Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
OLEH :
DOSEN PEMBIMBING :
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik
yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Helmi, 2016).
Fraktur adalah suatu kondisi yang terjadi ketika keutuhan dan kekuatan dari tulang
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh penyakit invasif atau suatu proses
biologis yang merusak (Kenneth et al., 2015).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,
baik yang bersifat total atau sebagian yang disebabkan oleh trauma fisik.
b. Fisiologi Tulang
Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran dalam
pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon, ligament, bursa
dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungan struktur tersebut (Price dan
Wilson, 2006).
Tulang adalah suatu jarigan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel antara
lain: osteoblast, osteosit dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan
membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang dan jaringan
osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif
menghasilkan jaringan osteoid, osteoblast mengsekresikan sejumlah besar
fosfatase alkali, yang memegang peran penting dalam mengendapkan kalsium
dan fosfat ke dalam matriks tulang, sebagian fosfatase alkali memasuki aliran
darah dengan demikian maka kadar fosfatase alkali di dalam darah dapat
menjadi indikator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang setelah
mengalami patah tulang atau pada kasus metastasis kanker ke tulang. Osteosid
adalah sel tulang deawasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteoklas adalah sel besar
berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matrik tulang dapat
diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel
ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa
asam yang melarutkan mineral tulang sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke
dalam aliran darah (Simon & Schuster, 2003).
Tulang mengandung 99% dari seluruh kalsium tubuh dan 90% dari seluruh
fosfat tubuh. Fungsi penting kalsium adalah dalam mekanisme dan
pembentukan darah, trasmisi impuls neuromuscular, iritabilitas eksitabilitas
otot, keseimbangan asam basah, permeabilitas membrane sel dan sebagai
pelekat di antara sel-sel.
Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain :
1. Sebagai kerangka tubuh. Tulang sebagai kerangka yang
menyokong dan memberi bentuk tubuh.
2. Proteksi sistem. Musculoskeletal melindungi organ-organ penting,
misalnya otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-
paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang dibentuk oleh tulang-
tulang kostae (iga).
3. Ambulasi dan Mobilisasi. Adanya tulang dan otot memungkinkan
terjadinya pergerakan tubuh dan perpindahan tempat, tulang memberikan
suatu sistem pengungkit yang digerakkan oleh otot
3. Klasifikasi Fraktur
Menurut Sulistyaningsih (2016), berdasarkan ada tidaknya hubungan antar tulang
dibagi menjadi :
1) Fraktur Terbuka
Adalah patah tulang yang menembus kulit dan memungkinkan adanya
hubungan dengan dunia luar serta menjadikan adanya kemungkinan untuk
masuknya kuman atau bakteri ke dalam luka. Berdasarkan tingkat
keparahannya fraktur terbuka dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar
menurut klasifikasi (Gustillo dan Anderson, 2015) yaitu:
a. Derajat I
Kulit terbuka <1cm, biasanya dari dalam ke luar, memar otot yang ringan
disebabkan oleh energi rendah atau fraktur dengan luka terbuka menyerong
pendek.
b. Derajat II
Kulit terbuka >1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas, komponen
penghancuran minimal sampai sedang, fraktur dengan luka terbuka
melintang sederhana dengan pemecahan minimal.
c. Derajat III
Kerusakan jaringan lunak yang lebih luas, termasuk otot, kulit, dan struktur
neurovaskuler, cidera yang disebabkan oleh energi tinggi dengan
kehancuran komponen tulang yang parah.
a) Derajat IIIA
Laserasi jaringan lunak yang luas, cakupan tulang yang memadai,
fraktur segmental, pengupasan periosteal minimal.
b) Derajat IIIB
Cidera jaringan lunak yang luas dengan pengelupasan periosteal dan
paparan tulang yang membutuhkan penutupan jaringan lunak; biasanya
berhubungan dengan kontaminasi masif.
c) Derajat IIIC
Cidera vaskular yang membutuhkan perbaikan (Kenneth et al., 2015)
2) Fraktur Tertutup
Adalah patah tulang yang tidak mengakibatkan robeknya kulit sehingga tidak
ada kontak dengan dunia luar.
