Sie sind auf Seite 1von 12

PENERAPAN KAIDAH AL – ‘ASLU FINNAHI LITTAHRIM

PADA ISTINBATH HUKUM

Gempa Maulana
Zainal Azwar

Fakultas Hukum Keluarga Pascasarjana


Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

E-Mail : gempamaulana04@gmail.com
zainalazwar@uinib.ac.id

Abstract
Pembahasan ini tentang penerapan kaidah al – 'aslu finnahi littahrim
Mengenai hukum istinbath, artikel ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kata-kata
terlarang (nahi) dalam Al-Qur'an dan hadits yang dijadikan rujukan sumber
hukum Islam. Larangan-larangan tersebut sering dijadikan sebagai bukti untuk
menentukan keharaman suatu perkara. Maka melalui tulisan ini penulis mencoba
menjelaskan bagaimana kaidah al – 'aslu finnahi littahrim dalam menentukan
hukum. Kajian ini diarahkan pada penelitian kepustakaan (library research) dan
pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi yang bersumber dari
dokumen-dokumen yang relevan dengan tulisan ini. Kesimpulan penelitian ini
BAB I

PENDAHULAN

Latar Belakang

Ilmu ushulfiqh merupakan ilmu yang digunakan sebagai metodologi dalam


menggali hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an dan sunnah begitu juga
dengan penetapan hukum yang secara eksplisit tidak diatur dalam Al-Qur`an dan
sunnah tersebut.
Dalam menggali hukum perlunya keterampilan yang dimiliki oleh mujtahid
baik itu keterampilan secara kebahasaan maupun keterampilan dalam menggali
hukum sedalamdalamnya. Salah satu hal yang harus dikuasai dalam menetapkan
hukum Islam adalah dengan memahami secara mendalam susunan bahasa yang
terdapat dalam teks-teks keagamaan tersebut.
Dalam ilmu ushulfiqh terdapat materi khusus yang berbicara mengenai
dalalah lafaz tersebut. Salah satu materi yang penting untuk dipahami adalah
lafaz yang berkaitan dengan larangan (nahi). Karena banyaknya bentuk kata
berupa larangan di dalam teks-teks keagamaan tersebut. Maka terdapatlah materi
khusus yang membahas segala hal yang berkaitan dengan bentuk nahi ini.
Sehingga nantinya ketika menggali hukum Islam pemahaman terhadap petunjuk
nahi ini sangat memberikan dampak yang signifikan terhadap penetapan hukum
Islam tersbut.
Melalui tulisan ini penulis akan mencoba beberapa hal yang berkaitan dengan
bentuk kata nahi. Sehingga nantinya kita dapat memahami secara seksama apa
saja materi ushulfiqh ini yang berkaitan dengan nahi dan juga dapat memberikan
kita kemampuan dalam memahami kata yang berbentuk larangan yang terdapat
dalam Al-Qur`an maupun sunnah.
Dalam tulisan ini penulis juga memberikan contoh istinbath hukum yang
digunakan oleh para ulama dengan menggunakan metode nahi, sehingga nanti
diharapkan pembaca paham dan mengetahui dengan jelas bagaimana metode
nahi ini.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Nahi

Nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan cara


penguasaan dan bentuknya : “jangan lakukan!” dan sebagainya.1 Pengertian yang
senada diekemukakan oleh Abu Zahrah bahwa nahi adalah tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan (larangan). Sebagaimana amar, nahi juga
merupakan suatu tuntutan (meninggalkan) yang harus.2

Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah


untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-Nya.3 Sehingga apabila lafaz yang khas dalam
nashsyar`i datang dalam bentuk larangan, atau dengan bentuk khabar yang
bermakna larangan, maka ia menunjukkan pengharaman, artinya menghendaki
meninggalkan terhadap yang dilarang itu secara tetap dan pasti.4

Sebagai contoh yang dapat dikemukakan adalah firman Allah dalam


surat Al-Baqarah ayat 221 :
َّ‫ت َح ٰتّى يُْؤ ِمن‬
ِ ‫ش ِر ٰك‬
ْ ‫َواَل تَ ْن ِك ُحوا ا ْل ُم‬
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman....”
Firman tersebut menunjukkan pengharaman terhadap menikahi wanita
musyrik, sebab menurut pendapat yang rajih bentuk larangan ditetapkan menurut
bahasa untuk menunjukkan pengharaman. Maka pengharaman itulah yang
diambil dari bentuk larangan dalam keadaan mutlak tersebut.
Selanjutnya apabila ada qarinah yang menunjukkan pemalingan dari
makna yang hakiki kepada makna majazi, maka apa yang ditunjuki oleh
indikator tersebutlah yang dipahami. Sebagaimana pengertian doa pada firman
Allah :5
‫ بَ ْع َد اِ ْذ هَ َد ْيتَنَا‬N‫َربَّنَا اَل تُ ِز ْغ قُلُوْ بَنَا‬
Artinya: “Mereka berdoa : Ya tuhan Kami, janganlah engkau jadikan kami
condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada
kami....”

