Sie sind auf Seite 1von 12

Minggu, 23 Februari 2014

FRAKTUR OLECRANON

KONSEP DASAR
1.1.1Pengertian
A Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, Arif, et al, 2000). Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang ( Luckman and
Sorensen’s Medical Surgical Nursing ).
b Fraktur olecranon
Terjadi disebabkan karena pukulan langsung atau jatuh pada siku dan akibat dari traksi ketika
jatuh pada pada otot tangan saat otot trisep berkontraksi.
c Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus secara keras area yang
mengalami patah tulang. Pemasangan gips dikerjakan 2-3 orang, seorang memasang perban
(operator), seorang membantu dan memegang perban pada operator dan orang ke tiga
menyangga ektremitas agar posisi tetap.
d Pemasangan Gips
Tujuan
Prosedur ini bertujuan untuk menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak
sehingga dapat menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang
patah tersebut.
Peralatan
- Plester / perban sintetik yang dapat dilebarkan
- Perban gulungan / perban elastik
- Lembaran gips berbentuk anyaman kecil
- Bidai untuk penguat
- Busa gips dari katun, poliester/poliethan untuk menyangga tulang
- Pisau
- Gunting
- Spidol permanen
- Beberapa lembar polietilen/koran untuk alas lantai
- Sarung tangan sekali pakai
- Wadah plastik besar berisi air bersuhu ruang 21-24° C
- Krem tangan yang dipakai setelah pemasangan gips sintetik
Prosedur
1. Mencuci tangan
2. Membentangkan polietilen/koran di lantai
3. Menjelaskan pada klien apa yang akan dirasakan (rasa hangat pada saat pemasangan
perban)
4. Mengukur perban gulung dan lembaran gips pada bagian ekstremitas yang akan di
imobilisasikan
- Lembar gips diatur sedemikian rupa agar teratur masing-masing tersusun berlapis sampai
habis ½ rol gips
- Beberapa lembar gips tambahan diletakkan diatas untuk penyangga tulang okranon, maleoli
dan patella
- Lembar gips dipasang dari ujung distal sampai pada proksimal ektremitas. Bila terlalu banyak
gips yang digunakan akan memungkinkan pemborosan dan menekan daerah dibawah
pemasangan gips.
- Bagian tengah balutan perban tetap tegak pada air ( suhu ruangan ) untuk beberapa menit dan
menjadi lunak agar mudah digunakan. Periksa langsung bahan gips sintetik
- Memeriksa efek air terhadap kekuatan rekat/tidak lentur pada tengah balutan oleh operator
dengan hati-hati agar tak jatuh. Kekuatan maksimal dihasilkan oleh gips sintetik dari reaksi
kimia
5. Mulai dari ujung distal, balutkan gips dengan baik dan tepat pada ektremitas, secara berlapis
sampai habis ½ rol. Jaga gerakan gips dan tetap menempel dengan baik pada permukaan
ektremitas. Secara hati-hati kombinasikan balutan berurutan kebawah dan balikkan tiap balutan
menuju ke posisi bawah dengan tungkai dan tulang jari (ujung jari) secara melingkat atau
memanjang. Jaga kombinasi susunan bawah gips agar sejajar dengan permukaan gips ( tanpa
penekanan ) dan berlapis - lapis sehingga membentuk gambaran huruf V.
6. Potong gips sesuai ukuran dengan pisau tajam. Pasang perban gulung diatas susunan gips dan
sesuaikan dengan bahan gips
7. Mengakhiri pemasangan gips dengan krem tangan gips untuk menjaga agar permukaan kulit
luar tetap halus
8. Tanyakan pada klien jika hal ini menyebabkan ketidaknyamanan atau nyeri
9. Mencatat diagnosa dan data kecelakaan dan pemasangan gips dengan spidol permanen pada
permukaan gips setelah mengering
10.Menghindarkan gips terhadap jari-jari tangan selama pasien bergerak. Keringkan dengan
menganginkan gips agar hangat, sirkulasi lancar dan alirkan udara. Atau kipaskan udara diatas
gips dengan kipas berputar untuk mempercepat penguapan air.
11.Mendokumentasikan prosedur dan respons klien pada catatan klien.
e Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2) Tempat melekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 2003)
f. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih ( karena kulit masih utuh ) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada
tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi juga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke
arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya
pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser
dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).


f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma
kompartement.
(Apley, A. Graham, 2002, Black, J.M, 2001, Ignatavicius, Donna D, 2003, Oswari, E,2002,
Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A,1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
1.1.2 Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran
vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 2002)

1.1.3 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan (Apley, A. Graham, 2002). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 2001)
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu,
dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 2003)
c. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh
untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung
patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler
baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.