Fraktur tertutup diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan jaringan
lunak dan mekanisme cidera tidak langsung dan cidera langsung antara lain:
a. Derajat 0
Cidera akibat kekuatan yang tidak langsung dengan kerusakan jaringan
lunak yang tidak begitu berarti.
b. Derajat 1
Fraktur tertutup yang disebabkan oleh mekanisme energi rendah sampai
sedang dengan abrasi superfisial atau memar pada jaringan lunak di
permukaan situs fraktur.
c. Derajat 2
Fraktur tertutup dengan memar yang signifikan pada otot, yang mungkin
dalam, kulit lecet terkontaminasi yang berkaitan dengan mekanisme
energi sedang hingga berat dan cidera tulang, sangat beresiko terkena
sindrom kompartemen.
d. Derajat 3
Kerusakan jaringan lunak yang luas atau avulsi subkutan dan
gangguan arteri atau terbentuk sindrom kompartemen (Kenneth et al.,
2015).
Menurut Purwanto (2016) berdasarkan garis frakturnya dibagi menjadi :
1) Fraktur Komplet
Yaitu fraktur dimana terjadi patahan diseluruh penampang tulang
biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
2) Fraktur Inkomplet
Yaitu fraktur yang terjadi hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.
3) Fraktur Transversal
Yaitu fraktur yang terjadi sepanjang garis lurus tengah tulang.
4) Fraktur Oblig
Yaitu fraktur yang membentuk garis sudut dengan garis tengah tulang.
5) Fraktur Spiral
Yaitu garis fraktur yang memuntir seputar batang tulang sehingga
menciptakan pola spiral.
6) Fraktur Kompresi
Terjadi adanya tekanan tulang pada satu sisi bisa disebabkan tekanan,
gaya aksial langsung diterapkan diatas sisi fraktur.
7) Fraktur Kominutif
Yaitu apabila terdapat beberapa patahan tulang sampai menghancurkan
tulang menjadi tiga atau lebih bagian.
8) Fraktur Impaksi
Yaitu fraktur dengan salah satu irisan ke ujung atau ke fragmen retak.
4. Etiologi Fraktur
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan
sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan
jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak
mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur
yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna
sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai
fraktur lengkap (Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat dibedakan
menjadi :
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan.
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan :
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali.
b. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul salah satu proses yang progresif.
c. Rakhitis
d. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus.
6. Patofisiologi Fraktur
Menurut (Elizabeth, 2009), Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar
tulang tersebut. jaringan lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera.
Reaksi inflamasi yang intens terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel
mast terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke area
tersebut. fagositosis dan pembersihan sel dan jaringan mati dimulai.
Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat patah dan berfungsi sebagai
jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas akan segera terstimulasi dan
terbentuk tulang baru imatur, disebut kalus. Bekuan fibrin segera direabsorpsi dan
sel tulang baru secara perlahan mengalami remodeling untuk membentuk tulang
sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.
Penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur
pada anak sembuh lebih cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat
apabila hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau
apabila sel tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.
7. WOC FRAKTUR
Gambar 2
Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015)
8. Penatalaksanaan Fraktur
a. Penatalaksanaan Medis
1) Antibiotik merupakan obat yang sangat penting dan digunakan untuk
memberantas berbagai penyakit infeksi. Zat kimia ini dihasilkan oleh
mikroorganisme, terutama jamur dan bakteri tanah dan mempunyai khasiat
bakteriostatik atau bakterisid terhadap satu atau beberapa mikroorganisme
lain yang rentan terhadap antibiotik.
2) Traksi yaitu suatu tindakan untuk memindahkan tulang yang patah atau
dislokasi ke tempat yang normal kembali dengan menggunakan daya tarik
tertentu atau dengan kata lain suatu pemasangan gaya tarikan pada bagian
tubuh, yang di indikasikan pada pasien dengan fraktur dan pasien
dislokasi.