1
Muhammad Al-KhudariBiek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (Ushul Fiqh),
(Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hal. 442
2
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih),
(Jakarta :Pustaka Firdaus, 2016), cet-9, hal. 293
3
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, Ushul Fiqh, (JawaTimur : Darul Hikmah, 2008),
hal. 64
4
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, (Ilmu
Ushul Fiqh), Semarang : Dina Utama, 1994), hal. 308
5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,..., hal. 308-309
2
Dengan demikian bentuk larangan tersebut bukanlah sesuatu yang mesti
ditinggalkan. Karena doa tersebut merupakan permintaan hamba kepada
tuhannya.
Dalam konteks kajian ushulfiqh, larangan (nahi) bersumber dari Syari`
kepada manusia sebagai hamba-Nya. Dalam hal ini Allah adalah pihak yang
tinggi dan yang menuntut agar larangan tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia
sebagai mukallaf adalah pihak yang rendah dan meninggalkan perbuatan yang
dilarang.
Macam-macam bentuk lafaz Nahi

Nahi dapat digunakan dalam berbagai bentuk lafaz, di antaranya :

Dengan menggunakan lafaz nahi itu sendiri.


‫َويَ ْن ٰهى َع ِن ْالفَحْ َش ۤا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي‬
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusushan”
Dengan menggunakan shigat latafal, yaitu fi`il mudhari yang diawali
dengan laa nahiyah.

‫الز ٰن ٓى اِنَّهٗ َكانَ فَا ِح َشةً َۗو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬


ِّ ‫َواَل تَ ْق َربُوا‬
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah
perbuatan keji dan sebururk-buruk jalan”
Dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan tidak halal, melalui penggunaan lafaz
laa yahillu (tidak halal).
ۗ ‫اَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َس ۤا َء َكرْ هًا‬
“Tidak halal bagimu mewarisi para wanita dengan cara paksa”

Dengan menjelaskan bahwa perbuatan adalah haram.

ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬


‫ير‬ ْ ‫ُح ِّر َم‬
“Diharamkan atas kamu bangkai, dan darah dan daging babi”

Dengan memerintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang dilarang. 

َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا ِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمنِين‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”

Dengan menjelaskan ancaman bagi pelaku perbuatan yang dilarang. 

3
‫وا‬Nُ‫ادًا َأ ْن يُقَتَّل‬N‫ض فَ َس‬
ِ ْ‫ َعوْ نَ فِي اَأْلر‬N‫ولَهُ َويَ ْس‬N‫اربُونَ هَّللا َ َو َر ُس‬ ِ ‫ِإنَّ َما َجزَا ُء الَّ ِذينَ ي َُح‬
ِ ْ‫ف َأوْ يُ ْنفَوْ ا ِمنَ اَأْلر‬
‫ض‬ ٍ ‫ُصلَّبُوا َأوْ تُقَطَّ َع َأ ْي ِدي ِه ْم َوَأرْ ُجلُهُ ْم ِم ْن ِخاَل‬
َ ‫َأوْ ي‬
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka
dibunuh, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan menyilang, atau
dibuang dari negeri (tempat kediaman)

Dengan menjelaskan perbuatan yang dilarang adalah bentuk buruk 6

َ ‫َار َجهَنَّ َم خَ الِ ِدينَ فِيهَا ُأولَِئ‬


‫ك هُ ْم‬ ِ ‫ب َو ْال ُم ْش ِر ِكينَ فِي ن‬
ِ ‫ِإ َّن الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْن َأ ْه ِل ْال ِكتَا‬
‫َشرُّ ْالبَ ِريَّ ِة‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni para ahli kitab dan orang-
orang yang musyrik (Akan) berada di neraka jahannam; mereka kekal di
dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”.

Hukum Nahi Dalam AL-Qur’an

Sama seperti shighat amar, shighat nahi juga memiliki


makna hakikat dan majaz. Makna hakikat dari shighat nahi adalah menunjukkan
keharaman. Sedangkan makna majaz-nya ada delapan seperti yang dijelaskan oleh
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam salah satu karya ulum al-Quran-
nya, yaitu kitab Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran.