2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler


Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal
dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang
baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan
keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel
tulang yang mati.
Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat
pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang )
menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa
bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus.

Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding
yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang
mirip dengan normalnya.
c. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.

b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi
yang baik. (Black, J.M, et al, 2001)
1.1.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ini mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya yang
meliputi :
 Jangan ciderai pasien
 Pengobatan yang tepat berdasarkan diagnosis dan prognosisnya
 Sesuai dengan hukum alam
 Sesuai dengan kepribadian individu
Penatalaksanaan pada fraktur ini meliputi :
 Reposisi dan pemasangan gips
 Imobilisasi
 Mobilisasi berupa latihan seluruh system tubuh
1.2 Kebutuhan Dasar Rasa Nyaman dan Nyeri
1.2.1 Definisi
Nyeri adalah suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan yang hanya dapat dirasakan oleh
orang yang mengalami. Definisi lain dari para ahli :
a. MC Cofery (1997 )
Nyeri adalah suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dimana eksistensinya diketahui jika
seseorang pernah mengalaminya.
b. Wolf Welself, fugri ( 1974 )
Nyeri adalah perasaan menderita secara fisik atau mental. Perasaan yang bisa menimbulkan
ketegangan atau menjadi siksaan bagi yang mengalaminya.

c. Arthur C Guyton ( 1983 )


Nyeri adalah suatu mekanisme proteksi tubuh. Timbul bila mana jaringan sedang dirusak,
menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri.
1.2.2 Klasifikasi nyeri
Karakteristik Nyeri akut Nyeri kronis
 Pengalaman Suatu kejadian Suatu situasi, status
eksistensi.
Sebab eksternal atau Tidak diketahui dan
 Sumber penyakit dari dalam pengobatannya terlalu
lama.
Mendadak Bisa mendadak,
 Serangan berkembang dan
terselubung.
Sampai 6 bulan > 6 bulan sampai
bertahun – tahun.
 Waktu Daerah nyeri tidak Daerah nyeri sulit
diketahui dengan pasti dibedakan intensitas
sehingga sulit dievaluasi.
 Pernyataan nyeri
Pola respon yang khas Pola respon yang
dengan gejala yang lebih bervariasi sedikit gejala
jelas. – gejala ( adaptasi ).
 Gejala klinis Terbatas Berlangsung terus dapat
bervariasi.
Biasanya berkurang Penderitaan meningkat
 Pola setelah beberapa saat. setelah beberapa saat.

 perjalanan
1.2.3 Patofisiologi nyeri
Ujung syaraf besar
↓Tidak beradaptasi
Reseptor nyeri
↓Penyebab nyeri
Kerusakan jaringan

Stimulasi → diterima reseptor → kulit

Jaringan internal permukaan persendian


Dihambat oleh sumsum syaraf kesistem syaraf pusat →Diolah system syaraf pusat → respon
melalui sistim syaraf tepi → efektor sebagai jawaban akhir
1.2.4 Gejala klinis
1) Respon simpatik adrenal
 Peningkatan denyut nadi, tekanan darah, pernafasan
 Keringat berlebihan
 Pucat
 Dilatasi pupil
2) Respon maskular
 Peningkatan ketegangan otot atau kekakuan
 Gelisah
 immobile
3) Respon emosional
 Irriable ( mudah tersinggung )
 Merintih
 Menangis
 Ekspresi wajah
1.2.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri
a) Lingkungan
b) Umur
c) Kelelahan
d) Riwayat nyeri sebenarnya