3) Sedatif yaitu sedatif-hipnotik dapat mengatasi ansietas, sedangkan dalam
dosis besar dapat menginduksitidur.
4) Analgesik yaitu istilah kimia untuk zat-zat yang dapat menurunkan rasa
sakit, seperti heroin, opium, pethidine, dan codeine. Efek penghilang rasa
sakit dimunculkan dengan mereduksi kepekaan fisik dan emosional
individu, serta memberikan penggunanya rasa hangat dan nyaman.
b. Penatalaksanaan Pembedahan
Penatalaksanaan ini sangatlah penting diketahui oleh perawat, jika ada
keputusan klien diindikasikan untuk menjalani pembedahan, perawat mulai
berperan dalam asuhan keperawatan tersebut.
1) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal perkutan atau K-Wire.
2) Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi ekternal tulang yaitu :
a) Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau reduksi terbuka
dengan fiksasi internal.Orif akan mengimobilisasi fraktur dengan
melakukan pembedahan untuk memasukan paku, scrup atau pen ke
dalam tempat fraktur untuk mengfiksasi bagian tulang pada fraktur
secara bersamaan. Fiksasi internal sering digunakan untuk merawat
fraktur pada tulang pinggul yang sering terjadi pada orang tua.
b) Open ReductionTerbuka dengan fiksasi eksternal. Tindakan ini
merupakan pilihan bagi sebagian besar fraktur. Fiksasi eksternal
dapat menggunakan konselosascrew atau dengan metilmetaklirat
(akrilik gigi) atau fiksasi eksterna dengan jenis-jenis lain seperti gips.
c. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Manjoer (2003) Penatalaksannan keperawatan sebagai berikut:
1. Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan
kesadaran, baru pemeriksaan patah tulang.
2. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah
komplikasi.
3. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini, dan
pemantauan neurociculatory pada daerah yang cedera adalah:
a) Meraba lokasi apakah masih hangat
b) Observasi warna
c) Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali pada
kapiler
d) Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi pada
lokasi cedera
e) Meraba lokasi cedera apakah pasien biasa membedakan rasa sensasi
nyeri
f) Observasi apakah daerah fraktur biasa digerakkan
4. Pertahankan kekuatan dan pergerakan
5. Meningkatkan gizi, makan – makanan yang tinggi serat anjurkan intake
protein 150 – 300 gr / hari
6. Mempertahankan imobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan tujuan
untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada
tempatnya sampai sembuh. ( Andra & Yessie, 2013)
Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan reposisi terbuka. Reposisi
tertutup dilakukan pada fraktur dengan pemendekan, angulasi atau displaced.
Biasanya dilakukan dengan anestesi lokal dan pemberian analgesik.
Selanjutnya diimobilisasi dengan gips. Bila gagal maka lakukan reposisi
terbuka dikamar operasi dengan anestesi umum.Kontra indikasi reposisi
tertutup:
1) Jika dilakukan reposisi namun tidak dapat dievaluasi
2) Jika reposisi sangat tidak mungkin dilakukan
3) Jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi, misalnya displaced
patellar fracture.
b. Imobilisasi.
Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan imobilisasi tempat fraktur sampai
timbul penyembuhan yang mencukupi. Kebanyakan fraktur ekstremitas dapat
diimobilisasi dengan dengan gips fiberglas atau dengan brace yang tersedia
secara komersial. Pemasangan gips yang tidak tepat bisa menimbulkan
tekanan kuIit, vascular, atau saraf. Semua pasien fraktur diperiksa hari
berikutnya untuk menilai neurology dan vascular.
Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka traksi juga bertindak sebagai
imobilisasi dengan ektremitas disokong di atas ranjang atau di atas bidai
sampai reduksi tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada
penyembuhan yang mencukupi, sehingga pasien dapat dipindahkan memakai
gips/brace.
c. Rehabilitasi
Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi terutama
merupakanmasalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan
ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai
dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk mgerakan aktif dan pasif serta
penguatan otot.