Dalam Al-Qur`an, nahi yang menggunakan kata larang itu mengandung


beberapa maksud :7

Untuk hukum haram


Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra` ayat 33
ُ ‫س الَّتِ ْي َح َّر َم هّٰللا‬
َ ‫َواَل تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya)

Untuk kemakruhan atau kebencian.

َ ‫ق اَأْل ْر‬
‫ض َولَنْ تَ ْبلُ َغ ا ْل ِجبَا َل طُواًل‬ ِ ‫فِي اَأْل ْر‬ ‫ش‬
َ ‫ض َم َر ًحا ِإنَّكَ لَنْ ت َْخ ِر‬ ِ ‫َواَل تَ ْم‬
Artinya: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-
kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

6
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Hamzah, 2014), hal. 255-256
7
Ahmad Qoys Jamalallail, “Makna- Makna Shighat Nahi (Larangan) dalam Al-Quran,” Tafsir Al
Quran | Referensi Tafsir di Indonesia (blog), 31 Maret 2021, https://tafsiralquran.id/makna-makna-
shighat-nahi-larangan-dalam-al-quran/.
4
Dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dijelaskan bahwa
berjalan di muka bumi dengan lagak sombong termasuk salah satu hal yang
dibenci oleh Allah Swt. Hal ini juga senada dengan pendapat Imam Ibnu Kathir
bahwa berjalan dengan sombong termasuk hal yang dibenci (Makruh) dalam
agama islam.8

Untuk larangan bermakna doa

Sebuah larangan bisa juga bermakna doa dari orang yang derajatnya
lebih rendah kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Contohnya terdapat dalam Q.S. Ali
Imran [3]: 8

‫َّاب‬ َ ْ‫ك َأن‬


ُ ‫ت ال َْوه‬ َ ْ‫ب لَنَا ِم ْن لَ ُدن‬
َ َّ‫ك َر ْح َمةً ِإن‬ ْ ‫وبنَا َب ْع َد ِإ ْذ َه َد ْيَتنَا َو َه‬
َ ُ‫ ُقل‬ ‫غ‬
ْ ‫اَل تُ ِز‬ ‫َر َّبنَا‬
Artinya: (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami
condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami,
dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”

Untuk Petunjuk

Al-Irsyad artinya adalah memberikan petunjuk. Contoh shighat


nahi yang bermakna al-Irsyad terdapat dalam Q.S. al-Maidah [5]: 101

‫ َع ْن َأ ْشيَاءَ ِإ ْن ُتْب َد لَ ُك ْم تَ ُسْؤ ُك ْم‬ ‫اَل تَ ْسَألُوا‬ ‫ين َآمنُوا‬ ِ َّ


َ ‫يَاَأيُّ َها الذ‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan
kamu

Ayat tersebut menjelaskan tentang petunjuk Allah kepada orang-orang


yang beriman untuk tidak menanyakan tentang sesuatu yang samar dan tidak
bermanfaat. Serta petunjuk untuk tidak menanyakan pembebanan
atau taklif kepada mukmin yang tidak dijelaskan dalam wahyu yang turun, baik
berupa al-Quran atau hadits. Karena bisa jadi atas pertanyaan tersebut turunlah
perintah yang malah memberatkan orang mukmin (Wahbah az-Zuhaili/Tafsir al-
Munir). Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Saw. yang disebutkan dalam kitab al-
Arba’in an-Nawawiyyah karya Yahya bin Syaraf an-Nawawi.

8
Mohammad Firdaus Hasmin dan Syamsul Azizul Marinsah, “KEARIFAN TEMPATAN
MASYARAKAT DUSUN DALAM PANTANG LARANG MEMASUKI KAWASAN HUTAN:
ANALISIS DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,” Journal of Islamic 7, no. 47 (2022): 309–23.
5
‫صلَّى‬ ِ ُ ‫ َس ِم ْع‬:‫عن أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر – رضي اهلل تعالى عنه – قال‬
َ ‫ت َر ُس ْو َل اهلل‬
ِ ِ
‫ك‬ ْ ‫اجتَنُِب ْوهُ َو َما ََأم ْرتُ ُك ْم بِه فَْأُت ْوا م ْنهُ َما‬
َ َ‫استَطَ ْعتُ ْم فَِإ نَّ َما َْأهل‬ َ :‫وسلَّم يقول‬
ْ َ‫“ما َن َه ْيتُ ُك ْم َع ْنهُ ف‬ َ ‫اهللُ عليه‬
(‫الَّ ِذيْ َن ِم ْن َق ْبلِ ُك ْم َك ْث َرةُ َم َساِئلِ ِه ْم َوا ْختِاَل ُف ُه ْم َعلَى َأنْبِيَاِئ ِه ْم )رواه البخاري ومسلم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhar ra. berkata: Aku


mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Apa yang aku larang kepada
kalian maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian
maka kerjakanlah semampu kalian. Karena sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian binasa disebabkan banyaknya pertanyaan-pertanyaan
mereka dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. (HR.
Bukhari Muslim)

Untuk Menunjukan Kesepadanan


Contoh shighat nahi yang menunjukkan makna kesepadanan atau kesamaan
terdapat dalam Q.S. At-Thur [52]: 16

‫ َس َواءٌ َعلَْي ُك ْم‬ ‫صبِ ُروا‬


ْ َ‫اَل ت‬ ‫اصبِ ُروا َْأو‬
ْ َ‫ف‬
Artinya: Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu;

Untuk merendahkan atau meremehkan dan menyedikitkan.


Contoh shighat nahi yang bermakna tersebut  adalah Q.S. Al-Hijr [15]: 88

‫اجا ِم ْن ُه ْم‬ ِ ْ ‫ك ِإلَى ما مت‬


ً ‫َّعنَا بِه َأ ْز َو‬ َ َ َّ ‫اَل تَ ُمد‬
َ ‫ َع ْيَن ْي‬ ‫َّن‬
Artinya: Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada
kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan
di antara mereka (orang-orang kafir itu),

Potongan ayat di atas menjelaskan tentang larangan Allah untuk


memerhatikan dan memandang nikmat berupa perhiasan kehidupan dunia yang
diberikan kepada beberapa golongan dari manusia. Karena perhiasan kehidupan
dunia tersebut hanyalah sesuatu yang sedikit dan rendah serta hina.

Untuk menjelaskan akibat dari suatu perbuatan


Contoh shighat nahi yang bermakna Bayan al-‘Aqibah terdapat dalam
Q.S. Ali Imran [3]: 169

6
)169( ‫َأحيَاءٌ ِع ْن َد َربِّ ِه ْم ُي ْر َزقُو َن‬ ِ ِ ِ‫الَّ ِذين قُتِلُوا فِي سب‬ ‫واَل تَحسب َّن‬
ْ ‫يل اللَّه َْأم َواتًا بَ ْل‬ َ َ ََ ْ َ
Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat
rezki.

Maksud ayat tersebut adalah akibat dari berjuang atau berjihad di jalan
Allah hingga gugur adalah kehidupan di sisi Allah, bukan kematian yang malah
mereka khawatirkan.

Untuk menunjukkan keputus asaan.

Contohnya terdapat dalam Q.S. At-Taubah [9]: 66

ِ ِ ‫ف َع ْن طَاِئَف ٍة ِم ْن ُك ْم نُ َع ِّذ ْ ِئ‬


ُ ‫يمانِ ُك ْم ِإ ْن َن ْع‬ ِ
َ ‫ب طَا َفةً ب ََّأن ُه ْم َكانُوا ُم ْج ِرم‬
‫ين‬ َ ‫قَ ْد َك َف ْرتُ ْم َب ْع َد ِإ‬ ‫اَل َت ْعتَذ ُروا‬
)66(

Artinya: Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika
Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya
Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah
orang-orang yang selalu berbuat dosa.

Untuk menunjukkan arti menghinakan.

Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Mu’minun [23]: 108

ِ ‫واَل تُ َكلِّم‬ ‫ال ا ْخسُئوا فِ َيها‬


 ‫ون‬ ُ َ َ َ َ‫ق‬
Artinya:  Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara
dengan Aku.

Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa Allah


berkata kepada orang-orang kafir ketika mereka meminta dikeluarkan dari neraka
dan dikembalikan ke kehidupan dunia, ‘Tinggallah kalian di dalam neraka sebagai
orang-orang yang hina. Diamlah dan jangan tanyakan lagi pertanyaan kalian itu,
karena sesungguhnya tidak ada jawaban padaku, dan tidak ada pengemabalian ke
kehidupan dunia.