1.2.6 Skala nyeri


0 : tidak nyeri
1–3 : nyeri ringan → dapat sembuh dengan merubah posisi tanpa menggunakan obat.
Ciri – ciri : wajah menyeringai, perubahan tekanan darah, dan nadi.
4–6 : nyeri sedang ( moderate ) → dapat hilang dengan bantuan obat ( analgesic ) dosis
rendah.
Ciri – ciri : berhati – hati, focus pada diri sendiri, perubahan tekanan darah.
7 – 10 : nyeri berat (severe ) → dapat hilang dengan bantuan obat – obatan dosis tinggi dalam waktu
yang lama.
Ciri – ciri : gelisah, menagis, perubahan tonus otot, penyempitan focus
1.2.7 Tanda – tanda nyeri
a) Peningkatan frekuensi jantung
b) Peningkatan pernafasan
c) Peningkatan tekanan darah
d) Berhati – hati
e) Gelisah
f) Wajah menangis
1.2.8 Stimulasi nyeri
a) Tehknik melatih pengalihan
Contoh : nonton TV, berbincang – bincang, mendengarkan musik
b) Tekhnik relaksasi
Mengajarkan untuk menarik nafas sambil konsentrasi
c) Tekhnik kulit
 Menggosok dengan halus pada daerah nyeri
 Penggosok punggung
 Menggunakan air hangat dan dingin
 Memijat dengan air mengalir
1.2.9 Therapy
Amoxan → untuk antibiotic
Xevolac → untuk menghilangkan rasa nyeri
1.2.10 Penatalaksanaan
a.
Mengkaji skala nyeri
mengetahui derajat nyeri yang dirasakan pasien
P ( Pemiru ) : faktor yang mempengaruhi gawat atau ringan nyeri
Q ( Quality ) : faktor yang mempengaruhi rasa nyeri
R ( Region ) : faktor perjalanaan nyeri
T ( Time ) : lama dan waktu serangan
b. Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
Mengalihkan perhatian pasien terhadap nyeri dan melemaskan otot – otot yang
menimbulkan rasa yang aman.
c. Ubah posisi dengan sering melakukan gerak pasif / aktif
Gerakan dapat mengurangi kekakuan otot dan dapat melemaskan sendiri.
d. Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan
Kekurangan tidur dapat meningkatkan persepsi nyeri menurun.
e. Kolaborasi dalam pemberian analgesic
Menghilangkan rasa nyeri.
f. Melakukan pendekatan pada pasien dan keluarga
g. Melakukan observasi TTV tiap 6 jam
1.2.11 Pemeriksaan GCS
a. Respon membuka mata
4 : membuka mata dengan spontan
3 : membuka mata dengan rangsangan pemicara
2 : membuka mata dengan rangsangan nyeri
1 : tidak dapat membuka mata
b. Respon bicara / verbal
5 : orientasi baik
4 : kata baik, kalimat baik, tapi isi seluruh percakapan kacau
3 : kata baik, tapi kalimat tidak tersusun
2 : kata – kata tidak dapat dimengerti hanya keluar nada suara
1 : tidak keluar suara

c. Respon motorik
6 : dapat melakukan gerakan sesuai perintah
5 : dapat mengetahui arah datangnya rangsangan atau metabolisme rangsangan dan dapat
melakukan gerakan melawan rangsangan atau abdukasi
4 : dapat menghindari rangsangan
3 : hanya dapat melakukan fleksi bila dirangsang
2 : hanya dapat melakukan ekstensi bila dirangsang
1 : tidak ada gerakan
d. Skala otot motorik
5 : dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan kekuatan maksimal
4 : mampu bergerak melawan tahanan penderita pemeriksa tapi kekuatanya berhubungan
3 : mampu melawan gravitasi tetapi tidak mampu menahan atau melawan tahanan pemeriksaan
2 : ada gerakan pada sendi tetapi tidak dapat melawan gravitasi
1 : bila terlihat kontraksi
e. Skala ADL
0 : pasien mampu berdiri
1 : pasien memerlukan peralatan yang minimal
2 : pasien memerlukan bantuan sedang dalam pengawasan
3 : pasien memerlukan bantuan terus – menerus dan memerlukan alat khusus
4 : pasien tergantung terus secara total pada pemberian asuhan

Das könnte Ihnen auch gefallen