9. Pemeriksaan Penunjang Fraktur
Menurut (Rasjad, Chairuddin. 2012), pemeriksaan penunjang fraktur berupa:
a. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur,
harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :
1) Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
2) Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
3) Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera
maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang
normal)
4) Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
b. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
1) Darah rutin,
2) Faktor pembekuan darah,
3) Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
4) Urinalisa,
5) Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk
kliren ginjal).
c. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan
vaskuler akibat fraktur tersebut.
b. Secondary Survey
1) Identitas pasien
Identitas pasien berisikan nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,
kewarganegaraan, suku, pendidikan,alamat, nomor rekam medis, tanggal
masuk rumah sakit.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab berisikan nama, hubungan dengan pasien,
alamat dan nomor telepon.
3) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
4) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi. Selain itu, dapat
mengetahui mekanisme terjadinya peristiwa atau kejadian lainnya.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu dapat menghambat proses penyembuhan
tulang.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Di dapatkan dari riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan
d) Riwayat alergi
Perlu dikaji apakah pasien memiliki alergi terhadap makanan, binatang,
e) Riwayat obat-obatan
Mencakup obat-obatan apa saja yang dikonsumsi oleh pasien selama ini.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis mengenai respons pasien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung
aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi
respons pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan
dengan kesehatan.
Diagnosa keperawatan dibagi menjadi dua jenis, yaitu diagnosa negatif dan
diagnosa positif. Diagnosa negatif menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sakit
atau berisiko mengalami sakit sehingga penegakan diagnosis ini mengarahkan
pemberian intervensi keperawatan yang bersifat penyembuhan dan pencegahan.
Diagnosa negatif terdiri dari diagnosa aktual dan diagnosa risiko. Sedangkan
diagnosa positif menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sehat dan dapat
mencapai kondisi yang lebih sehat atau optimal. Diagnosa ini terdiri dari diagnosa
promosi kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal,
nyeri, penurunan kekuatan otot.
3. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada tonjolan
tulang.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan atau keletihan,
ketidakadekuatan oksigen, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Intervensi Keperawatan
No Standar Diagnosa Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Indonesia (SDKI) Indonesia (SLKI) (SIKI)
1 Nyeri akut berhubungan dengan agen Tingkat nyeri menurun (L.08066). Manajemen Nyeri (I. 08238)
cidera fisik. (D.0077).
a. Observasi
Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri.
Identifikasi skala nyeri.
Identifikasi respon nyeri non verbal.
Identifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri.
Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri.
Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri.
Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup.
Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan.
Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
b. Terapeutik
Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)Control
lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan).
Fasilitasi istirahat dan tidur.
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri.
c. Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri.
Jelaskan strategi meredakan nyeri.
Anjurkan memonitor nyri secara
mandiri.
Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat.
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
3 Intoleransi aktivitas berhubungan Toleransi aktivitas meningkat Manajemen Energi (I. 05178)
dengan kelemahan atau keletihan,
ketidakadekuatan oksigen, ansietas, (L.05047). a. Observasi
Identifkasi gangguan fungsi tubuh
dan gangguan pola tidur. (D.0056).
yang mengakibatkan kelelahan
Monitor kelelahan fisik dan emosional
Monitor pola dan jam tidur
Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
selama melakukan aktivitas
b. Terapeutik
Sediakan lingkungan nyaman dan
rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
kunjungan)
Lakukan rentang gerak pasif dan/atau
aktif
Berikan aktivitas distraksi yang
menyenangkan
Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah atau berjalan
c. Edukasi
Anjurkan tirah baring
Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
Anjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
d. Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
a. Observasi
Identifikasi deficit tingkat aktivitas
Identifikasi kemampuan berpartisipasi
dalam aktivotas tertentu
Identifikasi sumber daya untuk
aktivitas yang diinginkan
Identifikasi strategi meningkatkan
partisipasi dalam aktivitas
Identifikasi makna aktivitas rutin (mis.
bekerja) dan waktu luang.