Contoh istinbath Hukum Menggunakan metode Nahi

Pertama, Oleh Muhammad ibn Ismail as-Shan’ani Dalam kitab Subul al-
Salam yang membahas tentang Hukum berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

7
‫ان‬: ‫ ق ال رس ول اهلل صل اهلل علیھ ةسلم‬: ‫عن معاویة بن الحكم رض ي اهلل عنھ ق ال‬
‫ھذه الص الة ال يص لح فيها ش يء من كالم الن اس انما ھو التس بیح والتكب یر وق رأة‬
‫رواه مسلم‬. ‫القران‬
Artinya: Dari Muawiyah bin al-Hakam r.a. katanya, Rasulullah saw
bersbda; Sesungguhnya sembahyang tidak baik di dalamnya
sedikitpun dari perkataan manusia; ia hanya tasbih, takbir dan
bacaan al-Qur’an (H.R. Muslim).

Asbabul Wurud al-hadis tersebut adalah bahwa pernah salah seorang


sahabat bersin sewaktu sembahyang. Lalu Muawiyah mendoakannya padahal ia
sedang sembahyang juga. Orang yang berada di sampingnya menegurnya karena
ia mengetahui adanya larangan berbicara dalam sholat dan melaporkannya kepada
Nabi Muhammad saw. Kemudian Nabi Muhammad saw. bersabda kepadanya
dengan mengucapkan hadis di atas. Adapun yang dimaksud dengan teks arab
“tidak baik” dalamhadis itu ialah tidak sah sembahyangnya. Yang termasuk bicara
di sini ialah berbicara sendiri atau bercakap-cakap dengan orang lain,
sebagaimana jelas menurut asbabul wurud hadis. Jadi, hadis tersebut
menunjukkan bahwa hukum orang yang berbicara dalam sembahyang
membatalkan sembahyangnya, baik untuk memperbaiki sembahyang atau untuk
tujuan lainnya.9
Dari ini Hadits ini terdapat sighat nahi yaitu dengan menyebutkan bahwa
sesuatu atau pekerjaan tersebut tidak baik. Sehingga memberikan substansi
hukum bahwa berbicara ketika sholat terlarang atau haram.

Kedua, Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 3 tahun 2004 tentang


terorisme berdasarkan dalil al-Qur’an Surah an-nisa ayat 29-30 :

Nَ ْ‫ َو َم ْن يَّ ْف َعلْ ٰذلِكَ ُع ْد َوانًا َّوظُ ْل ًما فَ َسو‬N‫َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
َ‫ان‬NN‫ارًا َۗو َك‬NNَ‫ف نُصْ لِ ْي ِه ن‬
‫ك َعلَى هّٰللا ِ يَ ِس ْيرًا‬ َ ِ‫ٰذل‬
Artinya: Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. Siapa yang berbuat demikian dengan cara
melanggar aturan dan berbuat zalim kelak Kami masukkan dia ke dalam
neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Dalam ayat ini menunjukan pelarangan untuk melakukan bunuh diri,


dengan menggunakan shigat lafal, yaitu fi`il mudhari yang diawali dengan laa
nahiyah yang mana disini ulama mengharamkan setiap perbuatan terorisme, baik
itu dengan bom bunuh diri maupun dengan teror dari para pelaku maka perbuatan
tersebut dihukumi haram.10

9
Nurliana Nurliana, “METODE ISTINBATH HUKUM MUHAMMAD IBN ISMAIL AL-
SHAN’ANI DALAM KITAB SUBUL AL-SALAM,” Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman 5, no. 2
(28 Juli 2017): 132, https://doi.org/10.24014/af.v5i2.3772.
8
Ketiga, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 53 Tahun 2014 tentang
Hukuman Bagi Produsen, Bandar, Pengedar, dan Penyalah Guna Narkoba.
Narkoba yang dimaksud disini jenis-jenis narkotika dan berbagai zat adiktif yang
menimbulkan ketergantungan serta merusak tubuh seperti saraf, otak, dan hati,
mempunyai dampak serius pada kerusakan moral dan sosial masyarakat,
khususnya generasi muda, sehingga mengancam masa depan bangsa dan
Negara.11
Dalam hal ini majelis ulama berpedoman pada dalil-dalil al-qur’an,
Hadist, dan kaedah fiqh, diantara dalil yang digunakan yaitu

َ‫ ۛ اِ َّن هّٰللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِ ْين‬N‫م اِلَى التَّ ْهلُ َك ِة ۛ َواَحْ ِسنُوْ ا‬Nْ ‫َواَل تُ ْلقُوْ ا بِا َ ْي ِد ْي ُك‬

“ Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan… “

Dengan menggunakan shigat latafal, yaitu fi`il mudhari yang diawali


dengan laa nahiyah yang mana MUI memutuskan keharaman tentang
penyalahgunaan narkoba.

