.” Jurnal Kependudukan Indonesia 14, no. 1
(2019): 1–12.
Rahmadhony, Aditya. “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem
Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.” Palar (Pakuan Law Review) 06,
no. 12 (2020): 92–119.
Rajagukguk, Wilson, and Omas Bulan Samosir. Dinamika Demografi Indonesia 1950-
2100. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015.
Shiffman, Jeremy. “Political Management in the Indonesian Family Planning
Program.” International Family Planning Perspectives 30, no. 1 (2004): 27–33.
Suyono, Haryono. “Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Berencana: Implikasi
Program Aksi Kairo Di Indonesia.” Populasi 8, no. 1 (2016): 1–16.
Udasmoro, Wening. “Konsep Nasionalisme Dan Hak Reproduksi Perempuan: Analisis
Gender Terhadap Program Keluarga Berencana Di Indonesia.” Humaniora 16,
no. 2 (2004): 147–154.
Wasti, Ryan Muthiara. “Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum Pada
Masa Pemerintahan Soeharto Di Indonesia.” Jurnal Hukum & Pembangunan 45,
no. 1 (2016): 76.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan
Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)
Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 1660
Tahun 1958.
600 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.3 Juli-September 2021

Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia


Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan
Negara dari Presiden Soekarno.
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS
Nomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI) Tahun 2000 Nomor 206, Lampiran.
Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan
Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003, Pasal 114 ayat (2) dan (3).

Lain-lain
https://media.neliti.com/media/publications/177590-ID-none.pdf, diakses tanggal 25
Agustus 2020.
Pidato Pejabat Presiden Republik Indonesia Dimuka Sidang DPR GR Pada Tanggal 16
Agustus 1967 di Jakarta, http://soeharto.co/1967-08-16-pidato-pejabat-presiden-
soeharto-di-muka-sidang-dpr-gr/, hal. 48. Diakses pada tanggal 23 Juli 2020.
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/repelita-i---buku-ii/, diakses pada tanggal 20 Juli 2020.
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/repelita-ii---buku-iii/, diakses tanggal 3 Agustus 2020.
Diakses pada https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/9841/kampung-kb-
inovasi-strategis-memberdayakan-masyarakat/0/artikel_gpr, tanggal 27 Agustus
2020
.

Das könnte Ihnen auch gefallen