Monitor respon emosional, fisik,
social, dan spiritual terhadap aktivitas
b. Terapeutik
Fasilitasi focus pada kemampuan,
bukan deficit yang dialami
Sepakati komitmen untuk
meningkatkan frekuensi danrentang
aktivitas
Fasilitasi memilih aktivitas dan
tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan fisik,
psikologis, dan social
Koordinasikan pemilihan aktivitas
sesuai usia
Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih
Fasilitasi transportasi untuk
menghadiri aktivitas, jika sesuai
Fasilitasi pasien dan keluarga dalam
menyesuaikan lingkungan untuk
mengakomodasikan aktivitas yang
dipilih
Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis.
ambulansi, mobilisasi, dan perawatan
diri), sesuai kebutuhan
Fasilitasi aktivitas pengganti saat
mengalami keterbatasan waktu,
energy, atau gerak
Fasilitasi akvitas motorik kasar untuk
pasien hiperaktif
Tingkatkan aktivitas fisik untuk
memelihara berat badan, jika sesuai
Fasilitasi aktivitas motorik untuk
merelaksasi otot
Fasilitasi aktivitas dengan komponen
memori implicit dan emosional (mis.
kegitan keagamaan khusu) untuk
pasien dimensia, jika sesaui
Libatkan dalam permaianan kelompok
yang tidak kompetitif, terstruktur, dan
aktif
c. Edukasi
Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-
hari, jika perlu
Ajarkan cara melakukan aktivitas yang
dipilih
Anjurkan melakukan aktivitas fisik,
social, spiritual, dan kognitif, dalam
menjaga fungsi dan kesehatan
Anjurka terlibat dalam aktivitas
kelompok atau terapi, jika sesuai
Anjurkan keluarga untuk member
penguatan positif atas partisipasi dalam
aktivitas
d. Kolaborasi
Kolaborasi dengan terapi okupasi dalam
merencanakan dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai.
Rujuk pada pusat atau program aktivitas
komunitas, jika perlu.
4 Resiko kerusakan integritas kulit Integritas kulit dan jaringan meningkat Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
berhubungan dengan tekanan pada (L.14125).
tonjolan tulang. (D.0139). a. Observasi
Identifikasi penyebab gangguan
integritas kulit (mis. Perubahan
sirkulasi, perubahan status nutrisi,
peneurunan kelembaban, suhu
lingkungan ekstrem, penurunan
mobilitas)
b. Terapeutik
Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah
baring
Lakukan pemijatan pada area
penonjolan tulang, jika perlu
Bersihkan perineal dengan air hangat,
terutama selama periode diare
Gunakan produk berbahan petrolium
atau minyak pada kulit kering
Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan hipoalergik pada
kulit sensitif
Hindari produk berbahan dasar
alkohol pada kulit kering
c. Edukasi
Anjurkan menggunakan pelembab
(mis. Lotin, serum)
Anjurkan minum air yang cukup
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Anjurkan meningkat asupan buah dan
saur
Anjurkan menghindari terpapar suhu
ektrime
Anjurkan menggunakan tabir surya
SPF minimal 30 saat berada diluar
rumah
a. Observasi
Monitor karakteristik luka (mis:
drainase,warna,ukuran,bau
Monitor tanda –tanda inveksi
b. Terapiutik
Lepaskan balutan dan plester secara
perlahan
Cukur rambut di sekitar daerah luka,
jika perlu
Bersihkan dengan cairan NACL atau
pembersih non toksik,sesuai
kebutuhan
Bersihkan jaringan nekrotik
Berika salep yang sesuai di kulit /lesi,
jika perlu
Pasang balutan sesuai jenis luka
Pertahan kan teknik seteril saaat
perawatan luka
Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
dan drainase
Jadwalkan perubahan posisi setiap dua
jam atau sesuai kondisi pasien
Berika diet dengan kalori 30-35
kkal/kgBB/hari dan protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
Berikan suplemen vitamin dan mineral
(mis vitamin A,vitamin C,Zinc,Asam
amino),sesuai indikasi
Berikan terapi TENS(Stimulasi syaraf
transkutaneous), jika perlu
d. Edukasi
Jelaskan tandan dan gejala infeksi
Anjurkan mengonsumsi makan tinggi
kalium dan protein
Ajarkan prosedur perawatan luka
secara mandiri
e. Kolaborasi
Kolaborasi prosedur debridement(mis:
enzimatik biologis mekanis,autolotik),
jika perlu.