BAB III
PENUTUP

10
“allintitle: ‘10.-Terorisme.pdf’ - Google Scholar,” diakses 16 Maret 2023, https://mui.or.id/wp-
content/uploads/files/fatwa/10.-Terorisme.pdf.
11
“Hukuman-Bagi-Produsen-Bandar-Pengedar-dan-Penyalahguna-Narkoba.pdf,” t.t. di akses pada
tanggal 23 maret 2023 https://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/Hukuman-Bagi-Produsen-
Bandar-Pengedar-dan-Penyalahguna-Narkoba.pdf
9
Kesimpulan

Berdasarkan apa yang penulis paparkan di atas dapat ditarik kesimpulan


mengenai dilalah nahi ini merupakan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari
yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Setidaknya demikian lah pengertian
yang dikemukakan oleh beberapa ahli ushulfiqh mengenai pengertian nahi ini.
Di samping itu ada beberapa sighat yang menunjukkan terhadap lafaz nahi ini
sehingga dapat diketahui dengan sighat tersebut bahwa ketika ada salah satu
shigat tersebut, bahwa hal yang dibicarakan merupakan shigat dalam bentuk
nahi. Selanjutnya juga ada beberapa dilalah nahi sehingga yang dimaksud nahi
tidak hanya haram saja terkadang karahah, dan lain sebagainya.
Banyaknya perbedaan pendapat ulama terkait dengan kaidah-kaidah yang terkait
dengan nahi. Adapun ayang mendasari perbedaan tersebut adalah berbeda dalam
mehamai nahi tersebut baik dari segi hakikat nahi, nahi dilakukan secara
berulang, nahi menghendaki bersegera, serta hubungan timbal balik antara amar
dan nahi.
Dengan demikian dapat dipahami dengan mengetahui dilalah nahi ini setidaknya
kita yang bergelut di bidang hukum Islam secara aplikatif dapat menerapkan
pemahaan kita ketika hendak memahami hukum-hukum yang terdapat dalam al-
Qur`an dan sunnah. Karena begitu banyak bentuk lafaz yang terdapat dalam al-
Qur`an maupun sunnah, dan salah satunya adalah dilalah lafaz nahi ini.
Saran

Demikianlah makalah ini kami susun. Apabila ada kekurangan kami selaku
penulis mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat
kami harapkan. Semoga makalah ini membantu pembaca dan khsususnya
pemakalah dalam proses memahami dilalah lafaz nahi.

10
DAFTAR PUSTAKA
Abd Rahman Dahlan, (2014), Ushul Fiqh, Jakarta : Hamzah.
Abdul Wahab Khallaf, (1994), Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu
Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama.
Muhammad Abu Zahrah,( 2016), Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (Ushul Fikih),
Jakarta : Pustaka Firdaus.
Muhammad Al-KhudariBiek, (2007), Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, Ushul Fiqh, Jakarta
: Pustaka Amani.
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, (2008) Ushul Fiqh, JawaTimur : Darul Hikmah.
“allintitle: ‘10.-Terorisme.pdf’ - Google Scholar.” Diakses 16 Maret 2023.
https://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/10.-Terorisme.pdf.
Hasmin, Mohammad Firdaus, dan Syamsul Azizul Marinsah. “KEARIFAN TEMPATAN
MASYARAKAT DUSUN DALAM PANTANG LARANG MEMASUKI
KAWASAN HUTAN: ANALISIS DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.” Journal
of Islamic 7, no. 47 (2022): 309–23.
“Hukuman-Bagi-Produsen-Bandar-Pengedar-dan-Penyalahguna-Narkoba.pdf,” t.t.
Jamalallail, Ahmad Qoys. “Makna- Makna Shighat Nahi (Larangan) dalam Al-Quran.”
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia (blog), 31 Maret 2021.
https://tafsiralquran.id/makna-makna-shighat-nahi-larangan-dalam-al-quran/.
Nurliana, Nurliana. “METODE ISTINBATH HUKUM MUHAMMAD IBN ISMAIL AL-
SHAN’ANI DALAM KITAB SUBUL AL-SALAM.” Al-Fikra : Jurnal Ilmiah
Keislaman 5, no. 2 (28 Juli 2017): 132. https://doi.org/10.24014/af.v5i2.3772.

Das könnte Ihnen auch gefallen