Kolaborasi pemberian antibiotik, jika
perlu.
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan diantaranya
observasi, terapeutik, edukasi dan kolaborasi. Pada kegiatan implementasi
diperlukan kemampuan perawat terhadap penguasaan teknis keperawatan,
kemampuan hubungan interpersonal, dan kemampuan intelektual untuk
menerapkan teori-teori keperawatan ke dalam praktek keperawatan terhadap pasien
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir dalam proses keperawatan. Evaluasi
adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan terarah ketika pasien dan
professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju pencapaian
tujuan/hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan (Kozier., dkk 2011).
Evaluasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan untuk menilai keefektifan tindakan keperawatan. Sedangkan
evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua tindakan dalam
proses keperawatan selesai dilakukan. Format evaluasi dalam tahap evaluasi
keperawatan yaitu format empat komponen yang dikenal dengan SOAP yang
terdiri dari :
a) S (Subjektif) adalah data informasi berupa ungkapan pernyataan keluhan
pasien. Pada pasien Open Fraktur Femur dengan nyeri akut diharapkan
keluhan nyeri menurun, ketegangan otot menurun.
b) O (Objektif) merupakan data hasil pengamatan, penilaian, dan pemeriksaan
pasien. Adapun hasil yang diharapkan yaitu meringis menurun, sikap
protektif menurun, gelisah menurun, diaphoresis menurun, frekuensi nadi
membaik, pola napas membaik, tekanan darah membaik.
c) A (Assessment) merupakan perbandingan antara data subjektif dan data
objektif dengan tujuan dan kriteria hasil untuk menilai sejauh mana tujuan
yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai. Dapat dikatakan
tujuan tercapai apabila pasien mampu menunjukkan perilaku sesuai kondisi
yang ditetapkan pada tujuan, tercapai sebagian apabila perilaku pasien tidak
seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan, dan tidak tercapai apabila pasien
tidak mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tujuan.
d) P (Planning) merupakan rencana asuhan keperawatan lanjutan yang akan
dilanjutkan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin dan Hardi. 2015. Aplikasi Nanda Nic-Noc Jilid 3. Yogyakarta:MediAction Apleys,
G. A & Solomon Louis, 2018. System of Orthopaedic and Trauma. 10th edition,
New York: Taylor & Francis Group, CRC Press.
Astanti, feni yuni. 2017. Pengaruh Rom Terhadap Perubahan Nyeri Pada Pasien
Ekstermitas Atas.
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta.
Desiartama, A., & Aryana, I. W. 2017. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Akibat
Kecelakan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika Udayana, 6(5).
Lestari, Y. E. (2017). Pengaruh Rom Exercise Dini Pada Pasien Post Operasi Fraktur
Ekstermitas Bawah Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris Terhadap Lama Hari Rawat
Di Ruang Bedah Rsud Gambiran Kota Kediri. Jurnal Ilmu Kesehatan, 3(1), 34-40
Mediarti, Devi, Rosnani Rosnani. And Sosya Mona Seprianti. 2015. “Pengaruh Pemberian
Kompres Dingin Terhadap Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstermitas Tertutup di IGD
RSMH.
Noorisa, R., Apriliwati, D., Aziz, A., & Bayusentono S. 2017. The Characteristic Of
Patients With Femoral Fracture In Department Of Orthopaedic And Traumatology
Rsud Dr. Soetomo Surabaya 2013-2016. Journal of Orthopedi & Traumatology
Surabaya. 6(1): ISSN 2460-8742
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Purwanto, H. 2016.
Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.watan Praktis.
Yogyakarta: Mediaction Jogja.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Tim Pokja Siki PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan.